Bukti audit mempunyai peranan penting bagi pemeriksa (auditor) dalam mengambil kesimpulan atas audit yang sedang dilakukannya.
1.Pengertian Bukti
Arens, Elder, dan Beasley (2012: 24) memberikan pengertian bukti (evidence) sebagai berikut: “Evidence
is any information used by auditor to determine whether the information
being audited is stated in accordance with the established criteria.”
Definisi
tersebut menyatakan bahwa bukti adalah segala informasi yang digunakan
oleh auditor untuk menentukan apakah informasi yang sedang diaudit
dinyatakan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Dalam konteks
pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum (pemberian opini)
tentunya kriteria yang telah ditetapkan adalah Standar Akuntasi
Keuangan. Sedangkan dalam konteks pemeriksaan pajak, kriteria yang
ditetapkan adalah Undang-undang Perpajakan beserta peraturan
pelaksanaannya.
2.Bukti Audit Dalam Pemeriksaan Pajak
Berdasarkan
Pasal 1 angka 25 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diudah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-undang KUP)
disebutkan bahwa pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan
mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara
objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan
lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Selanjutnya,
Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/KMK.03/2013
menyebutkan bahwa pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan harus dilaksanakan sesuai dengan Standar
Pemeriksaan. Dalam Pasal 6 ayat (3) PMK tersebut disebutkan bahwa
Standar Pemeriksaan meliputi Standar Umum Pemeriksaan, Standar
Pelaksanaan Pemeriksaan, dan Standar Pelaporan Hasil Pemeriksaan.
Standar
Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 huruf c PMK Nomor
17/KMK.03/2013 menyebutkan bahwa “temuan hasil Pemeriksaan harus
didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.” Selanjutnya, bukti kompeten
yang cukup diatur dalam Pasal 4 huruf c Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-23/PJ/2013. Berikut ini adalah uraian bukti kompeten
yang cukup berdasarkan Pasal 4 huruf c Peraturan Dirjen Pajak tersebut.
2.1.Bukti Kompeten
Yang
dimaksud bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan dengan
tetap mempertimbangkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas
transaksi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa.
a.Validitas Bukti
Bukti
yang valid berarti bukti tersebut dapat diandalkan untuk menyimpulkan
suatu fakta. Tingkat validitas bukti dipengaruhi oleh tiga hal sebagai
berikut:
i) Independensi dan Kualifikasi Sumber Diperolehnya Bukti
Bukti
yang diperoleh dari pihak yang independen tingkat validitasnya lebih
tinggi dibandingkan bukti yang diperoleh dari pihak yang tidak
independen. Selain independensi, perlu juga memperhatikan hubungan pihak
yang memberikan bukti dengan bukti yang diberikan.
ii) Kondisi Bukti Diperoleh
Tingkat
kesulitan mendapatkan bukti yang dipengaruhi situasi dan/atau kondisi
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan tingkat validitas
bukti.
iii) Cara Bukti Diperoleh
Bukti
yang diperoleh secara langsung oleh Pemeriksa Pajak (misalnya
observasi) tingkat validitasnya lebih tinggi dibandingkan bukti yang
diperoleh secara tidak langsung (misalnya bukti yang disediakan oleh
Wajib Pajak). Cara memperoleh bukti juga harus memperhatikan legalitas
cara perolehan bukti.
b. Relevansi Bukti
Bukti
yang relevan berarti bahwa bukti tersebut harus berkaitan dengan
pos-pos yang akan diperiksa sebagaimana tercantum dalam program
pemeriksaan.
2.2. Kecukupaan Bukti
Bukti
yang cukup adalah bukti yang memadai untuk mendukung temuan hasil
pemeriksaan. Kecukupan terkait dengan pertimbangan profesional (professional judgement) Pemeriksa Pajak.
3.Bukti Audit Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan
Terkait dengan bukti audit untuk pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum, berikut ini diuraikan persuasivitas bukti audit (bukti audit yang meyakinkan) dan tipe/jenis bukti audit.
