A. PERMASALAHAN
Dalam pengadaan barang dan jasa
berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010, PPK bertanggung jawab terhadap
semua tahapan dalam pengadaan barang dan jasa, dimulai dari perencanaan
hingga selesainya pelaksanaan pekerjaan termasuk pembayaran atas tagihan
yang diajukan oleh penyedia. Selesainya pelaksanaan pekerjaan
dinyatakan dengan Berita Acara Serah Terima Pekerjaan yang
ditandatangani Penyedia dan Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (Pasal 95
Perpres No. 54 Tahun 2010). Berita Acara Serah Terima Pekerjaan tersebut
menjadi dasar bagi penyedia untuk dapat melakukan/mengajukan penagihan
atas pekerjaan tersebut kepada Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Instansi yang bersangkutan, sedangkan bagi PPK berita acara
tersebut sebagai dasar untuk melaporkan penyelesaian pekerjaan pengadaan
barang dan jasa serta menyerahkan hasil pekerjaan pengadaan barang dan
jasa kepada PA/KPA berdasarkan pasal 11 ayat (1) huruf (f) dan huruf (g)
Perpres No. 54 Tahun 2010.
Perpres No. 54 Tahun 2010 tidak mengatur
lebih lanjut tentang bagaimana prosedur penagihan atas pekerjaan yang
telah selesai dilaksanakan, padahal atas keterlambatan pembayaran kepada
penyedia maka PPK dapat dimintakan ganti rugi bunga yang dihitung dari
nilai tagihan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 122 huruf (a) Perpres
No. 54 Tahun 2010. Hal ini dapat menjadi permasalahan tersendiri
bilamana antara proses pengadaan dan proses pembayaran tidak sesuai
sehingga dapat mengakibatkan seorang PPK dikenakan ganti rugi.
Sumber anggaran untuk pengadaan barang
dan jasa yang dilakukan berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 adalah
APBN dan APBD, sehingga tata cara untuk melakukan pembayaran atas
pengadaan barang dan jasa mengikuti ketentuan yang mengatur pencairan
alokasi dana yang bersumber dari APBN dan APBD. Dalam hal ini dikenal
Surat Perintah Membayar (SPM), yaitu dokumen yang diterbitkan/digunakan
oleh PA/KPA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang
bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau dokumen
lain yang dipersamakan.
Untuk dapat memahami bagaimana proses
pencairan alokasi dana yang bersumber dari APBN dapat dilihat pada
Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.06/2005 tentang Pedoman
Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Peraturan Menteri Keuangan No. 170/PMK.05/2010 Tentang Penyelesaian
Tagihan Atas Beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Pada Satuan
Kerja. Untuk pencairan alokasi dana yang bersumber dari APBD berpedoman
pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Keadaan ini cukup menarik dikaji
mengingat akhir dari proses pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam
Peraturan Presiden berujung pada peraturan lain yaitu kekuasaan
pengelolaan keuangan negara dan daerah, dalam hal ini diatur secara
spesifik melalui Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri.
Adanya pelimpahan kewenangan dari PA
kepada pejabat yang bertanggungjawab dan melaksanakan kegiatan pengadaan
barang dan jasa, serta pelimpahan kewenangan dari PA kepada pejabat
yang melakukan proses pengeluaran anggaran belanja menunjukkan betapa
kekuasaan PA harus dibagi berdasarkan amanat peraturan
perundang-undangan. Permasalahan lain yang juga terkait adalah adanya
PA/KPA yang merangkap sebagai PPK di daerah sehingga perlu dikaji
bagaimana kedudukannya dikaitkan dengan peraturan yang tersebut diatas.
Persoalan ini juga menjadi pertanyaan seorang anggota milis forum
pengadaan yang meminta penulis untuk meninjau permasalahan tersebut
berdasarkan ilmu hukum.
B. SUMBER HUKUM
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
5. Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
6. Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana
telah diubah oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
8. Peraturan Menteri Keuangan No.
134/PMK.06/2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
9. Peraturan Menteri Keuangan No.
170/PMK.05/2010 Tentang Penyelesaian Tagihan Atas Beban Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Negara Pada Satuan Kerja.
