IconIconIconIcon


Minggu, 03 April 2016

SANKSI BAGI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN YANG TIDAK MENYERAHKAN BUKTI PEMOTONGAN

Siapakah Pemotong/Pemungut Pajak Penghasilan?
> Pajak Penghasilan pasal 21/pasal 26
Pemotong PPh pasal 21/pasal 26 sesuai Pasal 21 Undang-Undang PPh dan Peraturan Dirjen Pajak No.31/PJ/2012 adalah:
a.                   pemberi kerja yang terdiri dari:bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
    1. orang pribadi dan badan;
    2. cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut.
b.                   bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
c.                   dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
d.                   orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
  1.  
    1. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
    2. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri;
    3. honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan pelatihan, serta pegawai magang;
e. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
Pihak yang dipotong PPh pasal 21, PPh pasal 26, PPh pasal 4 ayat 2:
Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan:
a.                   pegawai;
b.                   penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
c.                   Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
    1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
    2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
    3. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
    4. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
    5. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
    6. agen iklan;
    7. pengawas atau pengelola proyek;
    8. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;
    9. petugas penjaja barang dagangan;
    10. petugas dinas luar asuransi;
    11. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya;
d.                   mantan pegawai;
e.                   peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:
    1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
    2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
    3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;
    4. peserta pendidikan dan pelatihan;
    5. peserta kegiatan lainnya.
Pajak Penghasilan Pasal 22
Pemungut PPh Pasal 22 sesuai PMK No.154/PMK.03/2010 stdt175/PMK.011/2013 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 06/PJ/2013 adalah:
a.                   Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
b.                   bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
c.                   bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d.                   Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran Langsung (LS);
e.                   Badan Usaha Milik Negara yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
    1. PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero); dan
    2. Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya;
f.                    Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja adalah industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
g.                   Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
h.                   Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
ix.                        Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.Pedagang pengumpul adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
a.                   mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan; dan
b.                   menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
Pihak yang dipungut pajaknya adalah pihak yang mengimpor, menjual, membeli barang.

