Faktor-faktor yang menjadikan pengadaan barang dan jasa sebagai ladang
subur praktek korupsi, diantaranya adalah banyaknya uang yang beredar,
tertutupnya kontak antara penyedia jasa dan panitia lelang dan banyaknya
prosedur lelang yang harus diikuti. Proses pengadaan ini walaupun tercium
adanya indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tetapi pembuktiannya
sangat sulit karena sistem administrasi dari pemberi dan penerima pekerjaan ini
sangatlah rapi. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan proses yang terbuka
dalam pengadaan barang dan jasa. Proses yang transparan ini akan memberikan
kesempatan yang sama kepada penyedia barang dan jasa dan dalam pelaksanaannya
akan mendapatkan pengawasan dari masyarakat (KPK : 2007)
Praktik yang Memicu Tindak Pidana dalam Pengadaan barang dan jasa
Terdapat 3 (tiga) unsur untuk dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana, Pertama, menyalahgunakan kewenangannya, kedua, memberikan
keuntungan baik kepada diri sendiri maupun orang lain, dan ketiga,
menimbulkan kerugian keuangan negara. Bila proses yang sedang berjalan,
walaupun belum final/akhir, namun sudah ada indikasi atau "dugaan
kuat" adanya penyimpangan bisa atau dapat dikategorikan pelanggaran
terhadap UU Korupsi.
Berikut adalah beberapa perbuatan yang bisa memicu terjadinya tindak
pidana pada pengadaan barang dan jasa pemerintah antara lain :
a. Penyuapan
Menyuap adalah usaha yang dilakukan sesorang untuk mempengaruhi
pejabat pemerintah (pengambil keputusan) supaya melakukan tindakan tertentu
atau supaya tidak melakukan tindakan tertentu dengan memberikan imbalan uang
atau benda berharga lainnya. Tindak pidana suap merupakan tindak pidana yang
berada dalam satu jenis dengan tindak pidana korupsi dan merupakan jenis tindak
pidana yang sudah sangat tua. Penyuapan sebagai istilah sehari-hari yang
dituangkan dalam Undang-Undang adalah sebagai suatu hadiah atau janji
("giften" atau "beloften") yang diberikan atau diterima.
Pelaku penyuapan dikategorikan menjadi penyuapan aktif (active omkoping) adalah
jenis penyuapan yang pelakunya sebagai pemberi hadiah atau janji, sedang
penyuapan pasif (passive omkoping) adalah jenis penyuapan yang pelakunya
sebagai penerima hadiah atau janji.
Penyuapan biasanya dilakukan oleh rekanan kepada bupati, walikota,
gubernur, dirjen, menteri, pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, pejabat
pembuat komitmen, panitia penerima barang dan jasa, atau kepada anggota pokja
ULP. Tujuan penyuapan ini adalah agar pengelola pengadaan memenangkan penawaran
dari rekanan, supaya pengelola kegiatan menerima barang/jasa yang diserahkan
rekanan dimana kualitas dan atau kuantitasnya lebih rendah dibandingkan yang
diperjanjikan dalam kontrak.
Larangan penyuapan diatur pada pasal 6 Perpres 54 tahun 2010 jo
Perpres 70 tahun 2012 yaitu berkaitan dengan etika pengadaan. Para pihak yang
terkait dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa harus mematuhi etika sebagai
berikut :
a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab
untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan
Barang/Jasa;
b. bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan
Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk
mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang
berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang
ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para
pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses
Pengadaan Barang/Jasa;
f. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran
keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa;
g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi
dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan
h. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk
memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari
atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan
Pengadaan Barang/Jasa.
Ancaman hukuman terhadap penerima suap diatur pada pasal 418 KUHP :
Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut
pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungannya dengan
jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sedangkan pada pasal 419 KUHP diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun apabila seorang pejabat :
1. Menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau
janji itu diberikan untuk menggerakkan supaya melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
2. Yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai
akibat atau oleh karena si penerima telah melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Kemudian pada UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupssi ancaman hukuman terhadap penerima suap disebutkan :
Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
pa sal 418 KUHP, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan
paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp.50.000.000 dan paling banyak
Rp.250.000.000,-
Pasal 12
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 419, pasal 420, pasal 423, pasal 425 atau pasal 435 KUHP dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan
paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 dan paling banyak
1.000.000.000.
