Ibarat lukisan besar, pemberantasan korupsi sepanjang 2011 dapat
dikatakan gagal keluar dari potret buram berlatar suram. Limpahan
megaskandal korupsi 2010 yang diharapkan tuntas tahun ini tak
menunjukkan kemajuan signifikan.
Ibarat lukisan besar, pemberantasan korupsi sepanjang 2011 dapat
dikatakan gagal keluar dari potret buram berlatar suram. Limpahan
megaskandal korupsi 2010 yang diharapkan tuntas tahun ini tak
menunjukkan kemajuan signifikan. Bahkan, sejumlah peristiwa yang
tersingkap sepanjang 2011 menegaskan satu hal: agenda pemberantasan
sulit keluar dari lorong gelap. Langkah memberantas korupsi bak menuju
titik nadir. Padahal, sejumlah peristiwa pada 2011 seharusnya mampu
menghadirkan langkah besar dalam pemberantasan korupsi. Sebut saja,
misalnya, skandal mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan yang
sepertinya bergerak memasuki jalur lambat.
Padahal, banyak kalangan berpikir positif bahwa heboh yang terjadi
awal 2011 akan jadi energi ekstra guna mendorong langkah besar
pemberantasan korupsi. Faktanya jauh panggang dari api: penyelesaian
skandal Gayus bukti agenda pemberantasan korupsi menuju titik nadir.
Dalam konteks penegakan hukum, skandal mafia pajak yang menempatkan
Gayus harus diselisik lebih dalam. Selain melibatkan sejumlah nama di
kepolisian dan kejaksaan, skandal ini juga menunjukkan betapa bopeng
wajah penegakan hukum. Yang membuat kita miris, penyelesaian skandal ini
jadi pembenaran empiris perilaku tebang-pilih dalam penegakan hukum.
Tebang-pilih tak hanya karena gagal menguak tuntas identitas polisi dan
jaksa yang terlibat, tetapi juga gagal membongkar perusahaan-perusahaan
besar yang menerima jasa Gayus.
Banyak kalangan kian kehilangan harapan disebabkan oleh penegak hukum tak menunjukkan perubahan berarti dalam memberantas korupsi.
Tumpul
Suatu ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengemukakan
pernyataan ”sederhana” untuk menggambarkan penegakan hukum, termasuk
pemberantasan korupsi. Menurut dia, ”penegakan hukum tumpul ke atas dan
tajam ke bawah”. Ilustrasi ini tak hanya dapat dilacak dari langkah
penyelesaian yang telah diambil dalam skandal mafia pajak yang
melibatkan Gayus, tetapi juga dari penyelesaian skandal Bank Century.
Sampai sejauh ini, skandal Century masih menyimpan misteri dalam
jagat penegakan hukum. Sepanjang 2011, harapan agar ada kemajuan dalam
penyelesaian skandal Century sama sekali tidak terjadi. Padahal, publik
masih berpegang pada hasil voting panitia khusus DPR yang menerima opsi C
bahwa ”patut diduga telah terjadi penyimpangan proses pengambilan
kebijakan penalangan Bank Century oleh otoritas moneter”. Oleh karena
itu, sangat mungkin tidak bergeraknya skandal Century membuktikan
tumpulnya proses hukum bekerja bagi mereka yang memiliki posisi politik
kuat.
Tidak saja untuk peristiwa yang terjadi sebelum 2011, sejumlah
skandal yang terjadi sepanjang tahun ini hanya mampu menyentuh mereka
yang tak berada dalam posisi politik yang kuat. Sebut saja, misalnya,
skandal suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Proses penegakan hukum
skandal suap yang terjadi, sepertinya, akan segera berhenti begitu
(mantan) Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam
dinyatakan bersalah. Penumpulan itu dapat pula dijelaskan dengan skandal
yang terjadi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Selain itu, tindak lanjut bekerjanya proses hukum terhadap mantan
Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin membuktikan pendapat Mahfud.
Meski megaskandal ini mendapat perhatian amat luas dari publik, proses
hukum sepertinya akan berhenti sampai di Nazaruddin. Padahal, jika
mengikuti perjalanan skandal ini sejak awal, sulit diterima akal sehat
Nazaruddin bermain sendiri. Sampai sejauh ini proses hukum dapat
dikatakan kehilangan nyali menyentuh semua nama yang pernah disebut
Nazaruddin. Bahkan, janji mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas untuk
menetapkan tersangka baru hilang ditelan bumi.
Sepanjang 2011, sejumlah penegak hukum tertangkap tangan
memperdagangkan otoritas penegakan hukum. Kejadian itu membuktikan,
langkah reformasi internal penegak hukum masih sangat jauh untuk dituai
demi memenuhi harapan pencapaian agenda pemberantasan korupsi.
Harus dicatat, rangkaian kejadian sepanjang 2011 tak hanya
meluluhlantakkan harapan memberantas korupsi, tetapi juga mencabik-cabik
proses meraih keadilan. Semua itu terasa kian mengiris-iris nadi agenda
pemberantasan korupsi ketika sejumlah pengadilan tindak pidana korupsi
di daerah membebaskan mereka yang tersangkut kasus korupsi. Boleh jadi,
putusan bebas itu seperti hendak mempertautkan wilayah Indonesia dalam
peta buram cengkeraman korupsi.
Bagaimana 2012?
Sekalipun potret buram lebih dominan, tak berarti semua yang
dilakukan tanpa capaian sama sekali. Setidaknya di pengujung 2011 kita
mendapat dua kabar baik. Selain naiknya indeks persepsi korupsi dari 2,8
(2010) menjadi 3,0 (2011), keberhasilan penegak hukum memulangkan Nunun
Nurbaeti jadi prestasi tersendiri.
Banyak pihak percaya, kedua capaian tersebut ditambah hadirnya
pimpinan KPK yang baru akan menjadi modal besar memberantas korupsi
tahun depan. Untuk itu, paling tidak, wajah pemberantasan korupsi 2012
dapat dilacak dari penyelesaian skandal bail out Bank Century, upaya
mengurai jejaring di sekitar Nazaruddin, dan manfaat yang dapat diraih
dari keberhasilan memulangkan Nunun. Bagaimanapun, upaya penyelesaian
skandal tersebut akan mampu memulihkan citra penegakan hukum.
Selain itu, tak kalah penting, publik juga tengah menunggu keberanian
KPK mengurai jejaring mafia anggaran di DPR. Keberanian KPK mengurai
secara tuntas mafia anggaran akan menunjukkan kepada publik bagaimana
lembaga ini menghadapi tekanan politik dalam pemberantasan korupsi. Hal
ini bermakna, penetapan Wa Ode Nurhayati sebagai tersangka bukan menjadi
ujung cerita penyelesaian skandal ini. Sekiranya penuntasan semua
skandal ini tetap sulit menjamah mereka yang memiliki posisi politik
kuat, agenda pemberantasan korupsi tak akan pernah keluar dari lorong
gelap
Oleh: Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Sumber: KOMPAS, Jumat, 23 Desember 2011, Halaman: 6.