LATAR BELAKANG
Benarkah implementasi Sistem Auntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(SAKIP) mendukung terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik?
Dapatkah SAKIP mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih? Apa peran
SAKIP dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik?
Jika pertanyaan di atas diajukan kepada seluruh instansi pemerintah,
khususnya pemerintah daerah, sudah pasti akan diperoleh jawaban negatif.
Artinya, sebelas tahun implementasi SAKIP belum mampu memberikan
manfaat yang berarti selain pada pemenuhan kewajiban pelaporan. Selama
rentang waktu sebelas tahun pemerintah telah menerbitkan berbagai
peraturan sebagai usaha untuk menerapkan konsep akuntabilitas. Dimulai
dari Inpres Nomor 7 Tahun 2009 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah hingga yang terakhir Permenpan Nomor 29 Tahun 2010
yang mengatur tentang penyusunan Penetapan Kinerja dan Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Bahkan, Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN dan RB) pernah
mengeluarkan draft undang –undang tentang akuntabilitas untuk mengikat
instansi pemerintah agar berakuntabilitas.
Salah satu penyebab belum dapat dirasakannya manfaat SAKIP adalah
belum adanya sinkronisasi peraturan antar kementerian terkait. Di satu
sisi pemda harus tunduk pada peraturan yang dikeluarkan Kementerian
Dalam Negeri, di sisi yang lain ada peraturan MENPAN dan RB. Usaha untuk
menyelaraskan peraturan-peraturan tersebut pada dasarnya telah
dilakukan. Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008 tentang tahapan, tata
cara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana
pembangunan daerah terbit mengubah sistematika penyusunan dokumen
perencanaan. PP tersebut mensyaratkan adanya sasaran, indikator kinerja
serta target yang harus ditetapkan dalam RPJMD, Renstra SKPD, RKPD dan
Renja SKPD. Dua tahun kemudian pemerintah menerbitkan Permendagri 54
tahun 2010 sebagai tindak lanjut pelaksanaan PP No 8 Tahun 2008.
Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 seolah memberikan harapan baru atas
penerapan SAKIP yang lebih sempurna. Setidaknya, peraturan ini akan
mengikat pemerintah daerah untuk menyusun dokumen perencanaan yang dapat
dipertanggunjawabkan secara terukur. Dengan adanya petunjuk pelaksanaan
PP Nomor 8 Tahun 2008 yang sangat detail dan jelas seharusnya dapat
mendorong pemerintah daerah untuk lebih akuntabel.
SAKIP DALAM KERANGKA AKUNTABILITAS DAN SPIP
Hingga saat ini Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(SAKIP) lebih sering dipandang sebagai sebuah mekanisme untuk
mempertanggungjawabkan kinerja. Pendekatan tersebut berpijak pada sudut
pandang eksternal atau pemenuhan kepentingan stakeholders. Pandangan ini
tidaklah salah. Namun, dengan pemahaman seperti itu, peran SAKIP
menjadi lebih sempit dan cenderung tidak memunculkan kesadaran instansi
pemerintah atas kebutuhan penerapan SAKIP secara benar.
SAKIP sesungguhnya dapat dilihat dari sudut pandang yang lain. Dalam
kerangka PP 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
(SPIP) disebutkan bahwa dalam unsur kegiatan pengendalian terdapat dua
sub unsur yang menegaskan fungsi SAKIP yang jauh lebih besar. Sub unsur
tersebut adalah reviu atas kinerja dan reviu atas indikator kinerja.
Kedua sub unsur tersebut dengan tegas menyebutkan penetapan indikator
kinerja dan reviu kinerja sebagai bagian dari aktivitas pengendalian.
Sehingga berfungsinya SAKIP dengan baik adalah wujud penerapan SPIP.
Hingga kini SAKIP belum berfungsi baik sebagai media pertanggungjawaban kinerja maupun sebagai alat pengendalian manajemen. Infrastruktur pembangun SAKIP kini sudah terbangun. Jika diibaratkan sebuah bangunan, kekuatan bangunan tersebut sangat tergantung dari bahan-bahan yang digunakan untuk membangunnya. Bahan-bahan itulah yang merupakan komponen pembangun SAKIP yang terdiri dari Renstra, Renja, Tapkin dan LAKIP.
