Secara umum Hukum Pajak dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni Hukum
Pajak material dan Hukum Pajak formal.
Pertama, Hukum Pajak material. Hukum Pajak material memuat
norma-norma yang menerangkan:
-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus
dikenai pajak (obyek pajak)
-Siapa-siapa yang harus dikenai pajak (subyek pajak/wajib pajak)
-Berapa besarnya pajak
-Peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan, denda-denda
-Peraturan-peraturan yang memuat hukuman-hukuman terhadap ketentuan
perpajakan
-Perturan-peraturan tentang tata cara pembebasan dan pengembalian
pajak
-Peraturan-peraturan tentang hak mendahului dari fiskus (kas negara)
Kedua, Hukum Pajak formal. Hukum Pajak formal adalah
serangkaian norma yang mengatur cara menjelmakan Hukum Pajak material menjadi
suatu kenyataan. Hukum Pajak formal ini bersifat mengabdi kepada Hukum Pajak
material, artinya keberadaan Hukum Pajak formal disesuaikan dengan kebutuhan
yang dikehendaki untuk berlakunya Hukum Pajak material.Agar Hukum Pajak
material dapat berlaku efektif maka Hukum Pajak formal harus ada. Hukum Pajak
formal antara lain mengatur: pendaftaran obyek pajak, pemungutan pajak,
penyetoran pajak, pengajuan keberatan, permohonan banding, dan permohonan
pengurangan dan penundaan pembayaran.
Namun ada beberapa ahli hukum yang berpendapat bahwa, hukum di Indonesia
merupakan warisan dari Pemerintah Hindia Belanda.Sesungguhnya hukum tersebut
berasal dari sistem hukum Romawi, di mana sistem hukum itu menarik garis
pemisah yang tegas antara hukum privat dengan hukum publik.Sistem ini sering
disebut civil law sistem atau system Eropa Kontinental.Ada beberapa jenis
hukum.
a.Hukum privat, hukum yang mengatur kepentingan dan hak-hak orang
perorangan perdata maksudnya yaitu hubungan antar individu dengan individu lain
yang sifatnya pribadi/ khusus.
Contoh: hukum perkawinan, hukum warisan, hukum perjanjian dan hukum
dagang
b.Hukum publik, hukum yang mengatur hubungan hukum antara Pemerintah
dengan warganya.
Contoh: hukum pidana, hukum tata negara, hukum tata usaha negara,
hukum Pajak, dan hukum lingkungan.
Hukum pajak pada umumnya dimaksudkan sebagai bagian dari hukum publik,
yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan rakyat.Hal tersebut dapat
dimengerti karena di dalam hukum pajak diatur mengenai hubungan antara
pemerintah (dalam fungsinya sebagai fiskus) dengan rakyat (dalam kapasitasnya
sebagai subyek pajak).Secara umum, kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari
hukum administrasi negara. Prof. PJA Adriani menegaskan bahwa hukum pajak harus
dipisahkan dan tidak menjadi bagian dari hukum administrasi, karena hukum pajak
mempunyai fungsi ikut menentukan politik perekonomian suatu negara yang mana
fungsi itu tidak dimiliki oleh hukum administrasi.Setelah mencermati uraian
diatas, bagaimana hubungan Hukum Pajak dengan hukum yang lain?
II.Pembahasan
a. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata
Sebagaimana diketahui bahwa hukum perdata merupakan hubungan hukum
yang terjadi antara sesama anggota masyarakat, sedangkan hukum pajak merupakan
hukum publik (bagian dari hukum Administrasi Negara) yang mengatur hubungan
hukum (khususnya masalah pungutan pajak) antara Pemerintyah cq. Direktorat
Jenderal Pajak dengan masyarakat (disebut Wajib Pajak).Hubungan yang jelas
tampak adalah bahwa dalam Hukum Pajak selalu mencari dasar kemungkinan
pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata misalnya berupa
perjanjian-perjanjian, hal pendapatan (penghasilan), kekayaan, warisan.
Seseorang yang melakukan perjanjian jual beli suatu barang, merupakan dasar
bagi Hukum Pajak untuk melakukan pemungutan pajak/pengenaan pajak, misalnya
transaksi pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai); transaksi penjualan tanah
dan bangunan antara pihak penjual dan pihak pembeli, merupakan perbuatan hukum
perdata. Perbuatan hukum ini merupakan sasaran atau obyek dikenakannya
pemungutan pajak atas transaksi tersebut. Hubungan lain misalnya mengenai
pengertian/terminology dalam hukum pajak yang banyak dipengaruhi oleh hukum
perdata seperti pengertian Wajib Pajak yang dalam hukum perdata sering disebut
subyek hukum walaupun pengertian subyek hukum sebenarnya lebih luas daripada
pengertian Wajib Pajak. Pengertian Wajib Pajak dalam Hukum Pajak tentunya
dipengaruhi oleh hukum perdata pada umumnya.
