IconIconIconIcon


Kamis, 21 Februari 2013

Kesulitan Menilai Kinerja

Penilaian kinerja pejabat publik, terlebih setingkat menteri bukan persoalan gampang. Pada akhirnya, reshuffle menjadi lebih bersifat politis daripada kinerja publik.

Sejak 1970-an, publik di negara maju mulai mempertanyakan efektivitas sektor pemerintahannya. Negara-negara yang bergabung dalam OECD sejak 1980-an mulai bergeser ke new public management di mana salah satu komponennya adalah pengukuran kinerja yang lebih transparan.Adanya perkembangan teknologi informasi juga menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap kinerja pemerintahannya.
Mengutip pendapat ahli dari Birmingham University, Profesor Rowan Jones,pengukuran kinerja di sektor publik jauh lebih kompleks dibandingkan sektor bisnis yang berbasis uang.Pengukuran nilai tambah berupa perbedaan harga barang yang dibayar oleh masyarakat dan biaya untuk memproduksi barang sulit diterapkan di sektor pemerintahan. Satu-satunya elemen dalam sektor pemerintahan yang bisa diukur dengan nilai uang adalah input.Misalnya jumlah anggaran yang terserap, terlepas dari efektivitas dan efisiensi penggunaannya.

Sedangkan output masih bisa diukur tapi tidak bisa menggunakan nilai uang, misalnya jumlah anak yang lulus ujian nasional, jumlah gedung yang dibangun. Sedangkan outcome, merupakan sesuatu yang abstrak dan kompleks, pengukurannya harus menggunakan survei, atau wawancara terlebih dahulu.

Pengukuran efisiensi di instansi pemerintah juga sukar dilakukan akibat tidak bisa dibandingkannya secara langsung output dengan input, peningkatan produk pertanian dibanding anggarannya dan jumlah lapangan kerja yang berhasil diciptakan oleh menteri perekonomian. Terlebih lagi kalau ditanyakan, misalnya ekonomi Indonesia membaik, benarkah itu usaha sebuah departemen, atau rakyat sendiri secara otonom menciptakan usaha ekonomi?

Pengalaman Negara Maju

Sejak akhir 1990-an, pemerintah Inggris mulai menerapkan Public Service Agreement (PSA).PSA tersebut ditandatangani antara menteri berisi target nasional di berbagai bidang yang sejauh mungkin bisa diukur dengan objektif dan bisa diakses oleh masyarakat. Audit kinerja para menteri di Inggris dilakukan oleh National Audit Office (NAO) semacam BPK-nya Inggris. Untukmeningkatkanobjektivitas penilaian kinerja, indikator yang dipilih cenderung dipersempit dan lebih bersifat teknis sehingga penilaian yang bersifat kualitatif bisa dihindari.

Untuk bisa menjalankan PSA tersebut, kiranya perlu dibentuk sebuah tim audit yang kuat. Di Indonesia, apabila BPK––yang selama ini mengurusi audit keuangan, diberi wewenang mengaudit kinerja para menteri berarti BPK harus lebih netral, profesional, dan independen.Tantangan untuk melaporkan kinerja menteri cukup berat.Auditor bisa ciut nyali ketika memberikan opini buruk tentang kinerja menteri, meskipun sudah berbasis PSA yang terukur dan nonkualitatif.

Kedua, persinggungan ke masalah politis akan sangat kuat manakala masalah kinerja tersebut menyangkut informasi yang sensitif atau departemen yang cukup kuat dalam kekuasaan. Posisi BPK akan sangat dilematis, misalnya siapakah yang paling pas dalam memberi mandat mengaudit kinerja para menteri presiden atau parlemen sebagai manifestasi dari rakyat yang mempertanyakan kinerja pemerintahannya. Dalam sistem presidensial, memang presidenlah yang harus bertanya tentang kinerja para pembantunya.Namun kriteria obyektif dan independen tetap diperlukan sebagaimana harapan masyarakat, supaya reshuffle bukan hanya untuk tujuan politis, terlebih untuk membelokkan berita dan isu yang sedang kurang menguntungkan bagi kabinet.

Short Cut

Adanya PSA di satu sisi akan meningkatkan transparansi pengukuran kinerja dan menghindari subjektivitas pengukuran kinerja. Akan tetapi, publik harus tetap waspada karena menteri atau departemen bisa melakukan short cut untuk memenuhi target sebagaimana disepakati dalam PSA. Selain itu,para menteri bisa jadi hanya akan fokus bekerja pada pencapaian target sesuai dengan yang disebutkan dalam PSA.

Jika para menteri melakukannya, bisa jadi perilaku menyimpang para menteri akan menjadi kenyataan, misalnya memanipulasi data-data kinerjanya ataupun memanipulasi input yang menjadi dasar penilaian kinerjanya. Terbatasnya indikator yang disebutkan dalam PSA, tentunya tidak akan bisa memenuhi keinginan semua pihak.Kutub rakyat dan pemerintah pasti akan saling bertolak belakang, misal rakyat ingin pendidikan yang berkualitas yang disimbolkan dengan rasio guru dengan murid yang ideal.Akan tetapi, terbatasnya jumlah anggaran memaksa sekolah-sekolah menyelenggarakan pendidikan tanpa mempertimbangkan rasio guru dengan murid.

Belum lagi apabila berpikir untuk seluruhnya baik institusi di sekolah negeri dan swasta di mana mayoritas mahasiswa berada. Meskipun berbagai kekhawatiran kelemahan penggunaan PSA muncul, setidaknya presiden dan masyarakat bisa membuat keputusan yang lebih reliable dan objektif terkait dengan reshufflepara menteri.

Penggunaan PSA selama hampir 12 tahun di negara maju membuktikan bahwa konsep ini cukup teruji diterapkan di dunia pemerintahan. Para menteri harus bekerja ekstrakeras untuk mewujudkan PSA karena belum tentu elemen-elemen di bawah, memahami dan berkomitmen seperti yang dilakukan oleh menteri tersebut.●

PROF BAMBANG SETIAJI
Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta
&
IBRAHIM FW
Alumni University of Birmingham, Dosen Universitas Sebelas Maret


Postingan Populer

Arsip Blog