Hingga kini SAKIP belum berfungsi baik sebagai media pertanggungjawaban kinerja maupun sebagai alat pengendalian manajemen. Infrastruktur pembangun SAKIP kini sudah terbangun. Jika diibaratkan sebuah bangunan, kekuatan bangunan tersebut sangat tergantung dari bahan-bahan yang digunakan untuk membangunnya. Bahan-bahan itulah yang merupakan komponen pembangun SAKIP yang terdiri dari Renstra, Renja, Tapkin dan LAKIP.
Jika saat ini infrastrukur SAKIP telah terbangun, mengapa
pertanyaan-pertanyaan di atas masih muncul? SAKIP sesungguhnay mempunyai
dua peranan yaitu sebagai media pertanggungjawaban kinerja dan sebagai
alat pengendalian manajemen. Pemahaman atas kedua sudut pandang dalam
pendekatan SAKIP tersebut akan dapat memberikan arah agar SAKIP tidak
sekedar menjadi formalitas. Justru, penerapan SAKIP seharusnya mendukung
terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik, terwujudnya
pemerintahan yang bersih dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.
PERAN SAKIP SEBAGAI MEDIA PERTANGUNGJAWABAN
Sebagai sebuah sistem akuntabilitas maka penerapan SAKIP haruslah
dapat menjadi media pertanggunjawaban kepala daerah kepada pihak yang
berhak meminta pertanggunjawaban. Pihak-pihak tersebut bisa DPRD sebagai
wakil masyarakat dan Gubernur yang mempunyai fungsi koordinasi
pembangunan daerah di wilayah Provinsi atau bahkan masyarakat.
SAKIP lahir sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik. Terbitnya SAKIP melalui Inpres Nomor 7 Tahun
1999 pun bagian dari paket reformasi penyelenggaraan pemerintahan
setelah orde baru. SAKIP terbit sebagai bagian dari salah satu
konsekuensi diterapkannya otonomi daerah di Indonesia. Dalam beberapa
literatur dijelaskan bahwa delegasi atau pemberian kewenangan yang lebih
luas kepada daerah atau sub-ordinat harus diimbangi dengan peningkatan
akuntabilitas. Jika tidak, penyelewengan kewenangan sulit dihindarkan.
Filosofi dibangunnya SAKIP pun demikian. SAKIP merupakan bagian dari
penerapan anggaran berbasis kinerja (Performance-based Budgeting).
Perubahan dari line-item budgeting menjadi performance-based budgeting
mengharuskan pemerintah daerah untuk menyusun anggaran dengan mengacu
pada target kinerja yang akan dicapai. Jika pada penganggaran sebelumnya
hanya didasarkan pada incremental cost atau jumlah anggaran meningkat
berdasarkan persentase tertentu dibandingkan tahun sebelumnya, maka
dalam performance-based budgeting seluruh anggaran harus dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya. Artinya, setiap dana yang dikeluarkan
harus dapat dikaitkan dengan kinerja yang dihasilkan. Sehingga, SAKIP
harus terintegrasi dalam penganggaran.
Kondisi yang ada saat ini adalah SAKIP belum terbangun secara
sempurna. Kelemahan dalam penyusunan perencanaan yang seharusnya dapat
dijadikan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan instansi pemerintah
dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya belum terwujudkan. Indikator
kinerja utama beserta target yang terukur sesungguhnya adalah acuan
dalam penyusunan anggaran. Sayangnya, justru kedua hal ini lah yang
belum dibangun. Hal ini mengingat konsep anggaran berbasis kinerja hanya
akan dapat berjalan jika instansi pemerintah telah menetapkan indikator
kinerja yang terukur. Jika tidak, anggaran berbasis kinerja akan
menjadi formalitas.