3.1.Persuasivitas Bukti Audit
Tidak
mungkin bagi auditor memeriksa seluruh bukti transaksi klien. Oleh
karena itu, auditor harus mengumpulkan bukti yang tepat dan mencukupi
untuk mendukung pendapat yang diberikan. Auditor harus yakin bahwa
pendapatnya benar dengan tingkat kepastian yang tinggi. Dengan
menggabungkan seluruh bukti audit yang diperolehnya, auditor dapat
meyakinkan dirinya untuk mengambil kesimpulan atas audit yang
dilakukannya dalam rangka menerbitkan Audit Report.
Arens,
Elder, dan Beasley (2012: 196-198) menyebutkan bahwa terdapat dua
penentu untuk persuasivitas bukti, yaitu ketepatan bukti dan kecukupan
bukti.
a.Ketepatan Bukti (Appropriateness of Evidence)
Ketepatan
bukti merupakan ukuran mutu bukti, yang berarti relevansi dan
reliabilitasnya memenuhi tujuan audit untuk kelas transaksi, saldo akun,
dan pengungkapan terkait. Ketepatan bukti terkait dengan prosedur audit
yang dipilih.
1) Relevansi Bukti (Relevance of Evidence)
Bukti
audit harus berkaitan atau relevan dengan tujuan audit. Sebagai contoh,
auditor ingin menguji apakah penjualan yang terjadi telah ditagih
(tujuan audit kelengkapan). Apabila auditor menelusuri sampel faktur
penjualan ke dokumen pengiriman barang, maka bukti audit yang
diperolehnya bukan bukti audit yang tepat untuk tujuan audit
kelengkapan, namun tepat untuk tujuan audit keterjadian. Untuk memenuhi
tujuan audit kelengkapan, auditor dapat menggunakan prosedur yang tepat,
yaitu menelusuri sampel bukti pengiriman barang ke faktur penjualan.
2) Reliabilitas Bukti (Reliability of Evidence)
Reliabilitas
bukti terkait dengan apakah suatu bukti dapat dipercaya (diandalkan)
atau tidak. Jika suatu bukti dapat diandalkan, maka bukti tersebut
sangat membantu meyakinkan auditor bahwa laporan keuangan klien
disajikan secara wajar. Sebagai contoh, auditor menghitung sendiri
persediaan, maka bukti yang diperoleh auditor lebih dapat diandalkan
daripada hasil perhitungan persediaan yang berikan oleh klien kepada
auditor.
Reliabilitas bukti tergantung pada enam karakteristik bukti yang dapat diandalkan, yaitu:
a) Independensi Penyedia Bukti (Independence of Provider)
Bukti yang diperoleh dari sumber luar entitas lebih dapat diandalkan ketimbang yang diperoleh dari dalam entitas.
b) Efektivitas Pengendalian Internal Klien (Effectiveness of Client’s Internal Controls)
Jika
pengendalian internal klien efektif, maka bukti audit yang diperoleh
lebih dapat diandalkan ketimbang jika pengendalian internalnya lemah.
c) Pengetahuan Langsung Auditor (Auditor’s Direct Knowledge)
Bukti
audit yang diperoleh langsung oleh auditor melalui pemeriksaan fisik,
observasi, penghitungan ulang, dan inspeksi lebih dapat diandalkan
ketimbang informasi yang diperoleh secara tidak langsung.
d) Kualifikasi Individu yang Menyediakan Bukti (Qualifications of Individuals Providing the Information)
Bukti
audit tidak akan dapat diandalkan kecuali individu yang menyediakan
informasi tersebut memenuhi kualifikasi untuk itu. Sebagai contoh,
pemeriksaan atas persediaan permata oleh auditor yang tidak terlatih
untuk membedakan antara permata dan kaca bukan merupakan bukti audit
yang dapat dindalkan bagi eksistensi permata.
e) Tingkat Objektivitas (Degree of Objectivity)
Bukti
yang objektif lebih dapat diandalkan ketimbang bukti yang memerlukan
pertimbangan tertentu untuk menentukan apakah bukti tersebut adalah
benar. Contoh bukti yang objektif adalah jawaban konfirmasi piutang
usaha dan perhitungan fisik sekuritas. Adapun contoh bukti yang
subjektif adalah tanya-jawab dengan manajer kredit mengenai ketertagihan
piutang usaha yang tidak lancar dan surat yang ditulis oleh pengacara
klien yang membahas hasil yang mungkin akan diperoleh dari gugatan hukum
yang sedang dihadapi oleh klien. Apabila reliabilitas bukti yang
subjektif dievaluasi, maka penting bagi auditor untuk menilai
kualifikasi orang yang menyediakan bukti tersebut.