C. ISU HUKUM
1. Bagaimanakah tata cara melakukan pembayaran dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah?
2. Siapakah Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (SPM)?
3. Apakah PA/KPA yang merangkap sebagai PPK berhak menjadi Pejabat Penandatangan SPM?
D. ANALISIS
1. Tata Cara Pembayaran Dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Untuk menguraikan lebih lanjut mengenai
pembayaran dalam pengadaan barang dan jasa, dapat ditinjau berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara yang mengatur tentang pengeluaran negara dan
daerah. Pasal 6 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 menyatakan bahwa Presiden
selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pengelolaan
keuangan negara tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam ayat
(2), yang menjelaskan pembagian kekuasaan pengelolaan keuangan negara
tersebut. Ada dua poin dari ayat (2) yang terkait dengan pembayaran
pengadaan barang dan jasa, yaitu:
(1) Untuk kementerian negara/lembaga,
kekuasaan pengelolaan keuangan dikuasakan kepada menteri/pimpinan
lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang. Hal ini mempunyai
pengertian yang sama dengan Pasal 1 Angka (19) dan Pasal 4 ayat (1) UU
No. 1 Tahun 2004;
(2) Untuk Pemerintah Daerah, kekuasaan
pengelolaan keuangan diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku
kepala pemerintahan daerah dan juga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah
dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Hal ini mempunyai
pengertian yang sama dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 2004 dan
Pasal 5 ayat (1) PP No. 58 Tahun 2005. Dalam pasal 5 ayat (3) PP No. 58
Tahun 2005 disebutkan kekuasaan pengelolaan keuangan daerah tersebut
diperluas dengan pelimpahan kewenangan kepada : Kepala SKPD selaku PPKD
dan Kepala SKPD selaku Pengguna Anggaran / Pengguna Barang.
Ketentuan tersebut diatas mengatur bahwa
Pengguna Anggaran (PA) adalah pejabat yang diberikan kewenangan
kekuasaan pengelolaan keuangan berdasarkan undang-undang, demikian juga
untuk melakukan pembayaran atas pengadaan barang dan jasa yang merupakan
bagian dari pengelolaan keuangan adalah menjadi kewenangan Pengguna
Anggaran.
Alokasi dana untuk pengadaan barang dan
jasa bersumber dari APBN dan APBD sehingga untuk membahas tata cara
pembayaran, akan diuraikan berdasarkan sumber pendanaannya.
a. Alokasi Dana Yang Berasal Dari APBN
Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 1
Tahun 2004 menyatakan bahwa Menteri/pimpinan lembaga, Kepala Daerah dan
Kepala SKPD selaku Pengguna Anggaran, berwenang untuk melakukan tindakan
yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja. Ketentuan yang sama
juga dimuat dalam Pasal 3 ayat (1) PMK No. 134/PMK.06/2005 yang
menyatakan pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN oleh KPPN dilakukan
berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Ini berarti dalam melaksanakan
pengeluaran anggaran belanja ada pemisahan antara pejabat yang
mengeluarkan dana kepada pihak ketiga/penerima hak dalam hal ini
penyedia barang, dengan pejabat yang mempunyai kewenangan untuk
memerintahkan dikeluarkannya dana tersebut.
Ketentuan yang mengatur secara jelas
tentang pembayaran tagihan pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari
APBN diatur dalam pasal 6 hingga pasal 10 PMK No. 170/PMK.05/2010 dan
pasal 3, pasal 9 serta pasal 12 PMK No. 134/PMK.06/2005 dengan perincian
yang telah penulis singkat sebagai berikut :
1) Tagihan atas pengadaan barang/jasa
yang membebani APBN diajukan dengan surat tagihan oleh Penerima Hak
kepada KPA/PPK paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah timbulnya hak
tagih kepada Negara.
2) Apabila 5 (lima) hari kerja setelah
timbulnya hak tagih kepada Negara Penerima Hak belum mengajukan surat
tagihan, maka KPA/PPK harus segera memberitahukan secara tertulis kepada
Penerima Hak untuk mengajukan tagihan.
3) Dalam hal setelah 5 (lima) hari kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penerima Hak belum mengajukan
tagihan, maka Penerima Hak pada saat mengajukan tagihan harus memberikan
penjelasan secara tertulis kepada KPA/PPK atas keterlambatan pengajuan
tagihan tersebut.
4) Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas:
a) Kontrak/Surat Perintah Kerja/Surat Tugas/Surat Perjanjian/Surat Keputusan;
b) Berita Acara Kemajuan Pekerjaan;
c) Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan;
d) Berita Acara Serah Terima barang/pekerjaan; dan/atau
e) Bukti penyelesaian pekerjaan lainnya sesuai ketentuan.