> Pajak Penghasilan Pasal 23/pasal 4 ayat 2/pasal 17 ayat 2c/pasal 26
Pemotong PPh adalah:
Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
  • Objek PPh Pasal 4 ayat 2 (dapat dikenai pajak bersifat final)
a.                   penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b.                   penghasilan berupa hadiah undian;
c.                   penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d.                   penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan
e.                   penghasilan tertentu lainnya;
        yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
  • Objek PPh Psl 17 ayat 2c
a.                   dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai pajak bersifat final.
  • Objek PPh pasal 23
a.                   dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
b.                   bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
c.                   royalti; dan
d.                   hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
e.                   sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
f.                    imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
  • Objek PPh Pasal 26 (subjek Pajak Luar Negeri)
a.                   dividen;
b.                   bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c.                   royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d.                   imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e.                   hadiah dan penghargaan;
f.                    pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g.                   premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
h.                   keuntungan karena pembebasan utang.
Pihak yang dipotong Pajak Penghasilan
Pihak yang menerima pembayaran (sebagai penghasilan).
Kewajiban bagi pemotong/pemungut PPh dalam Undang-Undang KUP
Kewajiban bagi pemotong/pemungut Pajak Penghasilan yang diatur dalam Undang-Undang adalah:
  1. Menghitung pajak yang akan dipotong/dipungut.
  2. Melakukan pemotongan/pemungutan pajak dan menyetorkannya ke kas negara (Undang-Undang KUP pasal 10).
  3. Mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa ke kantor Direktorat Jenderal Pajak (Undang-Undang KUP pasal 3 ayat 1 beserta penjelasannya).
Sedangkan khusus pada pemotongan PPh Pasal 21, kewajiban pemotongan ini secara khusus diatur pada Peraturan Dirjen Pajak Nomor 31/PJ/2012 pasal 23 yaitu:
  1. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai Tetap atau penerima pensiun berkala paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
  2. Dalam hal Pegawai Tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember, bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja.
  3. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 atas pemotongan PPh Pasal 21 selain Pegawai Tetap dan penerima pensiun berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta bukti pemotongan PPh Pasal 26 setiap kali melakukan pemotongan PPh Pasal 26.
  4. Dalam hal dalam 1 (satu) bulan kalender, kepada satu penerima penghasilan dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) bulan kalender.
Sanksi bagi Pemotong/Pemungut Pajak yang tidak melakukan Kewajibannya.
Undang-Undang KUP memberikan sanksi kepada pemotong/pemungut yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagai pemotong/pemungut pajak.
1. Sanksi administrasi sehubungan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan (pasal 3 ayat 3, pasal 7 ayat 1 Undang-Undang KUP):
v  Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang KUP (berisi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan).
Batas  waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a.                   a.untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak.
v  Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang KUP (berkaitan dengan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan).
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar:
a.                   ....................,
b.                   Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya;
Maksud pengenaan sanksi administrasi berupa denda adalah untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.
2. Sanksi administrasi sehubungan tidak menyetorkan uang pajak yang dipotong/dipungut ke kas negara.
v  Pasal 9 ayat 1 dan ayat 2a Undang-Undang KUP.
Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada pasal 9 ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
v  Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang KUP.
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut
a.                   apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b.                   apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran
c.                   apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
d.                   apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e.                   .............
v  Pasal 13 Ayat 2 Undang-Undang KUP.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
v  Pasal 13 Ayat 3 Undang-Undang KUP.
Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
a.                   .............;
b.                   100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor;
c.                   Sanksi pidana pasal 39 ayat 1 Undang-Undang KUP:Lupa memberikan bukti potong/pungut.
a.tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c.tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d.menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e.menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
f.memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g.tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h.tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
i.tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Ternyata jika dilihat sanksi yang dikenakan oleh Undang-Undang KUP kepada Wajib Pajak pemotong/pemungut, Undang-Undang KUP tidak memberikan sanksi kepada Wajib Pajak pemotong/pemungut yang tidak memberikan bukti pemotongan/pemungutan kepada Wajib Pajak yang dipotong/dipungut.
