IconIconIconIcon


Kamis, 02 Mei 2013

Lorong Gelap Berantas Korupsi

Ibarat lukisan besar, pemberantasan korupsi sepanjang 2011 dapat dikatakan gagal keluar dari potret buram berlatar suram. Limpahan megaskandal korupsi 2010 yang diharapkan tuntas tahun ini tak menunjukkan kemajuan signifikan.

Ibarat lukisan besar, pemberantasan korupsi sepanjang 2011 dapat dikatakan gagal keluar dari potret buram berlatar suram. Limpahan megaskandal korupsi 2010 yang diharapkan tuntas tahun ini tak menunjukkan kemajuan signifikan. Bahkan, sejumlah peristiwa yang tersingkap sepanjang 2011 menegaskan satu hal: agenda pemberantasan sulit keluar dari lorong gelap. Langkah memberantas korupsi bak menuju titik nadir. Padahal, sejumlah peristiwa pada 2011 seharusnya mampu menghadirkan langkah besar dalam pemberantasan korupsi. Sebut saja, misalnya, skandal mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan yang sepertinya bergerak memasuki jalur lambat.
Padahal, banyak kalangan berpikir positif bahwa heboh yang terjadi awal 2011 akan jadi energi ekstra guna mendorong langkah besar pemberantasan korupsi. Faktanya jauh panggang dari api: penyelesaian skandal Gayus bukti agenda pemberantasan korupsi menuju titik nadir.
Dalam konteks penegakan hukum, skandal mafia pajak yang menempatkan Gayus harus diselisik lebih dalam. Selain melibatkan sejumlah nama di kepolisian dan kejaksaan, skandal ini juga menunjukkan betapa bopeng wajah penegakan hukum. Yang membuat kita miris, penyelesaian skandal ini jadi pembenaran empiris perilaku tebang-pilih dalam penegakan hukum. Tebang-pilih tak hanya karena gagal menguak tuntas identitas polisi dan jaksa yang terlibat, tetapi juga gagal membongkar perusahaan-perusahaan besar yang menerima jasa Gayus.
Banyak kalangan kian kehilangan harapan disebabkan oleh penegak hukum tak menunjukkan perubahan berarti dalam memberantas korupsi.
Tumpul
Suatu ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengemukakan pernyataan ”sederhana” untuk menggambarkan penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi. Menurut dia, ”penegakan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah”. Ilustrasi ini tak hanya dapat dilacak dari langkah penyelesaian yang telah diambil dalam skandal mafia pajak yang melibatkan Gayus, tetapi juga dari penyelesaian skandal Bank Century.
Sampai sejauh ini, skandal Century masih menyimpan misteri dalam jagat penegakan hukum. Sepanjang 2011, harapan agar ada kemajuan dalam penyelesaian skandal Century sama sekali tidak terjadi. Padahal, publik masih berpegang pada hasil voting panitia khusus DPR yang menerima opsi C bahwa ”patut diduga telah terjadi penyimpangan proses pengambilan kebijakan penalangan Bank Century oleh otoritas moneter”. Oleh karena itu, sangat mungkin tidak bergeraknya skandal Century membuktikan tumpulnya proses hukum bekerja bagi mereka yang memiliki posisi politik kuat.
Tidak saja untuk peristiwa yang terjadi sebelum 2011, sejumlah skandal yang terjadi sepanjang tahun ini hanya mampu menyentuh mereka yang tak berada dalam posisi politik yang kuat. Sebut saja, misalnya, skandal suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Proses penegakan hukum skandal suap yang terjadi, sepertinya, akan segera berhenti begitu (mantan) Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dinyatakan bersalah. Penumpulan itu dapat pula dijelaskan dengan skandal yang terjadi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Selain itu, tindak lanjut bekerjanya proses hukum terhadap mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin membuktikan pendapat Mahfud. Meski megaskandal ini mendapat perhatian amat luas dari publik, proses hukum sepertinya akan berhenti sampai di Nazaruddin. Padahal, jika mengikuti perjalanan skandal ini sejak awal, sulit diterima akal sehat Nazaruddin bermain sendiri. Sampai sejauh ini proses hukum dapat dikatakan kehilangan nyali menyentuh semua nama yang pernah disebut Nazaruddin. Bahkan, janji mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas untuk menetapkan tersangka baru hilang ditelan bumi.
Sepanjang 2011, sejumlah penegak hukum tertangkap tangan memperdagangkan otoritas penegakan hukum. Kejadian itu membuktikan, langkah reformasi internal penegak hukum masih sangat jauh untuk dituai demi memenuhi harapan pencapaian agenda pemberantasan korupsi.
Harus dicatat, rangkaian kejadian sepanjang 2011 tak hanya meluluhlantakkan harapan memberantas korupsi, tetapi juga mencabik-cabik proses meraih keadilan. Semua itu terasa kian mengiris-iris nadi agenda pemberantasan korupsi ketika sejumlah pengadilan tindak pidana korupsi di daerah membebaskan mereka yang tersangkut kasus korupsi. Boleh jadi, putusan bebas itu seperti hendak mempertautkan wilayah Indonesia dalam peta buram cengkeraman korupsi.  

Bagaimana 2012?
Sekalipun potret buram lebih dominan, tak berarti semua yang dilakukan tanpa capaian sama sekali. Setidaknya di pengujung 2011 kita mendapat dua kabar baik. Selain naiknya indeks persepsi korupsi dari 2,8 (2010) menjadi 3,0 (2011), keberhasilan penegak hukum memulangkan Nunun Nurbaeti jadi prestasi tersendiri.
Banyak pihak percaya, kedua capaian tersebut ditambah hadirnya pimpinan KPK yang baru akan menjadi modal besar memberantas korupsi tahun depan. Untuk itu, paling tidak, wajah pemberantasan korupsi 2012 dapat dilacak dari penyelesaian skandal bail out Bank Century, upaya mengurai jejaring di sekitar Nazaruddin, dan manfaat yang dapat diraih dari keberhasilan memulangkan Nunun. Bagaimanapun, upaya penyelesaian skandal tersebut akan mampu memulihkan citra penegakan hukum.
Selain itu, tak kalah penting, publik juga tengah menunggu keberanian KPK mengurai jejaring mafia anggaran di DPR. Keberanian KPK mengurai secara tuntas mafia anggaran akan menunjukkan kepada publik bagaimana lembaga ini menghadapi tekanan politik dalam pemberantasan korupsi. Hal ini bermakna, penetapan Wa Ode Nurhayati sebagai tersangka bukan menjadi ujung cerita penyelesaian skandal ini. Sekiranya penuntasan semua skandal ini tetap sulit menjamah mereka yang memiliki posisi politik kuat, agenda pemberantasan korupsi tak akan pernah keluar dari lorong gelap
Oleh: Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Sumber: KOMPAS, Jumat, 23 Desember 2011, Halaman: 6.



Postingan Populer