Siapakah
Pemotong/Pemungut Pajak Penghasilan?
> Pajak
Penghasilan pasal 21/pasal 26
Pemotong
PPh
pasal 21/pasal 26 sesuai Pasal 21 Undang-Undang PPh dan Peraturan Dirjen Pajak
No.31/PJ/2012 adalah:
a.
pemberi kerja yang terdiri
dari:bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang
kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah,
instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan
Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
b.
bendahara atau pemegang kas
pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk
institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah,
lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar
negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan;
c.
dana pensiun, badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun
secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d.
orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
- honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
- honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;
- honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan pelatihan, serta pegawai magang;
e.
penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan
dengan suatu kegiatan.
Pihak
yang dipotong PPh pasal 21, PPh pasal 26, PPh pasal 4 ayat 2:
Penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang
pribadi yang merupakan:
a.
pegawai;
b.
penerima uang pesangon, pensiun atau
uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli
warisnya;
c.
Bukan Pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:anggota dewan
komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada
perusahaan yang sama;
- tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
- pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
- penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
- pengarang, peneliti, dan penerjemah;
- pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
- agen iklan;
- pengawas atau pengelola proyek;
- pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
- petugas penjaja barang dagangan;
- petugas dinas luar asuransi;
- distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
d.
mantan pegawai;
e.
peserta kegiatan yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan,
antara lain:
- peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
- peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
- peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
- peserta pendidikan dan pelatihan;
- peserta kegiatan lainnya.
v
Pajak Penghasilan Pasal 22
Pemungut
PPh
Pasal 22 sesuai PMK No.154/PMK.03/2010 stdt175/PMK.011/2013 dan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 06/PJ/2013 adalah:
a.
Bank Devisa dan Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai, atas impor barang;
b.
bendahara pemerintah dan Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara
lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
c.
bendahara pengeluaran berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang
persediaan (UP);
d.
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau
pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran Langsung (LS);
e.
Badan Usaha Milik Negara yaitu badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan,
yang meliputi:
- PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero); dan
- Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya;
f.
Badan usaha yang bergerak dalam bidang
usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan
industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam
negeri. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja adalah
industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang
terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
g.
Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM),
Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan
kendaraan bermotor di dalam negeri;
h.
Produsen atau importir bahan bakar
minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan
bakar gas, dan pelumas;
ix.
Industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas
pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau
ekspornya.Pedagang pengumpul adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan
usahanya:
a.
mengumpulkan hasil kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan; dan
b.
menjual hasil tersebut kepada badan
usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan.
Pihak
yang dipungut pajaknya adalah pihak yang mengimpor,
menjual, membeli barang.
>
Pajak Penghasilan Pasal 23/pasal 4 ayat 2/pasal 17 ayat 2c/pasal 26
Pemotong
PPh adalah:
Atas
penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya
oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib
Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang
wajib membayarkan:
- Objek PPh Pasal 4 ayat 2 (dapat dikenai pajak bersifat final)
a.
penghasilan berupa bunga deposito dan
tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b.
penghasilan berupa hadiah undian;
c.
penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan
transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d.
penghasilan dari transaksi pengalihan
harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate,
dan persewaan tanah dan bangunan; dan
e.
penghasilan tertentu lainnya;
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
- Objek PPh Psl 17 ayat 2c
a.
dividen yang dibagikan kepada Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai pajak bersifat final.
- Objek PPh pasal 23
a.
dividen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf g;
b.
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) huruf f;
c.
royalti; dan
d.
hadiah, penghargaan, bonus, dan
sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
e.
sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2); dan
f.
imbalan sehubungan dengan jasa teknik,
jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
- Objek PPh Pasal 26 (subjek Pajak Luar Negeri)
a.
dividen;
b.
bunga, termasuk premium, diskonto, dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c.
royalti, sewa, dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta;
d.
imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan, dan kegiatan;
e.
hadiah dan penghargaan;
f.
pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g.
premi swap dan transaksi lindung nilai
lainnya; dan/atau
h.
keuntungan karena pembebasan utang.