f) Ketepatan Waktu (Timeliness)
Ketepatan
waktu bukti audit terkait dengan kapan bukti audit itu dikumpulkan dan
periode yang tercakup oleh audit tersebut. Untuk akun-akun neraca, bukti
lebih dapat diandalkan apabila diperoleh sedekat mungkin dengan tanggal
neraca. Sebagai contoh, perhitungan auditor atas sekuritas pada tanggal
neraca akan lebih dapat diandalkan ketimbang jika perhitungan tersebut
dilakukan dua bulan sebelumnya. Untuk akun-akun laporan laba rugi, bukti
yang diperoleh akan lebih diandalkan jika ada sampel untuk keseluruhan
periode yang diaudit, seperti sampel acak atas transaksi penjualan
setahun penuh, bukan hanya sebagian periode saja misalnya sampel untuk
enam bulan pertama.
b.Kecukupan Bukti (Sufficency of Evidence)
Kuantitas
bukti yang diperoleh akan menentukan kecukupan bukti audit. Kecukupan
bukti terutama diukur oleh sampel yang dipilih oleh auditor. Beberapa
faktor akan menentukan ketepatan ukuran sampel yang dipilih oleh
auditor. Dua faktor yang paling penting adalah ekspektasi auditor atas
salah saji dan keefektifan pengendalian internal klien. Jika
pengendalian internal klien efektif maka ukuran sampel yang lebih kecil
dalam proses audit mungkin dapat dilaksanakan.
Selain
ukuran sampel, masing-masing item yang diuji akan mempengaruhi
kecukupan bukti audit. Sampel yang terdiri atas item-item populasi
dengan nilai uang besar, item-item yang kemungkinan besar salah saji,
dan item-tem yang mewakili populasi umumnya dianggap sudah mencukupi.
c.Dampak Gabungan Ketepatan dan Kecukupan Bukti
Persuasivitas
bukti hanya dapat dievaluasi setelah mempertimbangkan kombinasi antara
ketepatan dan kecukupan bukti audit, termasuk pengaruh faktor-faktor
yang mempengaruhi ketepatan dan kecukupan bukti audit tersebut.
Sejumlah
besar sampel bukti audit yang disediakan oleh pihak independen tidak
bersifat persuasif kecuali bukti tersebut relevan dengan tujuan audit
yang sedang diuji. Sejumlah besar sampel yang relevan tetapi tidak
objektif juga tidak persuasif. Demikian pula, sampel yang sedikit yang
hanya terdiri dari satu atau dua bukti transaksi yang sangat tepat juga
kurang memiliki persuasivitas. Ketika menentukan persuasivitas bukti
audit, auditor harus mengevaluasi bahwa tingkat ketepatan dan kecukupan
bukti audit, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi kedua hal
tersebut, telah terpenuhi.
3.2.Tipe/Jenis Bukti Audit
Arens, Elder, dan Beasley (2012: 199-204) menyebutkan bahwa terdapat delapan tipe/jenis bukti audit sebagai berikut:
- Pemeriksaan fisik (physical examination)
- Konfirmasi (confirmation)
- Dokumentasi (documentation)
- Prosedur analitis (analytical procedures)
- Tanya jawab dengan klien (inquiries of the client)
- Rekalkulasi (recalculation)
- Pelaksanaan/reka ulang (reperformance)
- Observasi (observation)
Penjelasan kedelapan tipe/jenis bukti audit tersebut di atas diuraikan berikut ini.
a.Pemeriksaan Fisik (Physical Examination)
Pemeriksaan
fisik adalah inspeksi atau perhitungan yang dilakukan oleh auditor atas
aset berwujud. Sebagai contoh, pemeriksaan fisik atas persediaan, kas,
sekuritas, wesel tagih, dan aset tetap berwujud. Pemeriksaan fisik
adalah cara langsung untuk memverifikasi apakah suatu aset benar-benar
ada (tujuan audit keberadaan), dan pada tingkat tertentu apakah aset
yang ada itu telah dicatat (tujuan audit kelengkapan).