Sehubungan dengan pemotongan/pemungutan ini, maka pihak pemotong/pemungut dan pihak yang dipotong/dipungut harus menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) baik SPT Tahunan ataupun SPT Masa ke Direktorat Jenderal Pajak (melalui Kantor Pelayanan Pajak). Undang-Undang KUP pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwaSPT yang disampaikan haruslah benar, lengkap, dan jelas.Salah satu bukti kebenaran SPT adalah dilengkapi dengan bukti-bukti yang diperlukan. Bagi Wajib Pajak pemotong/pemungut, salah satu bukti yang dilaporkannya pada SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2, pasal 21, pasal 22, pasal 23, pasal 26 adalah bukti pemotongan/pemungutan. Sedangkan bagi Wajib Pajak yang dipotong/dipungut salah satu bukti yang dilaporkan dalam SPT Tahunannya adalah bahwa bukti pemotongan/pemungutan yang diterima dari Wajib Pajak pemotong/pemungut. Jika bukti potong/pungut tersebut belum/tidak diterima dari pemotong/pemungut, maka umumnya Wajib Pajak yang dipotong/dipungut pajaknya tidak akan melaporkan penghasilan yang dipotong atau pembelian yang dipungut pajaknya dalam SPT Tahunan. Hal ini berarti bahwa jumlah penghasilan ataupun pembelian dalam SPT menjadi tidak benar. Sedangkan SPT tersebut harus benar, lengkap dan jelas. Maka karena ketidakbenaran pengisian SPT Tahunan tersebut, Wajib Pajak yang dipotong/dipungut tersebut dapat juga diberikan sanksi administrasi dan/ataupun pidana sesuai yang dinyatakan dalam Undang-Undang KUP di atas. Wajib Pajak Pemotong/Pemungut umumnya patuh dalam melaporkan pajak yang dipotong/dipungutnya dalam SPT, karena Undang-Undang KUP memberikan sanksi jika Wajib Pajak Pemotong/Pemungut tidak mematuhinya.  
Terhadap penghasilan/pembelian yang telah dipotong/dipungut pajak penghasilannya oleh Wajib Pajak pemotong/pemungut dapat dilakukan pengawasan melalui cek silang (cross check) antara SPT Wajib Pajak pemotong/pemungut dengan SPT Wajib Pajak yang telah dipotong/dipungut. Pengawasan cek silang ini tidak dapat dilakukan jika Wajib Pajak pemotong/pemungut tidak memberikan bukti pemotongan/pemungutan kepada Wajib Pajak yang dipotong/dipungut.
Ada banyak alasan mengapa Wajib Pajak pemotong/pemungut tidak/ belum memberikan bukti potong/pungut ke Wajib Pajak yang dipotong/dipungut.
Dilihat dari sisi Wajib Pajak pemotong/pemungut:
a.                   Lupa memberikan bukti potong/pungut.
b.                   Adanya arogansi, karena merasa pembayar atas biaya-biaya yang pajaknya dipotong ataupun pembayar atas barang-barang yang dibeli. Menganggap “user”/ pembeli adalah raja sehingga lebih dominan. Apalagi jika perusahaan Wajib Pajak pemotong/pemungut lebih besar dari Wajib Pajak yang dipotong/dipungut.  
c.                   Adanya keinginan jahat untuk mengambil uang yang telah dipotong/dipungut.
d.                   Tidak adanya sanksi perpajakan jika Wajib Pajak pemotong/pemungut tidak memberikan bukti potong/pungut.
Dilihat dari sisi Wajib Pajak yang dipotong/dipungut:
a.                   Lupa meminta bukti potong/pungut atau tidak peduli akan bukti tersebut.
b.                   Merasa lebih kecil dibanding Wajib Pajak pemotong/pemungut, sehingga tidak ingin merepotkan untuk terus meminta bukti potong/pungut. Adanya kekhawatiran tidak mendapat proyek untuk masa berikutnya.
c.                   Adanya keinginan jahat untuk tidak melaporkan penghasilan/pembelian dalam SPT agar pajak terhutang SPT Tahunan Wajib Pajak yang dipotong/dipungut menjadi lebih
Sudah seharusnya Undang-Undang KUP memberikan sanksi yang tegas kepada Wajib Pajak pemotong/pemungut yang tidak memberikan bukti potong/pungut kepada Wajib Pajak yang dipotong/dipungut. Sanksi tersebut dapat berupa sanksi administrasi dan/ atau pidana.
Misalnya.
  1. Sanksi sebesar Rp100.000,00 tiap bukti potong yang terlambat/tidak disampaikan sebelum dilakukan pemeriksaan.
  2. Tambahan sanksi jika diketahuinya saat dilakukan pemeriksaan, misalnya: diberi sanksi sebesar 2% dari jumlah Dasar Pengenaan Pajak yang dipotong/dipungut.
  3. Sanksi pidana jika Wajib Pajak pemotong/pemungut tidak melaporkan pajak-pajak yang dipotong/dipungut dalam SPT nya dan juga tidak memberikan bukti potong/pungut kepada Wajib Pajak yang dipotong/dipungut.
Dengan pemberian sanksi yang tegas ini maka seharusnya kepatuhan Wajib Pajak semakin meningkat dalam mengisi SPT dalam artian SPT yang benar, jelas dan lengkap. Wajib Pajak itu meliputi Wajib Pajak pemotong/pemungut ataupun Wajib Pajak yang dipotong/dipungut.
Agar memudahkan pengawasan, pada SPT Tahunan Wajib Pajak yang dipotong/dipungut tersebut diberikan kolom untuk memasukkan penghasilan/pembelian yang dipotong/dipungut pajaknya oleh pihak ketiga. Kolom tersebut terdiri dari kolom “ bukti sudah diterima” atau kolom “bukti belum diterima”. Sehingga Account Representative ataupun Pemeriksa Pajak dapat melakukan pengecekan SPT serta memberikan sanksi kepada pihak ketiga (Wajib Pajak Pemotong/Pemungut).
Kesimpulan
Jika dilihat dari banyaknya objek pajak penghasilan yang dapat dilakukan pemotongan/pemungutan pajak penghasilan serta banyaknya Wajib Pajak yang menjadi pemotong/pemungut pajak penghasilan, perlu dibuat aturan yang tegas dalam pelaksanaan sistem Witholding Tax di Indonesia. Untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam pengisian SPT (sesuai Undang-undang KUP, SPT tersebut harus benar, jelas, dan lengkap) maka Wajib Pajak harus dimudahkan untuk memperoleh bukti-bukti pendukung SPTnya. Khususnya bagi Wajib Pajak yang dipotong/dipungut pajaknya harus diberikan kemudahan dalam memperoleh bukti potong/pungut pajaknya. Caranya adalah dengan memberikan sanksi tegas kepada Wajib Pajak pemotong/pemungut, dapat berupa sanksi administrasi dan/atau pidana kepada Wajib Pajak pemotong/pemungut yang tidak menyerahkan bukti potong/pungutnya kepada Wajib Pajak yang dipotong/dipungut. Sanksi ini belum terdapat dalam Undang-Undang KUP sejak pertama kali undang-undang ini diberlakukan (Undang-Undang No.6 tahun 1983 sampai dengan perubahan terakhir Undang-pUndang No.16 tahun 2009). Sehingga sanksi ini dapat diusulkan dalam Rancangan perubahan Undang-Undang KUP yang saat ini sedang digodok.
Daftar Pustaka
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun  2009
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008
Republik Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21    Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
Mulyono, Djoko. 2010. Panduan Brevet Pajak: Pajak Penghasilan, Yogyakarta: CV ANDI OFFSET
Waluyo,Didik Budi,2011. Seri Informasi Hak dan Kewajiban Perpajakan Buku 8: Pajak Penghasilan, DBW Tax Center/PT Warta Mitra Mandiri



Postingan Populer