Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.
Kalimat ini merupakan penggalan Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 dan Perubahannya dan merupakan defenisi
mendasar mengenai pengertian pengadaan barang/jasa.
Dari kalimat tersebut amat jelas terlihat bahwa tujuan utama dari
pengadaan barang/jasa adalah diperolehnya barang/jasa yang sesuai dengan
kebutuhan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD)/Institusi (K/L/D/I), yang telah direncanakan sebelumnya.
Namun, sesuai dengan konsep dasar pengadaan, barang/jasa yang baik
harus pula disediakan oleh penyedia barang/jasa yang baik sehingga
dikenal istilah Kualifikasi yang merupakan penilaian terhadap kompetensi
atau kemampuan penyedia barang/jasa dalam menyediakan barang/jasa yang
dibutuhkan.
Berdasarkan konsep tersebut, maka dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah, ada 2 hal yang dipilih, yaitu barang/jasa itu sendiri serta
penyedia barang/jasa yang berbentuk badan usaha atau perseorangan.
Untuk membuktikan penyedia barang/jasa tersebut memenuhi kualifikasi,
maka dilakukan penilaian kualifikasi terhadap badan usaha/perseorangan
sesuai ketentuan Pasal 19 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan perubahannya,
sedangkan untuk membuktikan bahwa penyedia barang/jasa mampu menyediakan
barang/jasa yang dibutuhkan maka dilakukan penilaian terhadap dokumen
penawaran penyedia yang terdiri atas penilaian administrasi, teknis, dan
harga.
Nah, pada saat penilaian inilah mulai terjadi pergeseran tujuan
evaluasi pengadaan barang/jasa, yaitu dari yang sebelumnya untuk menilai
penyedia barang/jasa dan barang/jasa yang ditawarkan menjadi sekedar
menilai dokumen kualifikasi dan penawaran yang diajukan.
Filosofi dasar mulai terlupakan dan hanya fokus terhadap hal-hal yang tertuang dalam dokumen semata.
Contohnya, untuk membuat kapal, tentu penyedia barang/jasa harus
memiliki sumber daya manusia, teknis, modal, dan peralatan yang
mencukupi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut (Pasal 19 ayat 1 huruf
e), namun karena hanya percaya dengan dokumen yang diajukan maka surat
pernyataan memiliki galangan atau bahkan surat dukungan galangan sudah
dianggap mencukupi dalam pelaksanaan evaluasi kualifikasi. Pokja ULP
juga tidak melakukan peninjauan lapangan terhadap pemenuhan persyaratan
tersebut dan percaya 100% terhadap apa yang tertulis. Efeknya di
lapangan pada saat penyedia ini dinyatakan menang, maka pelaksanaan
pekerjaan utama yang seharusnya tidak boleh disubkontrakknya malah
diserahkan kepada pihak lain atau pihak yang mendukung secara dokumen.
Apa bedanya penyedia barang/jasa dengan broker bin makelar?
Disisi lain, karena fokus terhadap pemenuhan administrasi, kesalahan
dalam menempelkan meterai, tidak menggunakan kertas kop perusahaan,
salah tujuan surat penawaran, atau kesalahan administratif lainnya
menyebabkan penawaran terendah dan sebenarnya mampu dari sisi teknis
menjadi tidak lulus dan digugurkan pada tahap administrasi.
Jadi penulis berpikir, kita ini sebenarnya mau memilih dokumen atau memilih penyedia dan barang/jasa?
Alangkah baiknya regulasi ke depan, lebih mengutamakan hasil daripada
proses, selama bukan kesalahan yang substantif dan tidak mempengaruhi
lingkup, kualitas, dan hasil/kinerja pekerjaan. Lebih baik lagi apabila
otomatisasi pengadaan barang/jasa lebih dipercepat, sehingga penyedia
yang tidak kompeten secara sistem tidak akan bisa mengikuti lelang
secara elektronik, juga pada saat pemasukan dan evaluasi penawaran lebih
fokus kepada teknis dan harga saja.
Intinya, kita harus fokus memilih penyedia dan barang/jasa bukan memilih dokumen.
Khalid Mustofa..