5) Surat Permintaan Pembayaran Langsung
(SPP-LS) untuk non-belanja pegawai diterbitkan oleh PPK dan disampaikan
kepada Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar (PP-SPM) paling
lambat 5 (lima) hari kerja setelah dokumen pendukung SPP-LS diterima
secara lengkap dan benar dari Penerima Hak. Dokumen pendukung yang
dimaksud adalah :
a) Resume kontrak/SPK pengadaan barang dan jasa yang ditandatangani oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
b) Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB);
c) Faktur Pajak beserta SSP-nya.
6) Dalam hal PPK menolak/mengembalikan
tagihan karena dokumen pendukung tagihan tidak lengkap dan benar, maka
PPK harus menyatakan secara tertulis alasan penolakan/pengembalian
tersebut paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya surat
tagihan.
7) Pengujian SPP-LS sampai dengan
penerbitan Surat Permintaan Membayar Langsung (SPM LS) oleh PP-SPM
diselesaikan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah SPP-LS beserta
dokumen pendukung diterima secara lengkap dan benar dari PPK.
8) Dalam hal PP-SPM menolak/mengembalikan
SPP karena dokumen pendukung SPP tidak lengkap dan benar, maka PP-SPM
harus menyatakan secara tertulis alasan penolakan/pengembalian tersebut
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya SPP.
9) Pelaksanaan pengeluaran atas beban
APBN oleh KPPN dilakukan berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM) yang
diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Pembayaran
dilakukan dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh
KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara.
10) SPM beserta dokumen pendukung yang
dilengkapi dengan Arsip Data Komputer (ADK) SPM disampaikan kepada KPPN
oleh KPA atau pejabat yang ditunjuk paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah SPM diterbitkan. Pelaksanaan ketentuan ini dikecualikan untuk
Satker yang kondisi geografis dan transportasinya sulit, dengan
memperhitungkan waktu yang dapat dipertanggungjawabkan.
11) Berdasarkan SPM yang disampaikan oleh
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, KPPN menerbitkan SP2D yang
ditujukan kepada Bank Operasional mitra kerjanya.
12) KPPN menolak permintaan pembayaran yang diajukan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dalam hal :
a) Pengeluaran untuk MAK yang melampaui Pagu; dan/atau
b) Tidak didukung oleh bukti pendukung/pengeluaran yang sah.
13) Penerbitan SP2D sebagaimana dimaksud
pada angka (12) atau penolakan permintaan pembayaran sebagaimana
dimaksud pada angka (13) wajib diselesaikan oleh KPPN dalam batas waktu
sebagai berikut :
a) Penerbitan SP2D SPM Pembayaran
Langsung (SPM-LS) paling lambat dalam waktu 1 (satu) hari kerja sejak
diterimanya SPM secara lengkap.
b) Pengembalian SPM dilakukan paling lambat hari kerja berikutnya sejak diterimanya SPM berkenaan.
14) KPA melakukan pengawasan terhadap proses penyelesaian tagihan atas beban APBN pada Satker-nya masing-masing.
15) KPA bertanggungjawab atas ketepatan waktu penyelesaian tagihan atas beban APBN pada Satker-nya masing-masing.
b. Alokasi Dana Yang Berasal Dari APBD
Sebagaimana pengelolaan keuangan dalam
APBN, berlaku pula hal yang sama dalam pengelolaan keuangan daerah yang
alokasi dananya bersumber dari APBD. Dimana terdapat pemisahan antara
pejabat yang mengeluarkan dana kepada pihak ketiga/penerima hak dalam
hal ini penyedia barang, dengan pejabat yang mempunyai kewenangan untuk
memerintahkan dikeluarkannya dana tersebut.
Ketentuan yang mengatur secara jelas
tentang pembayaran tagihan pengadaan barang dan jasa yang bersumber dari
APBD diatur dalam pasal 205, pasal 210 sampai pasal 213, dan pasal 216
sampai pasal 218 Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah
oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011 yang merupakan penjabaran dari
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005. Adapun tata cara pembayaran
tagihan pengadaan barang dan jasa yang telah penulis singkat sebagai
berikut :
1) Tagihan atas pengadaan barang/jasa
yang membebani APBD diajukan dengan surat tagihan oleh Pihak
Ketiga/Penerima Hak kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
2) Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan
(PPTK) atau PPK menyiapkan dokumen Surat Perintah Pembayaran Langsung
(SPP-LS) untuk pengadaan barang dan jasa untuk disampaikan kepada
bendahara pengeluaran dalam rangka pengajuan permintaan pembayaran
3) Dokumen SPP-LS untuk pengadaan barang dan jasa terdiri dari :
a. surat pengantar SPP-LS;
b. ringkasan SPP-LS;
c. rincian SPP-LS; dan
d. lampiran SPP-LS.