Pemenuhan pengisian RKA yang selanjutnya disetujui dalam DPA hingga
saat ini baru sebatas pengisian formulir yang belum didasarkan pada
sumber data yang dapat diandalkan. Memang, dalam pengisian DPA pun SKPD
telah mengisi target-target indikator kinerja outcome yang akan dicapai.
Namun, kelemahan penetapan indikator kinerja dalam dokumen perencanaan
kinerja menyebabkan pengukuran kinerja tidak bisa dilakukan. Padahal,
pengukuran kinerja ini merupakan bagian penting dari mekanisme
pertanggungjawaban. Jelaslah, fungsi pertanggungjawaban SAKIP hingga
saat ini belum berjalan sebagai mana mestinya. Belum adanya indikator
kinerja yang terukur merupakan faktor utama tidak berfungsinya SAKIP.
Jika indikator kinerja beserta targetnya belum terukur maka
pertanggungjawaban atas capaiannya pun tidak bisa dilakukan.
SAKIP sesungguhnya bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana
pemerintah daerah berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyat,
memperbaiki tata kelola pemerintahannya, meningkatkan kualitas pelayanan
publik bahkan untuk mendorong pemberantas korupsi. SK LAN
239/IX/6/8/2003 pun menyatakan bahwa penerapan sistem pertanggungjawaban
yang tepat, jelas, terukur, dan legitimate akan mendorong
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara
berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas
dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
PP Nomor 8 Tahun 2008 pada dasarnya telah mengikat kepala daerah
terpilih untuk mewujudkan janji-janji yang telah diberikan kepada rakyat
selama kampanye dalam RPJMD. Berdasarkan peraturan tersebut, Kepala
Daerah yang dikoordinasikan oleh Bappeda menyusun visi dan misi,
termasuk hasil-hasil apa yang akan dicapai selama masa pemerintahannya.
Hasil-hasil ini lah harus diukur untuk melihat sejauh mana kepala daerah
telah memenuhi janji-janjinya. Sehingga, sebagai alat ukur dokumen
RPJMD harus dilengkapi dengan indikator kinerja. Indikator yang terukur
tersebut pemerintah daerah didorong untuk menyusun kebijakan-kebijakan
yang berpihak kepada masyarakat. Mereka juga dipacu untuk mendisain
program dan kegiatan yang mendukung tercapainya target-target yang telah
ditetapkan. SAKIP yang telah terbangun dengan baik akan dapat menilai
keberhasilan ataupun kegagalan instansi pemerintah dalam mencapai
target-target yang telah ditetapkan. Mekanisme pertanggungjawaban pun
bisa dilaksanakan jika pemerintah daerah telah menetapkan indikator
kinerja beserta target capaian tahunannya.
Dalam hal penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik dan bebas
korupsi, SAKIP pun sebenarnya dapat digunakan untuk menilai sejauh mana
upaya yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Penerapan SAKIP
seharusnya dapat mendorong instansi pemerintah untuk mewujudkan good
governance termasuk pemberantasan korupsi. Namun demikian, untuk
mendukung terciptanya hal ini harus ditetapkan indikator kinerja yang
tepat yang disertai dengan target-target tahunan yang jelas. Namun
demikian, permasalahan yang sering muncul adalah indikator kinerja
tersebut belum dapat digunakan untuk mendorong tercapainya misi.
Indikator kinerja yang ditetapkan masih pada tingkat kegiatan, misalnya
ketersediaan dokumen perencanaan 100%, koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi 100%, pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil
100%, dan terbangunnya 50% sentra komunikasi melalui nirkabel dan
fixed. Selain itu, indikator yang disusun masih bias atau tidak spesifik
dan jelas. Hal ini dapat dilihat pada indikator-indikator berikut:
konsistensi pelaksanaan perencanaan pembangunan, 90% aparatur
profesional, terwujudnya 90% efisiensi jabatan, penghargaan dan sanksi
hukum 100% dan standarisasi belanja daerah 100%. Indikator-indikator
yang telah ditetapkan ini tentu belum dapat mendorong pemerintah daerah
untuk menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik dan menciptakan
pemerintah yang bersih.
