IconIconIconIcon


Minggu, 03 April 2016

ATURAN YANG BERSIFAT KHUSUS MENGESAMPINGKAN ATURAN YANG BERSIFAT UMUM.

Secara umum Hukum Pajak dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni Hukum Pajak material dan Hukum Pajak formal.

Pertama, Hukum Pajak material. Hukum Pajak material memuat norma-norma yang menerangkan: 
-keadaan, perbuatan-perbuatan dan peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenai pajak (obyek pajak)
-Siapa-siapa yang harus dikenai pajak (subyek pajak/wajib pajak)
-Berapa besarnya pajak
-Peraturan-peraturan yang memuat kenaikan-kenaikan, denda-denda
-Peraturan-peraturan yang memuat hukuman-hukuman terhadap ketentuan perpajakan
-Perturan-peraturan tentang tata cara pembebasan dan pengembalian pajak
-Peraturan-peraturan tentang hak mendahului dari fiskus (kas negara)

Kedua, Hukum Pajak formal. Hukum Pajak formal adalah serangkaian norma yang mengatur cara menjelmakan Hukum Pajak material menjadi suatu kenyataan. Hukum Pajak formal ini bersifat mengabdi kepada Hukum Pajak material, artinya keberadaan Hukum Pajak formal disesuaikan dengan kebutuhan yang dikehendaki untuk berlakunya Hukum Pajak material.Agar Hukum Pajak material dapat berlaku efektif maka Hukum Pajak formal harus ada. Hukum Pajak formal antara lain mengatur: pendaftaran obyek pajak, pemungutan pajak, penyetoran pajak, pengajuan keberatan, permohonan banding, dan permohonan pengurangan dan penundaan pembayaran.
            Namun ada beberapa ahli hukum yang berpendapat bahwa, hukum di Indonesia merupakan warisan dari Pemerintah Hindia Belanda.Sesungguhnya hukum tersebut berasal dari sistem hukum Romawi, di mana sistem hukum itu menarik garis pemisah yang tegas antara hukum privat dengan hukum publik.Sistem ini sering disebut civil law sistem atau system Eropa Kontinental.Ada beberapa jenis hukum.
a.Hukum privat, hukum yang mengatur kepentingan dan hak-hak orang perorangan perdata maksudnya yaitu hubungan antar individu dengan individu lain yang sifatnya pribadi/ khusus.
Contoh: hukum perkawinan, hukum warisan, hukum perjanjian dan hukum dagang  
b.Hukum publik, hukum yang mengatur hubungan hukum antara Pemerintah dengan warganya.
Contoh: hukum pidana, hukum tata negara, hukum tata usaha negara, hukum Pajak, dan hukum lingkungan.
Hukum pajak pada umumnya dimaksudkan sebagai bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan rakyat.Hal tersebut dapat dimengerti karena di dalam hukum pajak diatur mengenai hubungan antara pemerintah (dalam fungsinya sebagai fiskus) dengan rakyat (dalam kapasitasnya sebagai subyek pajak).Secara umum, kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum administrasi negara. Prof. PJA Adriani menegaskan bahwa hukum pajak harus dipisahkan dan tidak menjadi bagian dari hukum administrasi, karena hukum pajak mempunyai fungsi ikut menentukan politik perekonomian suatu negara yang mana fungsi itu tidak dimiliki oleh hukum administrasi.Setelah mencermati uraian diatas, bagaimana hubungan Hukum Pajak dengan hukum yang lain?

