Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 pasal 19
ayat 1 huruf o menyebutkan bahwa penyedia Barang/Jasa dalam pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa wajib memenuhi persyaratan tidak masuk dalam Daftar
Hitam. Dengan demikian secara hukum perikatan yang terjadi
bertentangan dengan peraturan yang berlaku, dalam hal ini Perpres 54/2010.
Posisi dilematis menghinggapi Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK). Karena bagi PPK mengulang proses lelang merugikan disisi waktu
dan sumber daya. Apalagi untuk kasus kedua barang telah diterima dan end
user telah mendapatkan pelatihan menggunakan barang. Artinya user telah
familiar atas barang/jasa yang diserahkan.
Solusi masalah ini tidak tercantum dalam petunjuk
pelaksanaan teknis, maupun dalam standar dokumen pengadaan yang ada. PPK berada
pada dua pilihan antara berhenti atau diteruskan. Direntang awal masa
pelaksanaan hingga akhir kontrak membawa resiko tersendiri bagi PPK. PPK diberi
mandat untuk melaksanakan pekerjaan dan menghasilkan output yang berpengaruh
pada pencapaian kegiatan dan program pembangunan. Disisi lain juga berhadapan
dengan resiko perdata karena telah mengikat perjanjian dengan penyedia dengan
segala konsekwensinya.
Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa perjanjian dinyatakan
sah apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat kumulatif, yaitu :
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (KUHPerd. 28, 1312 dst.)
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (KUHPerd. 1329 dst.)
- Suatu pokok persoalan tertentu; (KUHPerd. 1332 dst.)
- Suatu sebab yang tidak terlarang; (KUHPerd. 1335 dst.)
Untuk
syarat ke-4 diturunkan lagi melalui pasal 1335 s/d 1337. Pasal 1337
menjelaskan bahwa terlarang artinya jika sebab itu dilarang oleh
undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau
dengan ketertiban umum. Pasal ini kemudian merujuk pada pasal-pasal lain
diantaranya pasal 1254.
Pasal
1254 menyebutkan bahwa semua syarat yang bertujuan melakukan sesuatu yang
dilarang oleh undang-undang adalah batal dan mengakibatkan persetujuan yang
digantungkan padanya tak berlaku.
Agak
lebih dalam terkait posisi perjanjian saat terjadi pembatalan ada pada pasal
1265 bahwa suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan
perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah
tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan
perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah
diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
Kontrak
dinyatakan batal demi hukum apabila tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kepada
para pihak yang ternyata terbukti melanggar ketentuan dan prosedur pengadaan
barang/jasa terkait dengan pembatalan kontrak tersebut dikenakan sanksi
administrasi sebagaimana tercantum dalam pasal 118 ayat (7) huruf a. Pengenaaan
sanksi tersebut harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembayaran wajib dilakukan sesuai dengan progres pekerjaan yang telah
dilaksanakan oleh penyedia dan sesuai ketentuan didalam kontrak.
Bilamana
terjadinya pembatalan kontrak karena hal tersebut di atas, maka proses
pembayaran berpedoman pada bunyi kontrak. Untuk itu harus dilakukan audit
terlebih dahulu terhadap proses pengadaan barang/jasa sesuai dengan progres
pelaksanaan pekerjaan. Selanjutnya hasil audit tersebut dapat menjadi pedoman
bagi Pejabat Pembuat Komitmen/Pejabat lainnya yang berwenang dalam melakukan
proses selanjutnya.
Alternatif
Solusi
Dari
runtutan referensi KUHP Perdata tersebut dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut :
- Kontrak yang terjadi dengan penyedia yang ternyata masuk dalam daftar hitam segera batal sejak diketahuinya status penyedia. Ini karena melanggar syarat suatu sebab yang tidak terlarang. Pembatalan kontrak sangat berbeda dengan pemutusan kontrak seperti yang diatur dalam pasal 93 perpres 54/2010 dan seluruh perubahannya. Lengkapnya silakan baca artikel guskun.com.
- Pembatalan kontrak ini ditetapkan PPK sejak diketahui status daftar hitam penyedia.
- Pembatalan kontrak sesuai dengan pasal 1265 menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Artinya posisi dikembalikan ketitik awal sebelum ada perikatan. Untuk itu seluruh barang/jasa dikembalikan kepada penyedia. Namun apabila barang/jasa sudah terlanjur dimanfaatkan oleh pengguna maka pembayaran wajib dilakukan sesuai dengan progres pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh penyedia dan sesuai ketentuan didalam kontrak.
- Karena posisi dikembalikan pada posisi awal, penyedia tidak halal untuk mendapat keuntungan dari kontrak yang “tidak pernah ada”. Untuk itu, seperti tertuang dalam sistem konsultasi pengadaan LKPP, sebelum diambil langkah-langkah penyelesaian terlebih dahulu dilakukan audit terhadap proses pengadaan barang/jasa sesuai dengan progres pelaksanaan pekerjaan. Hasil audit menjadi pedoman bagi Pejabat Pembuat Komitmen/Pejabat lainnya yang berwenang dalam melakukan proses selanjutnya. Termasuk menentukan besaran pembayaran yang harus dilakukan.
- PPK melakukan klarifikasi kepada penyedia tentang status perjanjian dan seluruh konsekwensinya sesuai hasil audit. Hasil pertemuan dibuatkan berita acara.
- PPK membuat laporan kepada PA/KPA menjelaskan seluruh kronologi dilampiri berkas-berkas yang diperlukan. Termasuk rekomendasi keberatan kepada Kepala ULP atas proses evaluasi terkait status daftar hitam penyedia.
- PA/KPA menyampaikan surat kepada Kepala ULP untuk memberikan sanksi administratif sesuai yang diatur dalam pasal 118 ayat (7) huruf a kepada pihak yang terbukti melakukan kelalaian (apabila ada).
- Kepala ULP memberikan sanksi administrasi sebagaimana tercantum dalam pasal 118 ayat (7) huruf a. Pengenaaan sanksi tersebut harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tembusan kepada Kepala Daerah dan APIP.
Dari
solusi diatas dapat diambil simpulan, proses audit internal terhadap proses
yang terjadi menjadi titik kunci. Untuk itu, ketika terjadi kasus seperti ini,
PPK harus segera melakukan langkah pembatalan kontrak dan permohonan audit
kepada APIP atau auditor internal BPKP. Sehingga tidak terjadi kesalahan yang
berakibat pada kerugian negara.
Kemudian
disisi Pokja ULP agar cermat dalam melakukan evaluasi kualifikasi dengan
melakukan konfirmasi, klarifikasi dan verifikasi baik melalui sistem informasi
Daftar Hitam LKPP ataupun sumber lain.
Sumber : Samsulramli (Trainer Pengadaan
Barang/Jasa [ LKPP Certified (http://www.lkpp.go.id)], PNS Kabupaten Banjar.