JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti Hukum Transparency
International Indonesia (TII), Reza Syawawi, mengungkapkan, permintaan
audit kinerja KPK oleh DPR mengandung keganjilan. TII menduga permintaan
audit tersebut tak berkaitan dengan keuangan dan kinerja.
"Jadi, harus ada batasan tujuannya agar jangan sampai audit ini untuk menjustifikasi keinginan DPR merevisi UU KPK," ujar Reza di Kantor TII, Jakarta, Minggu (30/9/2012).
Reza
menambahkan, audit BPK terhadap KPK tidak dapat dilakukan untuk
mengintervensi penegakan hukum yang dilakukan KPK. Audit tidak dapat
dilakukan dalam konteks memeriksa materi penyidikan KPK yang bersifat
rahasia.
Selain itu, Reza menegaskan, audit terhadap KPK tidak
dapat menjadi hal yang dipaksakan oleh DPR. Para anggota Dewan, yang
kehabisan argumen untuk melakukan revisi UU KPK, tak boleh meminta BPK
melakukan audit dengan tujuan mempreteli kewenangan KPK.
Sementara
itu, peneliti bidang korupsi politik Indonesian Corruption Watch (ICW),
Apung Widadi, berpendapat, permintaan audit tersebut tidak wajar. DPR
berupaya mencari-cari kesalahan KPK. Audit kinerja KPK, ungkap Apung,
adalah laporan penanganan kasus korupsi sampai eksekusi koruptor.
Hal tersebut, kata Apung, telah diuraikan secara rinci oleh KPK dalam laman situs lembaga antikorupsi tersebut.
"Kalau mau melihat kinerja KPK, DPR sebenarnya dapat men-download rincian kinerja di website KPK.
Menurut saya, DPR sebaiknya lebih baik berkaca karena DPR lebih banyak
korupsinya. Seharusnya yang diaudit BPK itu DPR, bukan KPK," papar
Apung.