Menurut Prof.Mr.WF. Prins dalam bukunya Het Belasting van Indonesie,
menyatakan bahwa ‘’hubungan erat ini sangat mungkin sekali timbul karena banyak
dipergunakan istilah-istilah Hukum Perdata dalam Hukum Pajak walaupun sebagai
prinsip harus dipegang teguh, bahwa pengertian-pengertian yang dianut oleh
Hukum Perdata tidak selalu dianut dalam Hukum Pajak”. Misalnya istilah “tempat
tinggal”atau domisili, diatur baik dalam Hukum Perdata maupun dalam Hukum
Pajak. Di dalam Hukum Perdata domisili diatur dalam Pasal 17 sampai dengan
Pasal 25 BW, sedangkan dalam Hukum Pajak antara lain dalam Undang-Undang lama
yaitu Pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPh 1932 jo pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPd
1944 dan dalam Undang-Undang Pajak baru Pasal 2 ayat (5) dan ayat (6) UU No.7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan UU No.36 Tahun 2008. Untuk jelasnya bunyi pasal-pasal tersebut
adalah :
- Pasal 17 B.W. : Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya. Dalam hal tak adanya tempat tinggal yang demikian, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal”.
- Pasal 2 ayat (6) UU Pajak Penghasilan : “Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada,bertempat tinggal atau bertempat kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya”.
- Dengan adanya kedua ketentuan tersebut maka ketentuan yang ada dalam Hukum Pajak yang dianut oleh Fiskus, karena merupakan ketentuan yang khusus (lex spesialis derogat lex generalis)
b. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana
Ketentuan pidana tidak hanya ada di dalam KUHP, melainkan juga di luar
KUHP.Hal-hal yang diatur di dalam KUHP berbeda dengan hal-hal yang berlaku di
dalam pajak.Contoh, di dalam KUHP dianut prinsip bahwa yang dipidana itu hanya
orang (meskpun dalam perkembangannya tidak terbatas pada orang saja karena
dikenal juga adanya tindak pidana korupsi). Sedangkan di dalam pajak yang dapat
dijatuhi sanksi pidana, bisa ”orang” dan bisa juga ”badan”. Di dalam
pidana dianut prinsip bahwa proses penyidikan sampai pada penuntutan akan
dihentikan apabila tersangka (pelaku tindak pidana) meninggal dunia, sementara
di dalam hukum pajak hal seperti ini tidak berlaku, karena apabila itu terjadi
maka sesuai hukum pajak, akan diteruskan kepada ahli waris (tersangka).
Sanksi Pidana terhadap pelanggaran atau kejahatan di bidang perpajakan
yang diancam baik dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang Pajak.
-Membuka rahasia / rahasia jabatan, pasal 322 KUHP :
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya
karena jabatan atau pekerjaannya, sekarang maupun dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan
ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap orang tertentu, maka perbuatan
itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang lain.
Pasal 41 Undang-Undang KUP :
- Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
- Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
- Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) nya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
-Pemalsuan Surat
Pasal 263 KUHP.
- Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar atau tidak dipalsukan, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
- Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 39 ayat (1) huruf f Undang-Undang KUP
Setiap orang yang dengan sengaja :
a,b,c, dan seterusnya.
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah-olah benar atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. dan seterusnya.
Sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar.
Dengan adanya dua ketentuan tersebut maka ketentuan yang ada dalam
Hukum Pajak yang dianut oleh Fiskus, karena merupakan ketentuan yang khusus
(lex spesialis derogat lex generalis)
c. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Administrasi
Hukum administrasi adalah hukum yang mengatur fungsi
pemerintahan.Selain mengatur tugas pemerintah, hukum administrasi juga mengatur
hubungan antara pemerintah dengan rakyat.Dalam konteks ini, hukum pajak juga
ada karena pajak merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh rakyat kepada
negara (pemerintah).
III.Simpulan
Berdasarkan sistematika dasar tata hukum nasional dan banyak
literaturmenggolongkan Hukum Pajak menjadi bagian dari Hukum Administrasi
Negara, meskipun ada pendapat ahli yang berpendapat bahwa Hukum Pajak harus
dipisahkan dan tidak menjadi bagian dari hukum administrasi (Prof.PJA Adriani),
karena Hukum Pajak mempunyai fungsi ikut menentukan politik perekonomian suatu
negara yang mana fungsi itu tidak dimiliki oleh hukum administrasi.
Salah satu asas dalam peraturan perundang-undangan adalah asas “lex
spesialis derogat lex generalis, artinya Undang-Undang yang bersifat khusus
mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum (ketentuan dalam hukum pajak
mengensampingkan ketentuan dalam hukum yang lain apabila mengatur hal yang
sama).Menurut teori sistem hukum dari Hart, asas “lex specialis derogate
legi generali' termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini
mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku.
Daftar Pustaka
1. Agus Satrija Utara,(2011), Pengantar Hukum Pajak, Pusdiklat
Pajak,Jakarta
2.Wirawan B. Ilyas, Richard Burton,(2007), Hukum Pajak,Salemba
Empat,Jakarta
3.__________,Tanpa Tahun,Hukum Pajak, dalam http://www.fiskal.co.id/berita/fiskal-1/180/hukum-pajak,
diakses15 Mei 2015
4.__________, Tanpa Tahun,Eksistensi Asas Lex Spesialis Derogat Legi
Generalis Dalam Tindak Pidana Perpajakan, dalam
http://taxandcorruption.blogspot.com/2008/12/eksistensi-asas-lex-spesialis-derogat.html,
diakses 15 Mei 2015
5.__________, Tanpa Tahun, Asas-asas, dalam http://fans1903.blogspot.com/2012/09/asas-asas-hukum_1120.html
, diakses 15 Mei 2015
6._______________, Tanpa Tahun, Asas Perundang-Undangan Dan
Contohnya, dalamhttp://campusassignment.blogspot.com/2012/04/800x600-normal-0-false-false-false-en_5548.html,diakses
15 Mei 2015