4) Lampiran dokumen SPP-LS untuk pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d mencakup:
a. salinan Surat Penyediaan Dana (SPD);
b. salinan surat rekomendasi dari SKPD teknis terkait;
c. SSP disertai faktur pajak (PPN dan
PPh) yang telah ditandatangani wajib pajak dan wajib pungut. Bendahara
pengeluaran sebagai wajib pungut Pajak Penghasilan (PPh) dan pajak
lainnya, wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang
dipungutnya ke rekening kas negara pada bank yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan sebagai bank persepsi atau pos giro dalam jangka waktu
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. surat perjanjian kerjasama/kontrak
antara pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dengan Pihak
Ketiga/Penerima Hak serta mencantumkan nomor rekening bank Pihak
Ketiga/Penerima Hak;
e. berita acara penyelesaian pekerjaan;
f. berita acara serah terima barang dan jasa;
g. berita acara pembayaran;
h. kwitansi bermeterai, nota/faktur yang
ditandangai Pihak Ketiga/Penerima Hak dan PPK sertai disetujui oleh
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran;
i. surat jaminan bank atau yang dipersamakan yang dikeluarkan oleh bank atau lembaga keuangan non bank;
j. dokumen lain yang dipersyaratkan untuk
kontrak-kontrak yang dananya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
penerusan pinjaman/hibah luar negeri;
k. berita acara pemeriksaan yang
ditandatangani oleh Pihak Ketiga/Penerima Hak/rekanan serta unsur
panitia pemeriksaan barang berikut lampiran daftar barang yang
diperiksa;
l. surat angkutan atau konosemen apabila pengadaan barang dilaksanakan di luar wilayah kerja;
m. surat pemberitahuan potongan denda keterlambatan pekerjaan dari PPK apabila pekerjaan mengalami keterlambatan;
n. foto/buku/dokumentasi tingkat kemajuan/ penyelesaian pekerjaan;
o. potongan jamsostek (potongan sesuai dengan ketentuan yang berlaku/surat pemberitahuan jamsostek); dan
p. khusus untuk pekerjaan konsultan yang
perhitungan harganya menggunakan biaya personil (billing rate), berita
acara prestasi kemajuan pekerjaan dilampiri dengan bukti kehadiran dari
tenaga konsultan sesuai pentahapan waktu pekerjaan dan bukti
penyewaan/pembelian alat penunjang serta bukti pengeluaran lainnya
berdasarkan rincian dalam surat penawaran.
5) Dalam hal kelengkapan yang diajukan
tidak lengkap, bendahara pengeluaran mengembalikan SPP-LS pengadaan
barang dan jasa kepada PPK untuk dilengkapi.
6) Bendahara pengeluaran mengajukan
SPP-LS kepada pengguna anggaran setelah ditandatangani oleh PPK guna
memperoleh persetujuan pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran Pejabat
Penatausahaan Keuangan SKPD (PPK-SKPD).
7) SPP-LS belanja barang dan jasa untuk
kebutuhan SKPD yang bukan pembayaran langsung kepada Pihak
Ketiga/Penerima Hak dikelola oleh bendahara pengeluaran.
8) Pengguna anggaran/kuasa pengguna
anggaran meneliti kelengkapan dokumen SPP-LS yang diajukan oleh
bendahara pengeluaran. Pelaksanaannya dilakukan oleh PPK-SKPD, bilamana
kelengkapan dokumen yang diajukan tidak lengkap maka PPK-SKPD
mengembalikan dokumen SPP-LS kepada bendahara pengeluaran.
9) Dalam hal dokumen SPP-LS dinyatakan
lengkap dan sah, PA/KPA menerbitkan SPM paling lama 2 (dua) hari kerja.
Jika SPP-LS dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah, PA/KPA menolak
menerbitkan SPM paling lama dalam 1 (satu) hari kerja. Dalam hal
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran berhalangan, yang bersangkutan
dapat menunjuk pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani SPM.
10) Penerbitan SPM tidak boleh dilakukan
sebelum barang dan/atau jasa diterima kecuali ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan.