Pemeriksaan
fisik dianggap sebagai salah satu jenis bukti audit yang paling dapat
diandalkan dan berguna. Pada umumnya pemeriksaan fisik adalah cara yang
objektif untuk mengetahui kuantitas maupun deskripsi atas aset tersebut.
Konfirmasi
menggambarkan penerimaan respon tertulis langsung dari pihak ketiga
yang memverifikasi keakuratan informasi yang diminta oleh auditor.
Karena informasi berasal dari pihak ketiga yang independen terhadap
klien, jenis bukti audit ini sangat dipercaya dan sering digunakan.
b.Konfirmasi (Confirmation)
Dokumentasi
adalah inspeksi oleh auditor atas dokumen dan catatan klien untuk
mendukung informasi yang tersaji atau seharusnya tersaji dalam laporan
keuangan. Dokumen yang diperiksa oleh auditor adalah catatan yang
digunakan klien untuk menyediakan informasi bagi pelaksanaan bisnis
dengan cara yang terorganisasi, yang bisa dalam bentuk kertas,
elektronik, atau media lain. Karena setiap transaksi klien biasanya
didukung paling sedikit satu dokumen, maka tipe/jenis bukti audit ini
biasanya tersedia dalam beberapa jenis dokumen. Sebagai contoh, klien
seringkali menyimpan pesanan pelanggan, dokumen pengiriman barang, dan
salinan faktur penjualan atas setiap transaksi penjualan.
c.Dokumentasi (Documentation)
Dokumentasi
telah digunakan secara luas sebagai bukti audit. Kadang-kadang jenis
bukti audit ini merupakan satu-satunya jenis bukti audit yang tersedia.
Apabila
auditor menggunakan dokumentasi untuk mendukung transaksi atau jumlah
yang dicatat, prosesnya seringkasi disebut vouching. Contoh, auditor
melakukan verifikasi ayat jurnal pada jurnal akuisisi dengan memeriksa
faktur pendukung dari vendor/pemasok dan laporan penerimaan barang untuk
memenuhi tujuan audit keterjadian. Namun apabila auditor menelusuri
dari laporan penerimaan barang ke jurnal akuisisi untuk memenuhi tujuan
audit kelengkapan, hal ini tidak tepat bila disebut vouching, melainkan
lebih tepat disebut tracing.
d.Prosedur Analitis (Analytical Procedures)
Prosedur
analitis menggunakan perbandingan-perbandingan dan hubungan-hubungan
untuk menilai apakah saldo-saldo akun atau data lainnya tampak masuk
akal bila dibandingkan dengan harapan-harapan auditor. Sebagai contoh,
auditor mungkin membandingkan persentase laba kotor tahun ini dengan
tahun-tahun sebelumnya. Prosedur analitis digunakan secara luas dalam
praktik dan dipersyaratkan dilakukan selama tahap perencanaan dan
penyelesaian audit.
Ada beberapa tipe dari prosedur analitis, yaitu:
- Membandingkan data klien dengan data industri.
- Membandingkan data klien dengan data tahun-tahun sebelumnya.
- Membandingkan data klien dengan data kilen mengenai hasil yang diharapkan yang telah ditentukan (budget).
- Membandingkan data klien dengan data auditor mengenai hasil yang diharapkan yang telah ditentukan.
- Membandingkan data klien dengan hasil yang diharapkan yang menggunakan data nonfinansial.
e.Tanya Jawab dengan Klien (Inquiries of the Client)
Tanya
jawab dengan klien merupakan upaya memperoleh informasi secara tertulis
maupun lisan dari klen sebagai respon atas pertanyaan yang diajukan
auditor. Walaupun banyak bukti yang diperoleh dari klien melalui tanya
jawab, ini biasanya tidak dapat dipandang sebagai bukti yang meyakinkan
karena bukan berasal dari sumber yang independen dan mungkin bias dan
menguntungkan pihakklien. Karena itu, apabila auditor memperoleh bukti
melalui tanya jawab, auditor perlu memperoleh bukti pendukung/tambahan
melalui prosedur lainnya.