Ada beberapa kasus yang menyeret pelaku suap ini ke jeruji penjara,
antara lain korupsi pengadaan alat-alat kesehatan atas nama Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Lombok Barat dr. HL Sekarningrat. Pengadilan Negeri Mataram
dalam putusan No. 274/PID.B/2004/PN.MTR tanggal 17 Pebruari 2005 memutusakan
bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima
sejumlah fee proyek dari rekanan dengan janji atau hadiah yang berhubungan
dengan jabatannya Pidana penjara 5 bulan dan denda 10 juta Rupiah subsider
bulan kurungan.
b. Menggabungkan atau memecah paket pekerjaan
Berkaitan dengan pemaketan pekerjaan Perpres 54 tahun 2010 pada pasal
24 ayat 3 mengatur prosedur sebagai berikut :
Dalam melakukan pemaketan Barang/Jasa, PA dilarang:
a. menyatukan atau memusatkan beberapa kegiatan yang tersebar di
beberapa lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya
seharusnya dilakukan di beberapa lokasi/daerah masing-masing;
b. menyatukan beberapa paket pengadaan yang menurut sifat dan jenis
pekerjaannya bisa dipisahkan dan/atau besaran nilainya seharusnya dilakukan
oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi kecil;
c. memecah Pengadaan Barang/Jasa menjadi beberapa paket dengan maksud
menghindari pelelangan; dan/atau
d. menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang
diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.
Pemecahan atau penggabungan paket bisa dilakukan dengan pertimbangan
yang jelas dan sesuai dengan prinsip pengadaan yang efektif dan efisien.
Pemecahan paket dapat dilakukan karena perbedaan target penyedia, perbedaan
lokasi penerima/pengguna barang yang cukup signifikan, atau perbedaan waktu
pemakaian dari barang dan jasa tersebut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) maupun Undang-undang Nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi tidak mengatur ancaman perbuatan menggabungkan atau memecah paket. Pada
perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012 juga tidak ada ancaman terhadap
penggabungan atau pemecahan paket. Ancaman tindak pidana muncul apabila dapat
dibuktikan bahwa pemecahan atau penggabungan paket tersebut diikuti dengan
praktek penggelembungan harga. Apabila hal ini terjadi maka praktek
penggelembungan harga inilah yang diancam hukuman.
c. Penggelumbungan harga
Merujuk pada Perpres 54 tahun 2010 diatur mengenai etika pengadaan
dimana pada pasal 6 disebutkan salah satunya adalah menghindari dan mencegah
terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang dan
jasa. Etika pengadaan tersebut menegaskan bahwa rekanan maupun pengelola
pengadaan secara tegas dilarang melaksanakan pengadaan barang/jasa yang dapat
mengakibatkan pemborosan keuangan negara. Semua peristiwa tindak pidana
pengadaan barang dan jasa hampir selalu mengakibatkan pemborosan.
Praktek penggelembungan harga ini diawali dari penentuan HPS yang
terlalu tinggi karena penawaran harga peserta lelang/seleksi tidak boleh
melebihi HPS sebagaimana diatur pada pasal 66 Perepres 54 tahun 2010 dimana HPS
adalah dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk
Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/JasaLainnya dan Pengadaan Jasa
Konsultansi yang menggunakan metode Pagu Anggaran. Penyusunan HPS
dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Contoh penyimpangan yang dapat terjadi dapat dilihat dalam kasus
pengadaan alat pendidikan dokter di di Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM
Kesehatan (BPPSDMK) pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2010, yang mana
Kejaksaan Agung telah menetapkan 3 tersangkanya. Dalam kasus ini diduga telah
terjadi rekayasa harga dalam tender pengadaan alat pendidikan dokter tersebut
Tersangka Widianto Aim berperan membuat penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)
yang tidak profesional terkait tender pengadaan alat pendidikan dokter rumah
sakit tersebut. Kemudian tersangka Syamsul Bahri sebagai Kasubag Program dan
Anggaran (PA) juga terkait dalam penetapan HPS dalam tender tersebut. Terakhir,
tersangka Bantu Marpaung sebagai pemenang tender terkait dalam penetapan HPS
tender tersebut.
Kasus mark up yang lain misalnya mark-up pada pengadaan dua
unit Helikopter jenis MI-2 buatan Rostov-Rusia oleh Pemda NAD dengan terdakwa
Sdr. Ir. H. Abdullah Puteh, M.Si. (mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam).
Pengadilan Tipikor dan diperkuat oleh MA telah memvonis Ir. H. Abdullah Puteh
10 tahun penjara, uang pengganti 4,5 miliar rupiah dan denda 0,5 miliar rupiah.