11) SPM yang telah diterbitkan PA/KPA
diajukan kepada Bendahara Umum Daerah (BUD)/Kuasa Bendahara Umum Daerah
untuk penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
12) BUD/Kuasa BUD meneliti kelengkapan
dokumen SPM yang diajukan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
agar pengeluaran yang diajukan tidak melampaui pagu dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
13) Kelengkapan dokumen SPM-LS untuk penerbitan SP2D mencakup:
a. surat pernyataan tanggungjawab pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran; dan
b. bukti-bukti pengeluaran yang sah dan
lengkap sesuai dengan kelengkapan persyaratan yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
14) Dalam hal dokumen SPM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap, kuasa BUD menerbitkan SP2D
paling lama dalam 2 (dua) hari kerja. Jika dokumen SPM dinyatakan tidak
lengkap dan/atau tidak sah dan/atau pengeluaran tersebut melampaui pagu
anggaran, BUD/kuasa BUD menolak menerbitkan SP2D yang dinyatakan paling
lama dalam 1 (satu) hari kerja.
15) Dalam hal BUD dan/atau kuasa BUD
berhalangan, yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat yang diberi
wewenang untuk menandatangani SP2D.
16) BUD/Kuasa BUD menyerahkan SP2D yang diterbitkan untuk keperluan pembayaran langsung kepada pihak ketiga/penerima hak.
17) Pihak Ketiga/Penerima Hak mencairkan
SP2D ke Bank yang telah ditetapkan dengan keputusan kepala daerah dan
diberitahukan kepada DPRD.
2. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (SPM)
Dalam tata cara pembayaran pengadaan
barang dan jasa yang telah penulis uraikan dalam poin nomor 1 terlihat
bahwa pembayaran hanya dapat dilakukan oleh KPPN ataupun BUD berdasarkan
pada SPM yang diterbitkan oleh PA/KPA. Pasal 1 angka 17 PMK No.
170/PMK.05/2010 memberikan pengertian Surat Perintah Membayar (SPM)
adalah dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh PA/KPA atau pejabat lain
yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran atau dokumen lain yang dipersamakan. Pengertian
yang sama juga dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 70 Permendagri No. 13
Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011
yang menyatakan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM
adalah dokumen yang digunakan/diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran untuk penerbitan SP2D atas beban pengeluaran DPA-SKPD.
Berdasarkan pengertian diatas, SPM
diterbitkan oleh PA sehingga yang menandatangani SPM seharusnya adalah
PA, namun PA dapat melimpahkan kewenangan ini kepada Pejabat Penanda
Tangan Surat Perintah Membayar/PP-SPM berdasarkan pasal 3 dan pasal 5
PMK No. 170/PMK.05/2010 atau pejabat lain yang ditunjuk oleh PA
berdasarkan pasal 11 dan pasal 185 Permendagri No. 13 Tahun 2006
sebagaimana telah diubah oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011.
Dasar hukum yang digunakan untuk menentukan pejabat yang dapat yang diberi kewenangan oleh PA untuk menandatangani SPM adalah :
a) Pasal 3 PMK No. 170/PMK.05/2010 yang
mengatur Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA dapat mendelegasikan
kewenangan kepada KPA untuk menetapkan/menunjuk PPK, PP-SPM dan
Bendahara Pengeluaran.
b) Pasal 228 ayat (1) Permendagri No. 13
Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011
yang mengatur bahwa Gubernur melimpahkan kewenangan kepada
bupati/walikota untuk menetapkan pejabat kuasa pengguna anggaran pada
SKPD kabupaten/kota yang menandatangani SPM/menguji SPP, PPTK dan
bendahara pengeluaran yang melaksanakan tugas pembantuan di
kabupaten/kota.
c) Pasal 11 Permendagri No. 13 Tahun 2006
sebagaimana telah diubah oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011 yang
mengatur pelimpahan kewenangan penandatangan SPM oleh PA kepada kepala
unit kerja pada SKPD (atas usul kepala SKPD) adalah berdasarkan
pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang
dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi, rentang kendali dan/atau
pertimbangan objektif lainnya.
d) Pasal 228 ayat (2) Permendagri No. 13
Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011
yang mengatur bahwa Bupati/walikota melimpahkan kewenangan kepada kepala
desa untuk menetapkan pejabat kuasa pengguna anggaran pada lingkungan
pemerintahan desa yang menandatangani SPM/menguji SPP, PPTK dan
bendahara pengeluaran yang melaksanakan tugas pembantuan di pemerintah
desa.
Selain ketentuan diatas, khusus dalam
pengadaan barang dan jasa, ada larangan bagi PPK untuk ditetapkan
sebagai PP-SPM sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 ayat (2) huruf f.