6. Rekalkulasi (Recalculation)
Rekalkulasi
melibatkan pengecekan ulang atas suatu sampel perhitungan yang dibuat
oleh klien. Pengecekan ulang tersebut terdiri atas pengujian atas
keakuratan perhitungan matematis oleh klien dan pengecekan lainnya
seperti pengecekan perhitungan biaya penyusutan dan biaya dibayar dimuka
yang dibuat oleh klien.
7. Pelaksanaan/Reka Ulang (Reperformance)
Pelaksanaan/reka
ulang adalah pengujian independen yang dilakukan oleh auditor atas
prosedur akuntansi atau pengendalian internal klien, yang dilakukan
sebagai bagian dari sistem akuntansi dan pengendalian intern klien.
Sebagai contoh, auditor dapat membandingkan harga yang tertera pada
suatu faktur dengan daftar harga yang resmi atau melakukan reka ulan
atas umur piutang. Jenis pelaksanaan/reka ulang lainnya bagi auditor
adalah mengecek ulang transfer informasi dengan menelusuri informasi
yang tercanturm dalam lebih dari satu tempat untuk memverifikasi bahwa
hal itu dicatat pada jumlah yang sama setiap waktu. Contoh, auditor
melakukan pengujian terbatas untuk memastikan informasi dalam jurnal
penjualan telah dicatat bagi pelanggan yang tepat dan pada jumlah yang
benar dalam buku tambahan piutang usaha dan secara akurat diikhtisarkan
dalam buku besar.
8. Observasi (Observation)
Observasi
adalah penggunaan indera untuk menilai aktivitas klien. Selama
menjalani penugasan dengan klien, auditor mempunyai banyak kesempatan
untuk menggunakan inderanya (penglihatan, pendengaran, sentuhan, dan
penciuman) guna mengevaluasi berbagai item. Auditor dapat mengunjungi
lokasi pabrik untuk memperoleh kesan umum atas fasilitas klien, atau
mengamati individu yang melaksanakan tugas akuntansi untuk menentukan
apakah orang yang diserahi tanggung jawab telah melaksanakan tugasnya
dengan baik. Observasi kadang kurang dapat diandalkan kalau pegawai
klien mengubah perilakunya karena kehadiran auditor. Oleh karena itu,
perlu untuk menindaklanjuti kesan pertama saat observasi dengan
bukti-bukti pendukung/tambahan lainnya. Namun demikian, observasi
berguna dalam pelaksanaan sebagian besar audit.
C.Pembahasan
Pembahasan
dimulai dari bukti kompeten yang cukup dalam pemeriksaan pajak
dibandingkan dengan persuasivitas bukti (bukti yang meyakinkan) dalam
pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum kemudian dilanjutkan
dengan tipe/jenis bukti audit.
1.Pembahasan Bukti Kompeten yang Cukup versus Persuasivitas Bukti
Dalam
pemeriksaan pajak, pemeriksa pajak mendasarkan temuannya pada bukti
kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dan bukti dianggap kompeten apabila bukti
tersebut valid dan relevan dengan tetap mempertimbangkan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha atas transaksi Wajib Pajak yang memiliki
hubungan istimewa. Sedangkan dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk
tujuan umum (pemberian opini), auditor mendasarkan pendapatnya pada
bukti yang dikumpulkan dan Standar Akuntansi Keuangan. Apabila auditor
mendapatkan bukti yang meyakinkan (persuasivitas bukti), maka bukti
tersebut membantu auditor untuk memberikan pendapat atas laporan
keuangan yang diperiksa. Bukti yang meyakinkan (persuasivitas bukti)
ditentukan oleh dua hal yaitu ketepatan bukti dan kecukupan bukti. Bukti
dianggap tepat apabila relevansi dan reliabilitasnya memenuhi tujuan
audit.
Validitas bukti dalam pemeriksaan pajak dipengaruhi oleh:
- independensi dan kualifikasi sumber diperolehnya bukti;
- kondisi bukti diperoleh; dan
- cara bukti diperoleh.
Pemeriksaan
laporan keungan untuk tujuan umum tidak mennggunakan istilah validitas
bukti, namun menggunakan istilah reliabilitas bukti. Reliabilitas bukti
tergantung pada enam karakteristik bukti yang dapat diandalkan sebagai
berikut:
- independensi penyedia bukti;
- efektivitas pengendalian internal klien;
- pengetahuan langsung auditor;
- kualifikasi individu yang menyediakan bukti;
- tingkat objektivitas; dan
- ketepatan waktu.