Pihak
yang dipotong Pajak Penghasilan
Pihak
yang menerima pembayaran (sebagai penghasilan).
Kewajiban
bagi pemotong/pemungut PPh dalam Undang-Undang KUP
Kewajiban
bagi pemotong/pemungut Pajak Penghasilan yang diatur dalam Undang-Undang
adalah:
- Menghitung pajak yang akan dipotong/dipungut.
- Melakukan pemotongan/pemungutan pajak dan menyetorkannya ke kas negara (Undang-Undang KUP pasal 10).
- Mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa ke kantor Direktorat Jenderal Pajak (Undang-Undang KUP pasal 3 ayat 1 beserta penjelasannya).
Sedangkan
khusus pada pemotongan PPh Pasal 21, kewajiban pemotongan ini secara khusus
diatur pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor 31/PJ/2012 pasal 23 yaitu:
- Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
- Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja.
- Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas pemotongan PPh Pasal 21 selain Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta bukti pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 26.
- Dalam hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) bulan kalender.
Sanksi
bagi Pemotong/Pemungut Pajak yang tidak
melakukan Kewajibannya.
Undang-Undang
KUP memberikan sanksi kepada pemotong/pemungut yang tidak melaksanakan
kewajibannya sebagai pemotong/pemungut pajak.
1.
Sanksi administrasi sehubungan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Penghasilan (pasal 3 ayat 3, pasal 7 ayat 1
Undang-Undang KUP):
v
Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang KUP (berisi kewajiban menyampaikan
Surat Pemberitahuan).
Batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a.
a.untuk Surat Pemberitahuan Masa,
paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak.
v
Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang KUP (berkaitan dengan tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan).
Apabila
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar:
a.
....................,
b.
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah)
untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya;
Maksud
pengenaan sanksi administrasi berupa denda adalah untuk kepentingan tertib
administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.
2.
Sanksi administrasi sehubungan tidak menyetorkan uang pajak
yang dipotong/dipungut ke kas negara.
v
Pasal 9 ayat 1 dan ayat 2a Undang-Undang KUP.
Pembayaran
atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada pasal 9 ayat (1), yang
dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang
dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
v
Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang KUP.
Dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya
Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut
a.
apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b.
apabila Surat Pemberitahuan tidak
disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan
setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran
c.
apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih
lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
d.
apabila kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat
diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e.
.............
v
Pasal 13 Ayat 2 Undang-Undang KUP.
Jumlah
kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
v
Pasal 13 Ayat 3 Undang-Undang KUP.
Jumlah
pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, dan huruf d, ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar:
a.
.............;
b.
100% (seratus persen) dari Pajak
Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut,
tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau
kurang disetor;
c.
Sanksi pidana
pasal 39 ayat 1 Undang-Undang KUP:Lupa memberikan bukti potong/pungut.
a.tidak
mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak;
c.tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d.menyampaikan
Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap;
e.menolak
untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f.memperlihatkan
pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah
benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g.tidak
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan
atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h.tidak
menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line
di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
i.tidak
menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut
sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
Ternyata
jika dilihat sanksi yang dikenakan oleh Undang-Undang KUP kepada Wajib Pajak
pemotong/pemungut, Undang-Undang KUP tidak memberikan sanksi
kepada Wajib Pajak pemotong/pemungut yang tidak memberikan bukti
pemotongan/pemungutan kepada Wajib Pajak yang dipotong/dipungut.
Sehubungan
dengan pemotongan/pemungutan ini, maka pihak pemotong/pemungut dan pihak yang
dipotong/dipungut harus menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) baik SPT Tahunan
ataupun SPT Masa ke Direktorat Jenderal Pajak (melalui Kantor Pelayanan Pajak).