Perpres No. 54 Tahun 2010 yang menyatakan salah satu persyaratan untuk
ditetapkan sebagai PPK adalah tidak menjabat sebagai pengelola keuangan.
Dalam penjelasan pasal 12 ayat (2) huruf f tersebut dinyatakan bahwa
yang dimaksud pengelola keuangan disini yaitu
bendahara/verifikator/Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar.
3. Penandatangan SPM ketika PA/KPA yang merangkap sebagai PPK
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
kewenangan untuk menandatangani SPM pada dasarnya ada pada Pengguna
Anggaran (PA) sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan. Namun
dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan kewenangan ini dapat dijalankan
langsung ataupun dilimpahkan kepada KPA atau pejabat yang ditunjuk oleh
PA. Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan tersebut perwujudan dari Asas
Proporsionalitas[1] dan Asas Profesionalitas[2]
dalam asas-asas umum penyelenggaraan negara yang dinyatakan dalam Pasal
3 UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan
bebas dari KKN dan pasal 20 angka 1 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah.
Seiring dengan hal tersebut, perwujudan
asas profesionalitas juga terdapat dalam pengadaan barang dan jasa
berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 dimana Perpres mengamanatkan
adanya pelimpahan kewenangan dari PA kepada PPK sebagai pejabat yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Permasalahan
muncul ketika pemerintah daerah mengalami keterbatasan aparatur yang
memenuhi persyaratan untuk diangkat sebagai PPK, sehingga pelimpahan
kewenangan yang diamanatkan Perpres akhirnya dikembalikan kepada PA (PA
merangkap sebagai PPK) agar pengadaan barang dan jasa dapat dilaksanakan
tanpa perlu mencari ataupun ‘mencetak’ aparatur daerah yang memenuhi
kriteria sebagai PPK.
Terlepas dari masih banyaknya perdebatan
mengenai kedudukan PA yang merangkap sebagai PPK, praktek di daerah bisa
jadi ada dan masih berlangsung hingga saat ini. Jika terjadi PA
merangkap sebagai PPK maka hal ini berarti PA secara langsung
melaksanakan semua proses pengadaan dari awal hingga selesai tanpa
adanya pelimpahan kewenangan kepada pejabat lain, termasuk dalam
melakukan pembayaran atas tagihan pengadaan barang dan jasa dari
penyedia selaku pihak ketiga/penerima hak. Mulai dari proses
perencanaan, pelaksanaan hingga penyelesaian/pembayaran kontrak
pengadaan barang dan jasa semua berada di tangan Pengguna Anggaran. Ini
menunjukkan bahwa penyelenggara pemerintahan tidak lagi menaati
asas-asas umum penyelenggaraan negara (asas-asas umum pemerintahan yang
baik).
Begitu besarnya jumlah aparatur negara
tetapi proses penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan dengan baik
karena kualitas aparatur yang rendah, sehingga kewenangan yang
seharusnya dilimpahkan, dalam pelaksanaannya dikembalikan lagi kepada
yang melimpahkan kewenangan tersebut. Sungguh ironis sekali, padahal
beban anggaran belanja untuk pegawai mendapat porsi yang besar dalam
APBN dan APBD.
E. KESIMPULAN
- Tata cara pembayaran dalam pengadaan barang dan jasa melalui beberapa tahapan yang disebabkan adanya pelimpahan kewenangan oleh Pengguna Anggaran kepada pejabat yang ditunjuk, serta adanya pemisahan antara pejabat yang mengeluarkan dana kepada penyedia barang, pejabat yang mempunyai kewenangan untuk mencairkan dana tersebut sebagai pengelolaan perwujudan kekuasaan keuangan negara
- Kewenangan untuk melakukan pembayaran dalam pengadaan barang dan jasa berada pada Pengguna Anggaran sebagai penerbit dan penandatangan SPM. Kewenangan tersebut dapat dilimpahkan kepada Pejabat Penandatangan SPM ataupun pejabat lain yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundag-undangan.
- PA yang merangkap sebagai PPK dalam pengadaan barang dan jasa menunjukkan bahwa semua proses pengadaan barang dan jasa, sejak perencanaan hingga pembayaran kepada penyedia, dikembalikan kepada PA sebagai pemegang kewenangan. Inilah salah satu bentuk penyelenggaraan negara yang tidak menaati asas-asas umum pemerintahan yang baik.
[1] Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
[2] Asas
Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundangundangan yang
berlaku.