Penyelenggaraan pemerintah yang baik dan bebas korupsi sesungguhnya
dapat diukur berdasarkan persepsi masyarakat terhadap pelayanan
perizinan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Bahkan,
lembaga-lembaga independen termasuk Komite Pemberantasan Korupsi (KPK)
pun setiap tahun mengeluarkan hasil survey integritas. Penetapan hasil
survey baik oleh internal pemerintah maupun lembaga independen dapat
dijadikan sebagai indikator penilaian keberhasilan pemerintah daerah
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Keberanian untuk
menetapkan target kepuasan masyarakat dalam pelayanan publik akan
mendorong pemerintah daerah untuk memperbaiki kinerja pelayanannya
dengan memberikan pelayanan yang cepat, singkat, murah dan tidak
berbelit-belit. Jika hal itu yang digunakan, pertanggungjawabannya tentu
lebih mudah. Ketika pemerintah daerah gagal mencapai target yang telah
ditetapkan maka hal itu adalah gambaran kegagalannya dalam meningkatkan
pelayanan publik.
SAKIP DALAM KERANGKA SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP)
SAKIP pada dasarnya adalah salah satu unsur yang mendukung
terselenggaranya SPIP. Sebaliknya, penyelenggaraan SPIP dapat mendukung
penyempurnaan implementasi SAKIP. Menjawab pertanyaan terkait dengan
belum optimalnya manfaat atas penerapan SAKIP hingga saat ini pada
dasarnya dapat dikaitkan dengan berfungsinya Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (SPIP) dalam suatu organisasi pemerintah. PP 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mendefinisikan bahwa
Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh
pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan
pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan.
SAKIP yang terbangun dari sebuah konsep pertanggunjawaban
sesungguhnya adalah bagian dari upaya untuk meningkatkan kinerja
instansi pemerintah melalui penerapan manajemen kinerja. Dalam kerangka
SPIP reviu atas kinerja merupakan bagian dari kegiatan pengendalian.
Namun, mengulas SAKIP dalam kerangka SPIP tidak hanya bisa didekati dari
aspek kegiatan pengendalian tapi juga pada unsur lingkungan
pengendalian khususnya terkait dengan sub unsur kepemimpinan yang
kondusif. Bahkan dalam unsur pengendalian risiko manajemen berbasis
kinerja yang termanifestasi dalam SAKIP, juga disebutkan bahwa pimpinan
instansi pemerintah wajib menetapkan tujuan instansi pemerintah dan
tujuan pada tingkat kegiatan. Tujuan yang dimaksud di sini adalah bagian
dari unsur Renstra yang menjadi pendukung sistem AKIP. Selanjutnya,
tujuan yang telah ditetapkan harus dikomunikasikan kepada pegawai.
SAKIP, Lingkungan Pengedalian dan Kegiatan Pengendalian
SAKIP, Lingkungan Pengedalian dan Kegiatan Pengendalian
Analisis atas penerapan SAKIP dari sudut pandang SPIP dapat semakin
memperjelas alasan-alasan belum berfungsinya SAKIP dalam menciptakan
tata kelola pemerintahan yang baik, meningkatkan kualitas pelayanan
publik dan mewujudkan pemerintahan yang bersih. SAKIP yang lahir dari
sebuah Inpres Nomor 7 Tahun 1999 yang kemudian ditindaklanjuti dengan
beberapa peraturan pendukungnya pada dasarnya, dalam konteks SPIP,
adalah bagian dari infrastruktur yang mendukung terselenggaranya SPIP.
Infrastruktur tersebut merupakan hard factor yang hanya akan berfungsi
jika ada soft factor yang mendukung. Soft factor itulah yang dalam
lingkungan pengendalian merupakan kepemimpinan yang kondusif. Dalam
kaitannya dengan SAKIP sub unsur lingkungan pengendalian yang terkait
adalah penerapan manajemen berbasis kinerja. Beberapa hal yang harus
dilakukan oleh pimpinan instansi pemerintah untuk mendukung
terlaksananya manajemen adalah sebagai berikut.