Undang-Undang KUP pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwaSPT yang disampaikan haruslah benar,
lengkap, dan jelas.Salah satu bukti kebenaran SPT adalah dilengkapi dengan
bukti-bukti yang diperlukan. Bagi Wajib Pajak pemotong/pemungut, salah satu
bukti yang dilaporkannya pada SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2, pasal
21, pasal 22, pasal 23, pasal 26 adalah bukti pemotongan/pemungutan. Sedangkan
bagi Wajib Pajak yang dipotong/dipungut salah satu bukti yang dilaporkan dalam
SPT Tahunannya adalah bahwa bukti pemotongan/pemungutan yang diterima dari
Wajib Pajak pemotong/pemungut. Jika bukti potong/pungut tersebut belum/tidak
diterima dari pemotong/pemungut, maka umumnya Wajib Pajak yang
dipotong/dipungut pajaknya tidak akan melaporkan penghasilan yang
dipotong atau pembelian yang dipungut pajaknya dalam SPT Tahunan. Hal ini
berarti bahwa jumlah penghasilan ataupun pembelian dalam SPT menjadi tidak
benar. Sedangkan SPT tersebut harus benar, lengkap dan jelas. Maka karena
ketidakbenaran pengisian SPT Tahunan tersebut, Wajib Pajak yang
dipotong/dipungut tersebut dapat juga diberikan sanksi administrasi dan/ataupun
pidana sesuai yang dinyatakan dalam Undang-Undang KUP di atas. Wajib Pajak
Pemotong/Pemungut umumnya patuh dalam melaporkan pajak yang
dipotong/dipungutnya dalam SPT, karena Undang-Undang KUP memberikan sanksi jika
Wajib Pajak Pemotong/Pemungut tidak mematuhinya.
Terhadap
penghasilan/pembelian yang telah dipotong/dipungut pajak penghasilannya oleh
Wajib Pajak pemotong/pemungut dapat dilakukan pengawasan melalui cek
silang (cross check) antara SPT Wajib Pajak pemotong/pemungut dengan
SPT Wajib Pajak yang telah dipotong/dipungut. Pengawasan cek silang ini tidak
dapat dilakukan jika Wajib Pajak pemotong/pemungut tidak memberikan bukti
pemotongan/pemungutan kepada Wajib Pajak yang dipotong/dipungut.
Ada
banyak alasan mengapa Wajib Pajak pemotong/pemungut tidak/ belum memberikan
bukti potong/pungut ke Wajib Pajak yang dipotong/dipungut.
Dilihat
dari sisi Wajib Pajak pemotong/pemungut:
a.
Lupa memberikan bukti potong/pungut.
b.
Adanya arogansi, karena merasa
pembayar atas biaya-biaya yang pajaknya dipotong ataupun pembayar atas
barang-barang yang dibeli. Menganggap “user”/ pembeli adalah raja sehingga
lebih dominan. Apalagi jika perusahaan Wajib Pajak pemotong/pemungut lebih
besar dari Wajib Pajak yang dipotong/dipungut.
c.
Adanya keinginan jahat untuk mengambil
uang yang telah dipotong/dipungut.
d.
Tidak adanya sanksi perpajakan jika
Wajib Pajak pemotong/pemungut tidak memberikan bukti potong/pungut.
Dilihat
dari sisi Wajib Pajak yang dipotong/dipungut:
a.
Lupa meminta bukti potong/pungut atau
tidak peduli akan bukti tersebut.
b.
Merasa lebih kecil dibanding Wajib
Pajak pemotong/pemungut, sehingga tidak ingin merepotkan untuk terus meminta
bukti potong/pungut. Adanya kekhawatiran tidak mendapat proyek untuk masa
berikutnya.
c.