Terdakwa dipidana 10 tahun penjara dan harus membayar uang pengganti 4,5 miliar
rupiah dan denda 0,5 miliar rupiah.
d. Mengurangi kuantitas dan atau kualitas barang dan jasa
Dalam setiap pengadaan barang dan jasa senantiasa diikuti dengan bukti
perjanjian baik dalam bentuk Surat Perjanjian/kontrak maupun Surat Perintah Kerja
(SPK). Kontrak adalah bentuk kesepakatan tertulis antara penyedia dan pengguna
barang/jasa tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam kontrak selalu
diatur tentang kuantitas dan kualitas barang dan jasa yang diperjanjikan,
sehingga setiap usaha untuk mengurangi kuantitas atau kualitas barang dan jasa
adalah tindak pidana.
Pengurangan kuantitas dan kualitas ini seringkali dilakukan bersamaan
dengan pemalsuan dokumen berita acara serah terima barang, dimana penyerahan
barang diikuti berita acara yang menyatakan bahwa penyerahan barang telah
dilakukan sesuai dengan kontrak. Terhadap hal ini KUHP pada pasal 263
menyatakan :
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai
atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan
tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian,
karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat palsu atau yang dipalsukan, seolah-olah sejati, jika pemakaian
surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pada Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 18 diatur tentang tugas pokok
dan kewenangan dari Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP), dimana
PPHP mempunyai tugas pokok dan kewenangan sbb :
a. melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak;
b. menerima hasil Pengadaan Barang/Jasa setelah melalui
pemeriksaan/pengujian; dan
c. membuat dan menandatangani Berita Acara Serah TerimaHasil
Pekerjaan.
Secara legal formal tanggung jawab untuk menyatakan bahwa barang atau
jasa yang diserahkan telah sesuai dengan kontrak baik kualitas maupun
kuantitasnya adalah PPHP. Namun secara material penyedia barang dan jasa juga
harus bertanggungjawab terhadap kekurangan ini. Penyedia yang melakukan
kecurangan ini bisa dikenai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 7 UU 20 Tahun
2001 merujuk pada Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP yang kualifikasinya adalah
melakukan perbuatan curang bagi pemborong, ahli bangunan dan pengawas, sehingga
membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan keselamatan negara
Perbuatan curang yang dilakukan adalah pemborong misalnya melakukan
pembangunan suatu bangunan tidak sesuai atau menyalahi ketentuan yang sudah
diatur dan disepakati yang tertuang dalam surat perjanjian kerja atau
leveransir, bahan bangunan yang dipesan/dibeli darinya tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan. Perbutan curang ini tidak perlu mengakibatkan bangunan itu roboh
atau negara menjadi betul-betul bahaya, karena dalam unsurnya dikatakan
"dapat membahayakan keamanan orang atau barang dan membahayakan
keselamatan negara"
e. Penunjukan langsung
Penunjukan langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa
dengan menunjuk langsung 1 penyedia barang/jasa yang memenuhi syarat. Dalam
Perpres 54 tahun 2010 pasal 38 menyebutkan bahwa penunjukan langsung dapat
dilakukan dalam hal:
a. keadaan tertentu; dan/atau
b. pengadaan Barang khusus/Pekerjaan Konstruksi khusus/Jasa Lainnya
yang bersifat khusus.
Penunjukan langsung dapat dilakukan sepanjang memenuhi kriteria
yang diuraikan secara ketat pada pasal 38 dan pasal 44. Penunjukan
langsung yang terjadi diluar yang telah ditetapkan dalam Perpres tersebut
adalah ilegal. Dalam beberapa kasus penunjukan langsung ini juga diikuti dengan
pengelembungan harga, karena tentu harus ada fee yang diberikan penyedia
barang/jasa sebagai ucapan terimakasih kepada pejabat yang menunjuk.
Beberapa kasus penunjukan langsung yang terjadi seperti kasus
pengadaan dan pembelian pesawat terbang jenis Fokker 27 seri 600, dengan
putusan No. 43 K/Pid/2007, atas nama terdakwa Drs. David Agustein Hubi. Dalam
kasus ini, pelaksanaan proyek pengadaan dan pembelian pesawat terbang tersebut
tidak berpedoman pada Keppres No. 18 tahun 2000 (merupakan peraturan yang
berlaku pada saat kejadian berlangsung) tentang pengadaan barang dan jasa,
dimana proyek yang telah dilaksanakan tidak dilengkapi dengan SPK (Surat
Perintah Kerja) maupun Kontrak Kerja akan tetapi hanya mendasari dengan surat
perjanjian saja, disisi lain dalam pelaksanaan proyek tidak dilakukan tender
dan analisa kewajaran harga. Terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 3
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP. Pengadilan Negeri Menghukum Terdakwa atas ketiga
perbuatan tersebut dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan Denda
sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan
kurungan. Oleh pengadilan tinggi, hukuman ini ditambah menjadi pidana penjara
selama 7 (tujuh) tahun dan membayar uang pengganti kepada Negara sebesar Rp.