1. Pimpinan instansi pemerintah mendorong perencanaan dan pelaksanaan
program dan kegiatan searah dengan visi dan misi organisasi
2. Pimpinan mendorong dibangunnya perangkat dan pelatihan agar diterapkannya anggaran berbasis kinerja di instansinya
3. Tugas-tugas diarahkan pada pencapaian kinerja organisasi agar tujuan organisasi dapat segera tercapai
4. Pegawai dan organisasi yang telah mencapai kinerja dengan baik perlu diberikan penghargaan agar mendorong pegawai dan organisasi terus berkinerja baik
5. Pimpinan instansi mendukung dilakukannya evaluasi kinerja di instansinya secara terus menerus agar dapat dipantau perkembangan kinerjanya
2. Pimpinan mendorong dibangunnya perangkat dan pelatihan agar diterapkannya anggaran berbasis kinerja di instansinya
3. Tugas-tugas diarahkan pada pencapaian kinerja organisasi agar tujuan organisasi dapat segera tercapai
4. Pegawai dan organisasi yang telah mencapai kinerja dengan baik perlu diberikan penghargaan agar mendorong pegawai dan organisasi terus berkinerja baik
5. Pimpinan instansi mendukung dilakukannya evaluasi kinerja di instansinya secara terus menerus agar dapat dipantau perkembangan kinerjanya
Selanjutnya, dalam kegiatan pengendalian disebutkan bahwa dalam upaya
untuk memantau pencapaian kinerja instansi pemerintah, pimpinan
instansi pemerintah harus:
1. Terlibat dalam penyusunan rencana strategis dan rencana kerja tahunan
2. Terlibat dalam pengukuran dan pelaporan hasil yang dicapai
3. Secara berkala mereviu kinerja dibandingkan rencana
4. Pada setiap tingkat kegiatan mereviu laporan kinerja, menganalisis kecenderungan dan mengukur hasil dibandingkan dengan target anggaran, prakiraan dan kinerja periode lalu
1. Terlibat dalam penyusunan rencana strategis dan rencana kerja tahunan
2. Terlibat dalam pengukuran dan pelaporan hasil yang dicapai
3. Secara berkala mereviu kinerja dibandingkan rencana
4. Pada setiap tingkat kegiatan mereviu laporan kinerja, menganalisis kecenderungan dan mengukur hasil dibandingkan dengan target anggaran, prakiraan dan kinerja periode lalu
Kedua hal diatas menunjukkan pimpinan instansi pemerintah memegang
peranan penting dalam penerapan manajemen kinerja. Permasalahan belum
dapat dimanfaatkannya SAKIP pada dasarnya juga dapat ditelusur dari
unsur soft factor yang belum mendukung. Hasil observasi terhadap tingkat
pemahaman dan keterlibatan unsur pimpinan dalam menerapkan manajemen
kinerja masih sangat lemah. Kelemahan komitmen tersebut terlihat dari
keterlibatan pimpinan dan pejabat-pejabat teknis SKPD yang terkait
berjalannya mekanisme SAKIP mulai dari penyusunan rencana strategis,
penyusunan rencana kinerja tahunan hingga reviu secara berkala.
Kondisi yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa penyusunan LAKIP
dilakukan oleh bagian program di setiap SKPD. Keterlibatan bidang-bidang
teknis pada setiap SKPD hanya sebatas penyerahan data yang kemudian
diolah oleh bagian program dan dikompilasi menjadi LAKIP. Data yang
selama ini diolah pun baru sebatas data realisasi fisik dan keuangan
atas pelaksanaan kegiatan dalam satu tahun. Hal ini terjadi karena
keterbatasan pemahaman baik dari sisi pelaksana, yaitu bagian program,
maupun unsur pimpinan dan pejabat teknis lainnya terkait dengan
informasi yang seharusnya direncanakan dan dilaporkan. Hal lain yang
perlu mendapat perhatian adalah belum adanya mekanisme
pertanggungjawaban yang dilakukan secara transparan baik pada tingkat
pemerintah daerah ataupun pada tingkat SKPD. Mekanisme pertanggunjawaban
seperti pertemuan yang mereviu capaian kinerja secara transparan tentu
akan mendorong pihak yang diminta pertanggungjawabannya untuk memberikan
perhatian yang lebih dan menyadari konsekwensi yang akan dihadapinya.