Adanya keinginan jahat untuk tidak
melaporkan penghasilan/pembelian dalam SPT agar pajak terhutang SPT Tahunan
Wajib Pajak yang dipotong/dipungut menjadi lebih
Sudah
seharusnya Undang-Undang KUP memberikan sanksi yang tegas kepada Wajib Pajak
pemotong/pemungut yang tidak memberikan bukti potong/pungut kepada Wajib Pajak
yang dipotong/dipungut. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi administrasi dan/
atau pidana.
Misalnya.
- Sanksi sebesar Rp100.000,00 tiap bukti potong yang terlambat/tidak disampaikan sebelum dilakukan pemeriksaan.
- Tambahan sanksi jika diketahuinya saat dilakukan pemeriksaan, misalnya: diberi sanksi sebesar 2% dari jumlah Dasar Pengenaan Pajak yang dipotong/dipungut.
- Sanksi pidana jika Wajib Pajak pemotong/pemungut tidak melaporkan pajak-pajak yang dipotong/dipungut dalam SPT nya dan juga tidak memberikan bukti potong/pungut kepada Wajib Pajak yang dipotong/dipungut.
Dengan
pemberian sanksi yang tegas ini maka seharusnya kepatuhan Wajib Pajak semakin
meningkat dalam mengisi SPT dalam artian SPT yang benar, jelas dan lengkap.
Wajib Pajak itu meliputi Wajib Pajak pemotong/pemungut ataupun Wajib Pajak yang
dipotong/dipungut.
Agar
memudahkan pengawasan, pada SPT Tahunan Wajib Pajak yang dipotong/dipungut
tersebut diberikan kolom untuk memasukkan penghasilan/pembelian yang
dipotong/dipungut pajaknya oleh pihak ketiga. Kolom tersebut terdiri dari kolom
“ bukti sudah diterima” atau kolom “bukti belum diterima”. Sehingga Account
Representative ataupun Pemeriksa Pajak dapat melakukan pengecekan SPT serta
memberikan sanksi kepada pihak ketiga (Wajib Pajak Pemotong/Pemungut).
Kesimpulan
Jika
dilihat dari banyaknya objek pajak penghasilan yang dapat dilakukan
pemotongan/pemungutan pajak penghasilan serta banyaknya Wajib Pajak yang
menjadi pemotong/pemungut pajak penghasilan, perlu dibuat aturan yang tegas
dalam pelaksanaan sistem Witholding Tax di Indonesia. Untuk meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak dalam pengisian SPT (sesuai Undang-undang KUP, SPT
tersebut harus benar, jelas, dan lengkap) maka Wajib Pajak harus dimudahkan
untuk memperoleh bukti-bukti pendukung SPTnya. Khususnya bagi Wajib Pajak yang
dipotong/dipungut pajaknya harus diberikan kemudahan dalam memperoleh bukti
potong/pungut pajaknya. Caranya adalah dengan memberikan sanksi tegas kepada
Wajib Pajak pemotong/pemungut, dapat berupa sanksi administrasi dan/atau pidana
kepada Wajib Pajak pemotong/pemungut yang tidak menyerahkan bukti
potong/pungutnya kepada Wajib Pajak yang dipotong/dipungut. Sanksi ini belum
terdapat dalam Undang-Undang KUP sejak pertama kali undang-undang ini
diberlakukan (Undang-Undang No.6 tahun 1983 sampai dengan perubahan terakhir
Undang-pUndang No.16 tahun 2009). Sehingga sanksi ini dapat diusulkan dalam
Rancangan perubahan Undang-Undang KUP yang saat ini sedang digodok.
Daftar
Pustaka
Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
tahun 2009
Republik
Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008
Republik
Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 31/PJ/2012 tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal
21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan
Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
Mulyono,
Djoko. 2010. Panduan Brevet Pajak: Pajak Penghasilan, Yogyakarta: CV
ANDI OFFSET
Waluyo,Didik
Budi,2011. Seri Informasi Hak dan Kewajiban Perpajakan Buku 8: Pajak
Penghasilan, DBW Tax Center/PT Warta Mitra Mandiri