"Menteri Keuangan berpendapat, kerahasiaan data merupakan hak asasi wajib
pajak. Sedangkan BPK berargumen publik punya hak asasi atas informasi
posisi keuangan negara. Pertempuran dua lembaga itu makin seru di
Mahkamah Konstitusi."
Undang-Undang
No. 28 Tahun 2007 tentang Tata Cara dan Ketentuan Umum Perpajakan (UU
KUP) menyisakan silang sengketa di antara dua lembaga. Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) sebagai lembaga tinggi negara merasa tugasnya dihalangi
pihak pemerintah, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam mengaudit data
pajak.
Uniknya,
kedua kubu sama-sama mengusung argumen demi hak asasi manusia (HAM).
Menkeu memandang data wajib pajak adalah rahasia. Setiap wajib pajak
punya hak asasi untuk dilindungi. Sedangkan kami menilai warga juga
punya hak asasi untuk mengetahui pengelolaan keuangan negara, tutur
Kepala Auditoriat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK Hendar
Ristriawan.
Hendar
mengantongi mandat Pasal 23 E UUD 1945. Hak asasi manusia adalah
kewajiban bagi negara. Dan BPK adalah lembaga negara yang berwenang
memeriksa setiap sen uang negara yang dikelola oleh pemerintah. Dalam
hal ini pendapatan pajak. Hendar mengeluh, Menteri Keuangan masih pelit memberikan izin auditor BPK memeriksa data pajak. Beberapa waktu lalu BPK mengajukan uji materi atas UU KUP ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua
Umum Ikatan Akuntan Indonesia Ahmadi Hadibroto menginginkan adanya
jalan keluar dari silang sengketa ini. Kewajiban merahasiakan data wajib
pajak itu mutlak. Tapi ketentuan kerahasiaan itu harus jangan
mengorbankan hak masyarakat untuk memperoleh informasi keuangan negara,
ujarnya. Kali ini Ahmadi, yang juga akuntan dari Kantor Akuntan Publik
KPMG Hadibroto itu berpendapat sebagai pribadi.
Sebenarnya
BPK dan DJP sempat merintis nota kesepahaman (MoU) untuk meredakan
permusuhan ini. Sayang, dengan makin meruncingnya friksi, BPK menghentikan MoU tersebut.
MoU toh tak bisa membatalkan pasal sebuah undang-undang. Sebuah
peraturan pemerintah pun tak boleh menyalahi UU-nya, kilah Hendar.
Laporan Keuangan vs Kinerja
BPK
mengenal tiga jenis audit. Pertama, audit laporan keuangan. Kedua,
audit kinerja. Dan ketiga, audit dengan tujuan tertentu alias
investigatif. Untuk masalah data pajak ini, BPK berencana menggelar dua
jenis audit yang pertama.
Audit
laporan keuangan berarti pemeriksaan neraca yang disusun oleh
pemerintah. Kita audit piutang pajaknya, tutur Hendar. Dengan demikian,
BPK hendak mengulik data-data seputar Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT),
keterangan kurang bayar, maupun keterangan lebih bayar.
Menurut
Hendar, kegiatan audit ini bukanlah sensus yang harus mengobok-obok
seluruh berkas yang ada. Tak mungkin kami sanggup melakukannya. Kami
hanya ambil sampel. Dan seberapa banyak data yang kami ambil, tergantung
pada keandalan sistem informasi internal DJP. Dengan demikian, sambung
Hendar, ketakutan wajib pajak datanya digembol oleh auditor BPK tak beralasan.
Lagipula,
BPK hanya memeriksa kecocokan data yang ada dalam SPT dengan pencatatan
dalam neraca. Kami tak mau terlalu jauh menelusuri, misalnya
penggelapan pajak oleh salah satu wajib pajak. Itu bukan kewenangan
kami, sambung Hendar.
BPK menggelar audit kinerja (performance audit)
untuk memeriksa kinerja pasukan petugas pajak. Mayoritas, lebih dari 80
persen pendapatan negara berasal dari pajak. Aneh kalau pemerintah
tidak terbuka, ujar ahli hukum keuangan negara dari Universitas
Indonesia Arifin Soeriaatmadja.
Arifin
menduga, ketentuan kerahasiaan dalam UU KUP ini disalahgunakan oleh
para petugas pajak yang doyan kongkalikong dengan wajib pajak. Sudah
rahasia umum. UU ini dipakai untuk berlindung oleh para petugas pajak
dan wajib pajak untuk melanggengkan praktek yang tidak benar, Katanya.
Cuma, untuk audit kinerja ini, Ahmadi merasa kurang yakin pada kemampuan BPK. Setidaknya bisa dibuat joint committee.
Tak hanya dari BPK. Karena belum tentu BPK sendirian melakukan audit
kinerja, hasilnya berkualitas. Audit yang satu ini harus hati-hati.
Arifin pun menyepakati pandangan Ahmadi ini.
Berkaitan
dengan seberapa jauh kewenangan masing-masing lembaga, Hendar
mempersilakan DJP membuat tata cara pengambilan data demi menjaga
kerahasiaan. Misalnya, pertama, auditor BPK hanya memeriksa data di
ruang tertutup. Kedua, data yang diperiksa tak boleh dibawa keluar
ruang. Setelah memeriksa, auditor kami mengembalikannya ke DJP,
Tuturnya.
Menurut
Hendar, kekhawatiran wajib pajak datanya disalahgunakan oleh BPK adalah
omong kosong. Auditor harus memegang kode etik yang ketat. Setiap
auditor dan bahkan anggota BPK yang menyalahgunakan wewenangnya bisa
dikenai sanksi pidana satu hingga tiga tahun dan denda Rp1-3 miliar,
Tegasnya.
Sidang Judicial Review
Hendar
mengungkapkan, Rabu (27/2) merupakan sidang lanjutan uji materi UU KUP.
Kali ini para hakim konstitusi mendengarkan kesaksian para saksi ahli
dari dua kubu. Para
hakim menyarankan dua pihak jangan banyak-banyak mengusung saksi. Besok
(26/2) intern BPK rapat dan memutuskan siapa saja yang kompeten menjadi
saksi ahli, jabar Hendar.
Arifin
berpendapat Pasal 74 UU KUP memang harus diubah. BPK, berdasarkan Pasal
23 E UUD 1945, memang punya kewenangan untuk memeriksa pengelolaan
keuangan negara. BPK adalah lembaga tinggi negara. Negara bisa jadi
subyek hukum. Dan pemerintah bukan subjek hukum. Makanya pemerintah
harusnya terbuka pada akses pemeriksaan. Arifin mengusulkan rumusan yang
lebih detil data mana saja yang dirahasiakan serta mana saja yang boleh
dijamah BPK.