1.661.000.000,- (satu milyar enam ratus enam puluh satu juta rupiah).
f. Kolusi antara penyedia dan pengelola pengadaan.
Kolusi yang bisa memicu terjadinya tindak pidana antara lain
a. Membuat spesifikasi barang/jasa yang mengarah ke rekanan tertentu
b. Mengatur/Merekayasa Proses Pengadaan
c. Membuat syarat-syarat untuk membatasi peserta lelang
Pada Perpres 54 tahun 2010 pada pasal 24 disebutkan tentang pelarangan
menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau
dengan pertimbangan yang tidak obyektif.
Kemudian pada pasal 56 juga disebutkan :
Perbuatan atau tindakan penyedia Barang/Jasa yang dapat dikenakan
sanksi adalah:
a. berusaha mempengaruhi ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang
berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung
guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang
telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk
mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa,
sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/ atau meniadakan persaingan yang
sehat dan/atau merugikan orang lain;
Muara dari kolusi tersebut adalah peniadaan kompetisi dalam pengadaan
barang dan jasa. Kompetisi dalam pengadaan publik berarti penyedia secara
independen bersaing untuk menawarkan barang/jasa dalam suatu proses pemilihan.
Kompetisi yang sehat merupakan elemen kunci yang akan menghasilkan penawaran
yang paling menguntungkan bagi pemerintah khususnya harga paling rendah dan
kualitas barang yang paling baik. Bagi penyedia kompetisi berfungsi sebagai
pendorong penting tumbuhnya inovasi produk barang/jasa untuk menghasilkan produk
terbaik dengan harga bersaing. Kompetisi hanya bisa tercapai jika tidak ada
kolusi dalam tender, salah satu masalah yang paling menonjol dalam korupsi
pengadaan di sektor publik. Penyedia akan bersaing dengan sehat ketika mereka
yakin bahwa mereka disediakan semua informasi yang sama dan akan dievaluasi
dengan metode evaluasi yang tidak diskriminatif, serta tersedia mekanisme untuk
melakukan sanggahan terhadap keputusan hasil evaluasi.
Beberapa contoh praktek persyaratan yang diskriminatif antara lain
peserta tender harus menunjukkan saldo kas dengan jumlah tertentu, Laporan
keuangan peserta tender harus sudah diaudit KAP, Peserta harus memiliki
rekening pada bank tertentu. Dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah maka Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang
melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi sebagaimana dirumuskan Pasal 118 :
apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan
Barang/Jasa, maka Unit Layanan Pengadaan (ULP) dikenakan sanksi administrasi,
dituntut ganti rugi; dan/atau dilaporkan secara pidana.
Penutup
Dengan memahami praktik-praktik yang memicu tindakan pidana dalam
pengadaan barang dan jasa diatas diharapkan para pengelola pengadaan barang dan
jasa dapat mengantisipasi resiko pidana tersebut. Resiko pidana dapat
diantisipasi dengan beberapa jalan
1. Menghindari resiko, dapat dilakukan dengan mengimplementasikan
pengadaan barang dan jasa yang tepat sesuai Perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 35
tahun 2011 jo Perpres 70 tahun 2012 serta aturan-aturan pelaksanaannya.
2. Memindahkan resiko kepada pihak lain, dapat dilakukan dengan
meminta penjelasan tertulis (fatwa) untuk permasalahan-permasalahan yang tidak
jelas kepada lembaga yang berkompenten seperti BPK, BPKP, LKPP, KPK dan pihak
lain yang berkompenten.
3. Mengurangi resiko, dapat dilakukan dengan melibatkan tenaga ahli
sebagai penerima barang, melibatkan konsultan hukum dalam merancang kontrak,
memperkuat sistem pengawasan internal dari KPA atau PPK.
Daftar Pustaka
1. Amirudin. 2012 Analisis Pola Pemberantasan Korupsi dalam Pengadaan
Barang dan Jasa
2. Muhammad Jasin dkk. 2007. Memahami untuk melayani, Melaksanakan
E-Announcement dan E-Procurement dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa. Komisi
Pemberantasan Korupsi
3. Indonesia Procurement Watch. 2011 Laporan Survey Jejak Suap dalam
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
4. Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden No. 70
Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
5. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
6. Suswinarno Ak, MM. 2013 Mengantisipasi Resiko dalam Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah
7. www.pantau-pengadaan.org.
Kajian Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dari Perspektif Hukum Pidana dan
Kriminologi
8. http://www.merdeka.com
9. http://www.hukumonline.com
Ditulis oleh Pusdiklat AP
Oleh: Dwi Ari Wibawa, SIP, M.M
Widyaiswara Muda