II.Pembahasan
a. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata

Sebagaimana diketahui bahwa hukum perdata merupakan hubungan hukum yang terjadi antara sesama anggota masyarakat, sedangkan hukum pajak merupakan hukum publik (bagian dari hukum Administrasi Negara) yang mengatur hubungan hukum (khususnya masalah pungutan pajak) antara Pemerintyah cq. Direktorat Jenderal Pajak dengan masyarakat (disebut Wajib Pajak).Hubungan yang jelas tampak adalah bahwa dalam Hukum Pajak selalu mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata misalnya berupa perjanjian-perjanjian, hal pendapatan (penghasilan), kekayaan, warisan. Seseorang yang melakukan perjanjian jual beli suatu barang, merupakan dasar bagi Hukum Pajak untuk melakukan pemungutan pajak/pengenaan pajak, misalnya transaksi pengenaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai); transaksi penjualan tanah dan bangunan antara pihak penjual dan pihak pembeli, merupakan perbuatan hukum perdata. Perbuatan hukum ini merupakan sasaran atau obyek dikenakannya pemungutan pajak atas transaksi tersebut. Hubungan lain misalnya mengenai pengertian/terminology dalam hukum pajak yang banyak dipengaruhi oleh hukum perdata seperti pengertian Wajib Pajak yang dalam hukum perdata sering disebut subyek hukum walaupun pengertian subyek hukum sebenarnya lebih luas daripada pengertian Wajib Pajak. Pengertian Wajib Pajak dalam Hukum Pajak tentunya dipengaruhi oleh hukum perdata pada umumnya.
Menurut Prof.Mr.WF. Prins dalam bukunya Het Belasting van Indonesie, menyatakan bahwa ‘’hubungan erat ini sangat mungkin sekali timbul karena banyak dipergunakan istilah-istilah Hukum Perdata dalam Hukum Pajak walaupun sebagai prinsip harus dipegang teguh, bahwa pengertian-pengertian yang dianut oleh Hukum Perdata tidak selalu dianut dalam Hukum Pajak”. Misalnya istilah “tempat tinggal”atau domisili, diatur baik dalam Hukum Perdata maupun dalam Hukum Pajak. Di dalam Hukum Perdata domisili diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 25 BW, sedangkan dalam Hukum Pajak antara lain dalam Undang-Undang lama yaitu Pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPh 1932 jo pasal 1 ayat (2) Ordonansi PPd 1944 dan dalam Undang-Undang Pajak baru Pasal 2 ayat (5) dan ayat (6) UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.36 Tahun 2008. Untuk jelasnya bunyi pasal-pasal tersebut adalah :
  1. Pasal 17 B.W. : Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya. Dalam hal tak adanya tempat tinggal yang demikian, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal”.
  2. Pasal 2 ayat (6) UU Pajak Penghasilan : “Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan seseorang atau suatu badan berada,bertempat tinggal atau bertempat kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya”.
  3. Dengan adanya kedua ketentuan tersebut maka ketentuan yang ada dalam Hukum Pajak yang dianut oleh Fiskus, karena merupakan ketentuan yang khusus (lex spesialis derogat lex generalis)
b. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana
Ketentuan pidana tidak hanya ada di dalam KUHP, melainkan juga di luar KUHP.Hal-hal yang diatur di dalam KUHP berbeda dengan hal-hal yang berlaku di dalam pajak.Contoh, di dalam KUHP dianut prinsip bahwa yang dipidana itu hanya orang (meskpun dalam perkembangannya tidak terbatas pada orang saja karena dikenal juga adanya tindak pidana korupsi). Sedangkan di dalam pajak yang dapat dijatuhi sanksi pidana, bisa ”orang”  dan bisa juga ”badan”. Di dalam pidana dianut prinsip bahwa proses penyidikan sampai pada penuntutan akan dihentikan apabila tersangka (pelaku tindak pidana) meninggal dunia, sementara di dalam hukum pajak hal seperti ini tidak berlaku, karena apabila itu terjadi maka sesuai hukum pajak, akan diteruskan kepada ahli waris (tersangka).
Sanksi Pidana terhadap pelanggaran atau kejahatan di bidang perpajakan yang diancam baik dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang Pajak.
-Membuka rahasia / rahasia jabatan, pasal 322 KUHP :
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, sekarang maupun dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap orang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang lain.
Pasal 41 Undang-Undang KUP :
  1.  
    1. Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
    2. Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
    3. Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) nya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
-Pemalsuan Surat
Pasal 263 KUHP.
  1.  
    1. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar atau tidak dipalsukan, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
    2. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 39 ayat (1) huruf f Undang-Undang KUP
Setiap orang yang dengan sengaja :
a,b,c, dan seterusnya.
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. dan seterusnya.
Sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Dengan adanya dua ketentuan tersebut maka ketentuan yang ada dalam Hukum Pajak yang dianut oleh Fiskus, karena merupakan ketentuan yang khusus (lex spesialis derogat lex generalis)  
c. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Administrasi
Hukum administrasi adalah hukum yang mengatur fungsi pemerintahan.Selain mengatur tugas pemerintah, hukum administrasi juga mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyat.Dalam konteks ini, hukum pajak juga ada karena pajak merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh rakyat kepada negara (pemerintah).
III.Simpulan
Berdasarkan sistematika dasar tata hukum nasional dan banyak literaturmenggolongkan Hukum Pajak menjadi bagian dari Hukum Administrasi Negara, meskipun ada pendapat ahli yang berpendapat bahwa Hukum Pajak harus dipisahkan dan tidak menjadi bagian dari hukum administrasi (Prof.PJA Adriani), karena Hukum Pajak mempunyai fungsi ikut menentukan politik perekonomian suatu negara yang mana fungsi itu tidak dimiliki oleh hukum administrasi.
Salah satu asas dalam peraturan perundang-undangan adalah asas “lex spesialis derogat lex generalis, artinya Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum (ketentuan dalam hukum pajak mengensampingkan ketentuan dalam hukum yang lain apabila mengatur hal yang sama).Menurut teori sistem hukum dari Hart, asas “lex specialis derogate legi generali' termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku.
Daftar Pustaka
1. Agus Satrija Utara,(2011), Pengantar Hukum Pajak, Pusdiklat Pajak,Jakarta
2.Wirawan B. Ilyas, Richard Burton,(2007), Hukum Pajak,Salemba Empat,Jakarta
3.__________,Tanpa Tahun,Hukum Pajak, dalam http://www.fiskal.co.id/berita/fiskal-1/180/hukum-pajak, diakses15 Mei 2015
4.__________, Tanpa Tahun,Eksistensi Asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis Dalam Tindak Pidana Perpajakan, dalam http://taxandcorruption.blogspot.com/2008/12/eksistensi-asas-lex-spesialis-derogat.html, diakses 15 Mei 2015
5.__________, Tanpa Tahun, Asas-asas, dalam http://fans1903.blogspot.com/2012/09/asas-asas-hukum_1120.html , diakses 15 Mei 2015
6._______________, Tanpa Tahun, Asas Perundang-Undangan Dan Contohnya, dalamhttp://campusassignment.blogspot.com/2012/04/800x600-normal-0-false-false-false-en_5548.html,diakses 15 Mei 2015




Postingan Populer