Kalau
dibandingkan faktor yang mempengaruhi validitas bukti dalam pemeriksaan
pajak dengan faktor yang mempengaruhi reliabilitas bukti dalam
pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum terdapat kesamaan atau
kedekatan makna yaitu independensi dan kualifikasi sumber diperolehnya
bukti (dalam pemeriksaan pajak) sama dengan independensi penyedia bukti
dan kualifikasi individu yang menyediakan bukti (dalam pemeriksaan
laporan keuangan untuk tujuan umum), cara bukti diperoleh (dalam
pemeriksaan pajak) dekat maknanya dengan pengetahuan langsung auditor
(dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum).
Adapun
faktor yang mempengaruhi validitas bukti berupa kondisi bukti diperoleh
dalam pemeriksaan pajak diberikan penjelasan dalam Pasal 4 huruf c
Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen Pajak) Nomor
PER-23/PJ/2013. Pasal 4 huruf c Perdirjen Pajak Nomor PER-23/PJ/2013
hanya menjelaskan tingkat kesulitan mendapatkan bukti yang dipengaruhi
situasi dan/atau kondisi dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan tingkat validitas bukti. Penjelasan ini belum menggambarkan
secara jelas mengai kondisi bukti diperoleh yang dapat mempengaruhi
validitas bukti. Dalam Perdirjen Pajak sebelumnya yaitu Perdirjen Pajak
Nomor PER-09/PJ/2010, sebelum diganti dengan Perdirjen Pajak Nomor
PER-23/PJ/2013, dalam Pasal 5 huruf e diberikan penjelasan mengenai
bukti yang diperoleh yang dapat mempengaruhi validitas bukti sebagai
berikut bahwa bukti yang dihasilkan oleh entitas yang memiliki sistem
pengendalian internal kuat memiliki validitas lebih tinggi dibandingkan
bukti yang dihasilkan oleh entitas yang memiliki sistem pengendalian
internal lemah. Penjelasan dalam Perdirjen Nomor PER-09/PJ/2010 ini
mempunyai kedekatan dengan faktor efektivitas pengendalian internal
klien yang dapat mempengaruhi reliabilitas bukti dalam pemeriksaan
laporan keuangan untuk tujuan umum.
Selanjutnya,
dalam pemeriksaan pajak tidak disebutkan faktor tingkat objektivitas
dan ketepatan waktu yang dapat mempengaruhi validitas bukti sebagaimana
faktor tingkat objektivitas dan ketepatan waktu tersebut disebutkan
dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum yang dapat
mempengaruhi realibilitas bukti. Penulis berpendapat bahwa walaupun
dalam Perdirjen Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 tidak menyebutkan faktor
tingkat objektivitas dan ketepatan waktu dalam menentukan validitas
bukti, faktor tersebut harus menjadi pertimbangan juga bagi pemeriksa
pajak dalam menentukan validitas bukti.
Dalam
pemeriksaan pajak, bukti danggap relevan apabila bukti tersebut
berkaitan dengan pos-pos yang diperiksa sebagaimana tercantum dalam
program pemeriksaan. Sedangkan dalam pemeriksaan untuk tujuan umum,
bukti dianggap relevan apabila bukti tersebut berkaitan atau relevan
dengan tujuan audit yang diuji oleh auditor.
Faktor
lainnya yang mempengaruhi keputusan baik bagi pemeriksa pajak maupun
auditor dalam mengambil kesimpulan yang akan dituangkan dalam Laporan
Hasil Pemeriksaan atau Audit Report adalah kecukupan bukti. Dalam
pemeriksaan pajak, disebutkan bahwa bukti yang cukup adalah bukti yang
memadai untuk mendukung temuan hasil pemeriksaan. Kecukupan terkait
dengan pertimbangan profesional (professional judgement)
pemeriksa pajak. Selanjutnya, dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk
tujuan umum, kuantitas bukti yang diperoleh akan menentukan kecukupan
bukti audit. Kecukupan bukti terutama diukur oleh sampel yang dipilih
oleh auditor yang besaran sampelnya dipengaruhi oleh ekspektasi auditor
atas salah saji dan keefektifan pengendalian internal klien. Selain
ukuran sampel, masing-masing item yang diuji akan mempengaruhi kecukupan
bukti audit misalnya sampel yang terdiri atas item-item populasi dengan
nilai uang besar, item-item yang kemungkinan besar salah saji, dan
item-tem yang mewakili populasi umumnya dianggap sudah mencukupi.