Hal ini hanya akan terjadi jika pimpinan instansi pemerintah mempunyai
komitmen untuk mengaitkan antara kinerja dengan reward dan punishment
sebagaimana yang disyaratkan dalam unsur lingkungan pengendalian.
Infrasruktur SAKIP saat ini sudah terbangun, terlepas dari beberapa
kelemahannya. Namun, hal yang lebih penting dari pada itu adalah aspek
lingkungan pengendalian berupa komitmen pimpinan untuk ‘menghidupkan’
SAKIP yang akan berfungsi sebagai alat pengendalian manajemen. Dengan
demikian, untuk menjawab bagaimana mendayagunakan SAKIP untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk memperbaiki kualitas
pelayanan publik dan menciptakan good governance hanya dapat dilakukan
dengan mengintegrasikan SAKIP dengan SPIP.
Seiring dengan perkembangan konsep SAKIP dalam tata perundangan di
Indonesia muncul Permendagri 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Daerah. Permendagri
ini menjembatani gap antara peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian
Dalam Negeri yang mengatur tata cara penyusunan dokumen perencanaan baik
menengah ataupun tahunan dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi.
Ketidaksinkronan antara unsur-unsur pertanggungjawaban yang menjadi
prasyarat dalam mekanisme akuntanbilitas kinerja dengan RPJMD/Renstra
dan RKPD/Renja yang disusun oleh Pemerintah Daerah dan SKPD telah
diselaraskan dalam peraturan ini. Hal ini menunjukkan bahwa
infrastruktur pendukung SAKIP telah mencapai kesempurnaan.
Permendagri 54 Tahun 2010 memberikan arah bagi pemerintah daerah untuk menyusun dokumen perencanaan dengan memuat visi, misi, tujuan, sasaran dan indikator kinerja. Lebih lanjut, Permendagri ini pun memberikan arahan yang jelas dan detail terkait dengan indikator kinerja daerah dan target-target tahunan selama jangka waktu lima tahun yang hendak dicapai oleh daerah. Indikator kinerja ini lah yang selama ini menjadi penyebab utama tidak dapat diukurnya keberhasilan dan kegagalan instansi pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Hal ini disebabkan peraturan perundangan terkait penyusunan dokumen perencanaan sebelumnya belum secara eksplisit mengamanatkan pemerintah daerah untuk menetapkan indikator kinerja dan target capaian secara jelas dan terukur.
Permendagri 54 Tahun 2010 memberikan arah bagi pemerintah daerah untuk menyusun dokumen perencanaan dengan memuat visi, misi, tujuan, sasaran dan indikator kinerja. Lebih lanjut, Permendagri ini pun memberikan arahan yang jelas dan detail terkait dengan indikator kinerja daerah dan target-target tahunan selama jangka waktu lima tahun yang hendak dicapai oleh daerah. Indikator kinerja ini lah yang selama ini menjadi penyebab utama tidak dapat diukurnya keberhasilan dan kegagalan instansi pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Hal ini disebabkan peraturan perundangan terkait penyusunan dokumen perencanaan sebelumnya belum secara eksplisit mengamanatkan pemerintah daerah untuk menetapkan indikator kinerja dan target capaian secara jelas dan terukur.
Tonggak menuju kesempurnaan implementasi SAKIP kini telah
ditancapkan. Berjalannya fungsi dari SAKIP tersebut tergantung pada soft
factor yang terdiri dari seluruh unsur dalam organisasi khususnya
pimpinan dan pejabat teknis yang terkait dalam pencapaian kinerja
instansi pemerintah. PP No. 60 Tahun 2010 sesungguhnya mendorong
pemerintah daerah untuk ‘menghidupkan’ SAKIP. Indikasi dari SAKIP yang
telah terinternalisasi adalah keterlibatan unsur pimpinan dalam
penyusunan perencanaan stratejik, perencanaan tahunan, pengukuran
kinerja, reviu kinerja dan pemberian reward dan punishment atas
pencapaian target kinerja.
