Penulis: Rahfan Mokoginta (Praktisi &Trainer PBJ [Certified LKPP RI]; PNS Dinkes Kota Kotamobagu)
Pemutusan Kontrak pada pekerjaan dengan Kontrak Tahun Tunggal
ternyata tidak hanya menarik dibahas saat memasuki batas akhir tahun
anggaran. Isu ini bahkan menjadi isu nasional yang masih terus
diperbincangkan sampai dengan saat ini. Karena alasan itulah Penulis
mencoba untuk mengkaji kembali dasar hukum yang terkait dengan pemutusan
Kontrak pada pekerjaan yang menggunakan Kontrak Tahun Tunggal. Dasar
hukum yang digunakan Penulis adalah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta semua perubahannya
(selanjutnya disingkat Perpres 54/2010).
Perpres 54/2010 yang terdiri dari 19 Bab dan 136 Pasal telah
mengalami dua kali perubahan. Perubahan pertama melalui Perpres Nomor 35
Tahun 2011 yang ditetapkan pada tanggal 30 Juni 2011. Perpres 35/2011
hanya merubah Pasal 44 dengan menambahkan satu klausul pada ayat (2).
Perubahan tersebut memuat ketentuan tentang Penunjukan Langsung Penyedia
Jasa Konsultansi di Bidang Hukum. Perubahan kedua melalui Perpres Nomor
70 Tahun 2012 yang telah diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2012.
Perubahan yang tertuang dalam Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tergolong
signifikan. Setidaknya ada 325 perubahan baik pada batang tubuh maupun
penjelasannya. Terdapat tiga tujuan dilakukannya perubahan kedua
tersebut, yaitu: mempercepat pelaksanaan anggaran baik APBN maupun APBD,
menghilangkan dan memperjelas hal-hal yang masih multitafsir, dan
memperjelas arah reformasi kebijakan pengadaan.
Pasal 93 yang memuat tentang ketentuan Pemutusan Kontrak merupakan
salah satu pasal yang mengalami perubahan sangat mendasar. Sebelum
membahas lebih jauh Pasal 93, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang
Kontrak Tahun Tunggal. Pengertian Kontrak Tahun Tunggal berdasarkan
Pasal 52 ayat (1) adalah ”Kontrak yang pelaksanaan pekerjaannya mengikat
dana anggaran selama masa 1 (satu) Tahun Anggaran”. Yang dimaksud
dengan Tahun Anggaran berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah “meliputi masa satu tahun
mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember”. Dengan
demikian, dalam penetapan jangka waktu pelaksanaan harus memperhatikan
batas akhir tahun anggaran.
Perpres 54/2010 beserta semua perubahannya harus dipahami secara utuh
agar tidak terjadi bias dan multitafsir. Merujuk pada Pasal 51 ayat
(2), penetapan jangka waktu pelaksanaan pada Kontrak Tahun Tunggal tidak
boleh melampaui batas akhir tahun anggaran (tanggal 31 Desember tahun
berkenaan). Hal ini sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi.
Hanya saja, pemahaman tentang jangka waktu pelaksanaan yang tertuang
dalam Kontrak harus dibedakan dengan masa keterlambatan pelaksanaan
pekerjaan sebagaimana diatur pada Pasal 93. Jangka waktu pelaksanaan
dalam Kontrak sudah jelas tidak boleh melampaui batas akhir tahun
anggran, namun masa keterlambatan penyelesaian pekerjaan boleh melewati
batas akhir tahun anggaran.
Permasalahan yang sering dijumpai saat pelaksanaan kontrak antara
lain belum selesainya pekerjaan sampai dengan batas akhir tahun
anggaran. PPK seringkali berada dalam posisi dilematis. Disatu sisi
kondisi pekerjaan masih berlangsung dan output-nya berhubungan
dengan hajat hidup orang banyak, namun disisi lain tahun anggaran akan
segera berakhir. Dalam situasi seperti ini PPK dituntut untuk mampu
mengambil keputusan yang dapat menguntungkan semua pihak (win-win solution). PPK mendapatkan output pekerjaan, Penyedia tidak mengalami pemutusan Kontrak, dan masyarakat dapat menikmati manfaat dari hasil pekerjaan tersebut.
Pasal 93 memberikan ruang kepada PPK dan Penyedia untuk menggunakan
masa keterlambatan dalam penyelesaian pekerjaan. Terdapat dua ayat dalam
Pasal 93, yaitu: pertama, mengatur tentang ketentuan pemutusan Kontrak
secara sepihak oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen); dan kedua, mengatur
tentang tindakan yang dilakukan oleh PPK setelah dilakukan pemutusan
kontrak karena kesalahan Penyedia. Berikut kutipan lengkap isi pasal 93
ayat (1) dan (2).
Pasal 93 ayat (1), PPK dapat
memutuskan Kontrak secara sepihak, apabila: a. kebutuhan barang/jasa
tidak dapat ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak; a.1. berdasarkan
penelitian PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan mampu menyelesaikan
keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50
hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk
menyelesaikan pekerjaan; a.2. setelah diberikan kesempatan menyelesaikan
pekerjaan sampai dengan 50 hari kalender sejak masa berakhirnya
pelaksanaan pekerjaan, Penyedia Barang/Jasa tidak dapat menyelesaikan
pekerjaan; b. Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan
kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan; c. Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN,
kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan
oleh instansi yang berwenang; dan/atau
d. pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/atau
pelanggararan persaingan sehat dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada Pasal 93 ayat (1) antara lain penggunaan kata “dapat” pada kalimat “PPK dapat
memutuskan Kontrak secara sepihak, apabila: a. – d”. Makna kata “dapat”
yang sesuai dengan kalimat tersebut adalah “bisa” atau “boleh” (Sumber:
Kamus Besar Bahasa Indonesia). Makna kata “dapat” tentu berbeda dengan
kata “wajib” atau “harus”. Selain itu, perlu diperhatikan juga
penggunaan kata penghubung “dan/atau” pada akhir kalimat Pasal 93 ayat (1) huruf c. Kata “dan/atau” tersebut bersifat optional-kumulative.
Artinya, pemutusan Kontrak hanya dapat dilakukan jika telah memenuhi
minimal satu ketentuan yang ditetapkan tersebut. Tindakan pemutusan
Kontrak merupakan penjabaran dari salah satu kewenangan PPK dalam
pelaksanaan dan pengendalian Kontrak sebagaimana diatur pada Pasal 11
ayat (1) huruf d dan e.
Ketentuan pemutusan kontrak secara sepihak oleh PPK seringkali
disalahtafsirkan. Oleh karena itu, Penulis akan mengurai makna dari
setiap klausul pada Pasal 93 ayat (1) yang berhubungan dengan
pelaksanaan kontrak tahun tahun tunggal. Pasal 93 ayat (1) huruf a, a.1,
c, dan d tidak perlu lagi ditafsirkan lain karena sudah jelas maksud
dan tujuannya. Penulis hanya akan menguraikan makna Pasal 93 ayat (1)
huruf a.2 dan huruf b.
Pasal 93 ayat (1) huruf a.2 memberikan ruang kepada Penyedia untuk
menyelesaikan pekerjaan dalam kurun waktu 50 hari kalender masa
keterlambatan. Penjelasan Pasal ini tercantum “cukup jelas”, artinya
tidak perlu lagi dimaknai lain. Dengan demikian, tidak ada larangan jika
masa keterlambatan tersebut melampaui batas akhir tahun anggaran.
Pemberian waktu keterlambatan tentu didasari pada itikad baik (good faith)
dari masing-masing pihak untuk menyelesaikan pekerjaan. Selama masa
keterlambatan Penyedia dikenakan denda sebesar 1/1000 (satu perseribu)
dari nilai Kontrak atau nilai bagian Kontrak untuk setiap hari
keterlambatan (Pasal 120).
Pasal 93 ayat (1) huruf b: “Penyedia Barang/Jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan
tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan”. Penggunaan kata penghubung “dan” pada Pasal 93 ayat (1)
huruf b bermakna bahwa pemutusan Kontrak hanya dapat dilakukan jika
memenuhi dua unsur, yaitu: 1). Penyedia lalai/cidera janji; dan 2).
Penyedia tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan. Pemutusan Kontrak tidak dapat dilakukan jika hanya memenuhi
unsure yang pertama (lalai/cidera janji).
Penjelasan Pasal 93 ayat (1) huruf b: “Adendum bukti perjanjian dalam
hal ini hanya dapat dilakukan untuk mencantumkan sumber dana dari
dokumen anggaran Tahun Anggaran berikutnya atas sisa pekerjaan yang akan
diselesaikan (apabila dibutuhkan). Masa berakhirnya pelaksanaan
pekerjaan untuk Pekerjaan Konstruksi disebut juga Provisional Hand Over”.
Berdasarkan Penjelasan tersebut, PPK dan Penyedia diharuskan melakukan
addendum bukti perjanjian apabila waktu keterlambatan selama 50 hari
kalender akan melewati batas akhir tahun anggaran. Hal yang perlu
diadendum hanyalah sumber dana untuk sisa pekerjaan yang belum
terbayarkan pada tahun anggaran berkenaan. Pembiayaan penyelesaian sisa
pekerjaan tersebut bersumber dari dokumen anggaran tahun anggaran
berikutnya. Prosedur dan mekanisme penganggaran terhadap sisa pekerjaan
pada tahun anggaran berkenaan yang dibebankan pada dokumen anggaran
tahun anggaran berikutnya mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Tindakan PPK atas Pemutusan kontrak secara sepihak akibat kesalahan
Penyedia diatur pada Pasal 93 Ayat (2): “Dalam hal pemutusan Kontrak
dilakukan karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa, maka PPK melakukan
tindakan berupa: a. Jaminan Pelaksanaan dicairkan; b. sisa Uang Muka
harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa atau Jaminan Uang Muka
dicairkan; c. Penyedia Barang/Jasa membayar denda; dan
d. Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam”. Tindakan pada huruf a,
b, dan c bersifat situasional, sedangkan huruf d bersifat mengikat.
Pencairan Jaminan Pelaksanaan tidak berlaku pada paket pekerjaan yang
tidak menggunakan Jaminan Pelaksanaan (Jasa Konsultansi dan Pengadaan
Barang/Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai Kontrak sampai dengan Rp.
200 Juta). Pelunasan sisa uang muka atau pencairan Jamina Uang Muka
tidak berlaku bagi Penyedia yang tidak mencairkan uang muka. Pengenaan
denda keterlambatan tidak berlaku jika pemutusan Kontrak dilakukan masih
dalam jangka waktu pelaksanaan pekerjaan .
Lebih baik memberikan waktu keterlambatan untuk penyelesaian
pekerjaan walaupun akan melampaui batas akhir tahun anggaran daripada
melakukan pemutusan Kontrak hanya karena alasan batas akhir tahun
anggaran. Didalam 19 Bab dan 136 Pasal pada Perpres 54/2010 beserta
semua perubahannya tidak ada satu klausulpun yang menyatakan bahwa
pemutusan Kontrak diakhir tahun “wajib” atau “harus” dilakukan pada
pekerjaan dengan Kontrak Tahun Tunggal.
Akhirnya, semoga Pembaca sudah menemukan jawaban atas pertanyaan yang tersirat dalam judul tulisan. Wallahu A’lam Bishawab……
Tulisan ini telah dimuat di Harian Radar Totabuan (JPNN), edisi Senin 7 Januari 2013