Dalam
pemeriksaan pajak, kecukupan bukti audit tidak ditekankan pada
kuantitas bukti yang diperoleh yang diukur dengan sampel yang dipilih
auditor. Hal ini wajar, karena dalam pemeriksaan pajak, tidak dilakukan
pemeriksaan seluruh pos SPT atau seluruh akun laporan keuangan.
Pemilihan pos-pos SPT dan turunannnya (akun-akun laporan keuangan) yang
diperiksa didasarkan pada identifikasi masalah yang dilakukan oleh
pemeriksa pajak. Bukti audit yang kumpulkan oleh pemeriksa pajak harus
dapat mendukung atau mempertahankan temuan hasil pemeriksaan. Namun
demikian, untuk pengujian substantif atas saldo suatu pos SPT atau akun
laporan keuangan, sampel bukti transaksi yang digunakan pengujian saldo
tersebut harus mencukupi, tanpa mengesampingkan penggunaan alat uji yang
lain.
2.Pembahasan Tipe/Jenis Bukti Audit
Dalam pemeriksaan pajak, tidak diklasifikasikan tipe/jenis bukti audit
sebagaimana diklasifikasikan dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk
tujuan umum dalam delapan tipe/jenis audit sebagai berikut:
- pemeriksaan fisik (physical examination);
- konfirmasi (confirmation);
- dokumentasi (documentation);
- prosedur analitis (analytical procedures);
- tanya jawab dengan klien (inquiries of the client);
- rekalkulasi (recalculation);
- pelaksanaan/reka ulang (reperformance);
- observasi (observation).
Namun
demikian, tipe/jenis audit sebagaimana dimaksud dalam pemeriksaan
laporan keuangan untuk tujuan umum tersebut dalam pemeriksaan pajak
tercermin dalam pendokumentasian dari penerapan teknik pemeriksaan
sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE Dirjen
Pajak) Nomor SE-65/PJ/2013 tanggal 31 Desember 2013 tentang Pedoman
Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan. Teknik Pemeriksaan sebagaimana
diatur dalam SE-65/PJ/2013 tersebut adalah sebagai berikut:
- pemanfaatan informasi internal dan/atau eksternal Direktorat Jenderal Pajak;
- pengujian keabsahan dokumen;
- evaluasi;
- analisis angka-angka;
- penelusuran angka-angka;
- penelusuran bukti;
- pengujian keterkaitan;
- ekualisasi;
- permintaan keterangan atau bukti;
- konfirmasi;
- inspeksi;
- pengujian kabenaran fisik;
- pengujian kebenaran penghitungan matematis;
- wawancara;
- uji petik (sampling);
- Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK); dan/atau
- teknik-teknik Pemeriksaan lainnya.
Kalau
dibuatkan matriks antara tipe/bukti audit dalam pemeriksaan laporan
keuangan untuk tujuan umum dan teknik pemeriksaan pajak, tampak seperti
dalam daftar berikut ini:
Tipe/Bukti Audit Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan
|
Teknik Pemeriksaan Dalam Pemeriksaan Pajak
|
- Pemeriksaan fisik (physical examination)
|
- Pengujian kabenaran fisik
|
- Konfirmasi (confirmation)
|
- Konfirmasi
- Permintaan keterangan atau bukti
|
- Dokumentasi (documentation)
|
- Pengujian keabsahan dokumen
- Penelusuran angka-angka;
- Penelusuran bukti;
- Evaluasi
|
- Prosedur analitis (analytical procedures)
|
- Analisis angka-angka
- Ekualisasi
|
- Tanya jawab dengan klien (inquiries of the client)
|
- Wawancara
|
- Rekalkulasi (recalculation)
|
- Pengujian kebenaran penghitungan matematis
|
- Pelaksanaan/reka ulang (reperformance)
|
- Pengujian keterkaitan
|
- Observasi (observation)
|
- Inspeksi
|
Dengan
demikian, pendokumentasian dari penerapan teknik pemeriksaan dalam
pemeriksaan pajak tersebut menjadi bukti audit dalam pemeriksaan pajak.