Melihat hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penerapan SAKIP maka
yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah menumbuhkan komitmen dari
pimpinan instansi pemerintah. Sosialisasi dan bimbingan teknis selama
ini baru memberikan pemahaman kepada pegawai yang diberikan tugas untuk
menyusun LAKIP. Pemerintah daerah beserta SKPD kini telah berhasil
menyusun LAKIP. Namun, esensi dari LAKIP belum dirasakan manfaatnya
karena belum adanya dukungan, komitmen dan kemauan dari kepala daerah
maupun kepala SKPD untuk mendayagunakan SAKIP sebagai media pengendalian
manajemen. Untuk mencapai hal ini, perlu digagas metodologi asistensi
SAKIP yang bersinergi dengan penerapan SPIP. Metodologi ini harus mampu
mengubah pemahaman seluruh unsur dalam organisasi bahwa pengukuran
kinerja bukanlah pengukuran atas capaian realisasi fisik dan keuangan
kegiatan sebagaimana saat ini terjadi. Selanjutnya, metodologi ini juga
harus mampu mendorong pimpinan instansi pemerintah untuk melakukan reviu
kinerja secara transparan dan mengaitkan kinerja dengan reward dan
punsihment.
Menindaklanjuti Permendagri 54 Tahun 2010 mempunyai kekuatan yang
besar untuk memaksa pemerintah daerah lebih akuntabel dengan menyusun
dan mengendalikan dokumen perencanaan, mulai dari RPJPD, RPJMD hingga
Renja SKPD. Untuk itu pemahaman yang baik atas permendagri ini menjadi
suatu keharusan yang tidak bisa dibantahkan lagi. Sehingga, tim
asistensi SAKIP yang bisa jadi juga menjadi tim pengembangan SPIP di
tingkat pemerintahan daerah harus diberikan pelatihan agar terbangun
kesamaan pemahaman terhadap penerapan peraturan tersebut. Ditambah lagi,
hingga akhir tahun 2010 sebagian besar kementerian telah menetapkan
Standar Pelayanan Minimal (SPM). Pemahaman yang mendalam tentang SPM
sesungguhnya merupakan persyaratan mutlak untuk dapat memberikan
asistensi implementasi Permendagri 54 Tahun 2010. Hal ini mengingat
indikator yang wajib digunakan dalam menyusun dokumen perencanaaan
adalah indikator dan target-target yang ada dalam SPM.
PENUTUP
SAKIP sesungguhnya mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya
peningkatan penyelenggaraan pemerintahan. Kalau hingga saat ini belum
dirasakan manfaatnya hal ini lebih disebabkan karena bangunan
infrastruktur yang belum sempurna. Ditambah lagi, SAKIP hingga saat ini
lebih dipandang sebagai sebuah media yang statis. Padahal, berjalannya
mekanisme pertanggunjawaban kinerja mengharuskan adanya sebuah sistem
yang hidup dan dihidupkan. Sistem yang hidup dan dihidupkan itu terlihat
dari berjalannya mekanisme analisis dan evaluasi yang dilaksanakan
secara transparan dengan melibatkan seluruh unsur pejabat teknis dan
pimpinan.
SAKIP yang memberikan manfaat adalah sebuah sistem yang dapat
digunakan sebagai alat untuk memperbaiki kebijakan serta mendorong
pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam mendisain program dan
kegiatan. Selanjutnya, SAKIP pun seharusnya dapat digunakan sebagai
dasar dalam memberikan reward dan punishment yang bisa dikaitkan dengan
kinerja individu. Manfaat tersebut baru bisa dipetik jika ada komitmen
yang kuat dari pimpinan untuk memberikan pemahaman yang kuat akan
pentingnya SAKIP yang tak hanya bisa berfungsi sebagai media
pertanggunjawaban kinerja tetapi juga sebagai alat pengendalian.