D.Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Bukti audit mempunyai peranan penting baik dalam pemeriksaan pajak maupun pemeriksaan laporan keuangan. Dalam pemeriksaan pajak dikenal istilah bukti kompeten yang cukup untuk mendukung temuan hasil pemeriksaan pajak, sedangkan dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum digunakan istilah persuasivitas bukti (bukti yang meyakinkan) untuk mendukung pendapat auditor atas laporan keuangan yang diauditnya.
- Dalam pemeriksaan pajak, bukti dianggap kompeten apabila bukti tersebut valid dan relevan. Sedangkan dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum, bukti dianggap meyakinkan apabila memenuhi ketepatan dan kecukupan bukti. Ketepatan bukti dipengaruhi oleh reliabilitas dan relevansi bukti.
- Validitas bukti dalam pemeriksaan pajak dan reliabilitas bukti dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum dipengaruhi oleh beberapa faktor. Terdapat kesamaan faktor-faktor yang mempengaruhi validitas bukti dalam pemeriksaan pajak dan reliabilitas bukti dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum. Namun demikian, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi reliabilitas bukti dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum yang perlu dipertimbangkan juga oleh pemeriksa pajak dalam menentukan validitas bukti yaitu tingkat objektivitas dan ketepatan waktu.
- Terdapat faktor yang mempengaruhi validitas bukti yaitu kondisi bukti diperoleh yang oleh Perdirjen Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 belum diberikan penjelasan secara jelas. Oleh karena itu, apabila dilakukan penyempurnaan PER-23/PJ/2013 akan lebih baik bila faktor kondisi bukti diperoleh diberikan penjelasan secara jelas sebagaimana pernah dijelaskan dalam Perdirjen Pajak Nomor PER-09/PJ/2010.
- Relevansi bukti audit diperlukan baik dalam pemeriksaan pajak maupun pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum. Dalam pemeriksaan pajak, bukti audit danggap relevan apabila bukti tersebut berkaitan dengan pos-pos yang diperiksa sebagaimana tercantum dalam program pemeriksaan. Sedangkan dalam pemeriksaan untuk tujuan umum, bukti dianggap relevan apabila bukti tersebut berkaitan dengan tujuan audit yang diuji oleh auditor.
- Kecukupan bukti audit akan mempengaruhi keputusan baik bagi pemeriksa pajak maupun auditor dalam mengambil kesimpulan yang akan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atau Audit Report. Dalam pemeriksaan pajak, bukti dianggap yang cukup apabila bukti tersebut memadai untuk mendukung temuan hasil pemeriksaan. Kecukupan terkait dengan pertimbangan profesional (professional judgement) pemeriksa pajak. Selanjutnya, dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum, kuantitas bukti yang diperoleh akan menentukan kecukupan bukti audit.
- Dalam pemeriksaan pajak tidak diatur mengenai tipe/jenis bukti audit sebagaimana dikenal dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum. Namun demikian, bukti audit dalam pemeriksaan pajak pada prinsipnya mencakup tipe/jenis bukti audit sebagaimana dikenal dalam pemeriksaan laporan keuangan untuk tujuan umum. Bukti audit dalam pemeriksaan pajak dapat diperoleh dari pendokumentasian penerapan teknik pemeriksaan pajak sebagaimana diatur dalam SE-65/PJ/2013.
ditulis oleh Suwadi, Ak., M.M
Referensi:
- Arens, Elder, dan Beasley. 2012, Auditing and Assurance Services: An Integrated Approach, Fourteenth Edition, Pearson Education Limited, England.
- Tunggal, Amin Widjaja, MBA, Drs., Ak., CPA. 2012, Pengantar Forensic Auditing, Harvarindo, Jakarta.
- Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009.
- Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tanggal 7 Januari 2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan.
- Direktorat Jenderal Pajak. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 tanggal 11 Juni 2013 tentang Standar Pemeriksaan.
- Direktorat Jenderal Pajak. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-09/PJ/2010 tanggal 1 Maret 2010 tentang Standar Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban
- Direktorat Jenderal Pajak. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-65/PJ/2013 tanggal 31 Desember 2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan.