IconIconIconIcon


Rabu, 17 April 2013

Penganggaran Berbasis Kinerja Pada Kementerian/Lembaga : Masih Harus Banyak Berbenah

"...Ketiadaan standar biaya mengakibatkan penyusunan anggaran per program dan kegiatan menjadi beragam sehingga sulit diukur efisiensinya..."

Penerapan anggaran berbasis kinerja pada instansi pemerintah di Indonesia sudah dicanangkan melalui pemberlakuan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan diterapkan secara bertahap mulai tahun anggaran 2005. Pemerintah pun telah mengeluarkan PP No 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan PP No 21/2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) sebagai operasionalisasi kebijakan penganggaran kinerja. Bahkan, Departemen Keuangan telah mengatur lebih rinci penerapan penganggaran kinerja dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 54/PMK.02/2005 dan membangun aplikasi program komputer RKA-KL.
Memang, kementerian/lembaga sudah menggunakan aplikasi program tersebut dalam penyusunan anggaran mulai tahun anggaran 2005. Tetapi, apakah kinerja benar-benar telah menjadi basis dalam penyusunan anggaran dengan format RKA-KL tersebut? Rasanya masih jauh dari harapan. Saat ini, format RKA-KL baru sekadar menempelkan nama program, kegiatan dan sub kegiatan dalam dokumen anggaran, namun substansi ukuran kinerjanya belum nampak dan proses penyusunannya belum sesuai dengan prinsip-prinsip penganggaran kinerja. Bahkan, banyak kementrian/lembaga yang mengeluh bahwa anggaran kinerja cenderung njelimet dan tidak fleksibel yang terkadang menghambat kelancaran proses pencairan anggaran. Hal ini sangat jauh dari esensi anggaran kinerja yang mengaitkan kinerja dengan anggaran, menjanjikan fleksibilitas dalam pelaksanaan anggaran, memberikan kebebasan dalam mengelola sumber daya (let’s the managers manage), dan memiliki mekanisme pelaporan yang dapat memberikan umpan balik untuk peningkatan kinerja. Kalau demikian, apa yang salah dengan penganggaran kinerja pada kementerian/lembaga?
MASIH BANYAK KELEMAHAN
Anggaran berbasis kinerja merupakan sistem perencanaan, penganggaran dan evaluasi yang menekankan pada keterkaitan antara anggaran dengan hasil yang diinginkan. Penerapan penganggaran kinerja harus dimulai dengan perencanaan kinerja, baik pada level nasional (pemerintah) maupun level instansi (kementerian/lembaga), yang berisi komitmen tentang kinerja yang akan dihasilkan, yang dijabarkan dalam program-program dan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Setiap instansi selanjutnya menyusun kebutuhan anggaran berdasarkan program dan kegiatan yang direncanakan dengan format RKA-KL, yang selanjutnya dibahas dengan otoritas anggaran (Departemen Keuangan, Bappenas, dan DPR). RKA-KL dari keseluruhan kementerian/lembaga menjadi bahan penyusunan RAPBN bagi pemerintah.

Dalam praktik, masih banyak dijumpai kelemahan sejak perencanaan kinerja, proses penyusunan dan pembahasan anggaran sampai dengan penuangannya dalam format-format dokumen anggaran (RKA-KL dan APBN). Meski pemerintah telah memiliki RKP, namun RKP ini hanya merupakan kompilasi berbagai usulan program kementrian/lembaga dengan indikator yang juga beragam yang menjadikan Bappenas mengalami kesulitan untuk merumuskan indikator kinerja nasional. Jangan berharap di dalam RKP dapat dijumpai dengan jelas apa kinerja yang spesifik dan terukur yang akan dihasilkan dari program-program pemerintah, siapa saja instansi yang bertanggung jawab dan bagaimana kontribusi masing-masing instansi untuk mewujudkan kinerja. Kalaupun dalam RKP tercantum sasaran kinerja program, biasanya dirumuskan dalam bahasa ‘langit’ yang muluk-muluk, tidak jelas bagaimana mengukurnya dan berapa target yang harus dicapai. Misalnya, sasaran Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara yang dirumuskan dalam RKP adalah terwujudnya sistem pengawasan dan audit yang akuntabel di lingkungan aparatur negara. Apa kriteria akuntabel, bagaimana mengukur serta berapa targetnya tidak jelas. Ketidakjelasan perencanaan kinerja pada level nasional berlanjut pada ketidakjelasan rencana kinerja (Renja) masing-masing kementrian/lembaga. Penamaan program dan kegiatan instansi juga belum menunjukkan core business dari kementerian/lembaga karena masih banyak terpengaruh oleh penamaan program dan proyek versi lama atau versi Daftar Isian Proyek (DIP). Banyak nama program yang bersifat generik seperti Program Peningkatan Sarana dan Prasarana, Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur, serta Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan, yang terdapat pada hampir seluruh instansi. Untuk program yang sama, tiap instansi mendefinisikan sendiri-sendiri apa sasaran programnya, yang kemungkinan besar berbeda-beda yang pada akhirnya menyulitkan pendefinisian ukuran kinerja nasional untuk program tersebut. Program-progran pemerintah dan program-program masing-masing kementerian/lembaga belum terstruktur dengan baik sehingga sulit dipetakan keterkaitannya.

Dari sisi proses penyusunan anggaran, formulir-formulir RKA-KL (formulir 1.1 s.d formulir 3.4), ternyata tidak mendorong kementerian/lembaga untuk menyatakan kinerjanya, baik kinerja hasil (outcome) program maupun keluaran (output) kegiatan. Formulir-formulir RKA-KL justru mengharuskan kementerian/lembaga melakukan perhitungan detil anggaran per kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja, dan mata anggaran yang akhirnya berdampak pada penganggaran yang sangat rinci dan kaku (rigid). Informasi mengenai hasil program dan keluaran kegiatan sangat minim dalam formulir RKA-KL, apalagi mengenai targetnya. Dalam formulir 1.1, definisi indikator hasil program hanya dinyatakan secara naratif dan kualitatif (tanpa target), sementara indikator keluaran untuk kegiatan tidak ada. Yang muncul adalah satuan-satuan keluaran secara rinci per sub-sub kegiatan , misalnya untuk perjalanan dinas dengan ‘Orang Hari (OH)’, untuk pengadaan barang dengan satuan ‘paket’, untuk penyelenggaraan rapat dengan satuan ‘kali’ dan sebagainya. Sedangkan dalam formulir 1.5 kementerian/lembaga diminta membuat perhitungan anggaran per kegiatan seperti mengisi Lembaran Kerja pada masa lalu yang masih berorientasi kepada input, terinci per sub kegiatan, jenis belanja dan mata anggaran dengan mengalikan volume kegiatan dengan harga satuannya. Jadilah RKA-KL sebagai dokumen yang berisi deretan angka-angka perhitungan aritmatis anggaran. Dari format RKA-KL nyaris tidak terbaca kinerja apa yang akan dihasilkan dari penggunaan anggaran untuk program dan kegiatan yang diusulkan. Rasanya sangat sulit untuk mengharapkan adanya indikator yang memenuhi kriteria SMART (spesific, measurable, achievable, relevan & time-bound) dalam anggaran (RKA-KL), bila tidak dilakukan perubahan pola perencanaan kinerja dan penyempurnaan format RKA-KL.

Kondisi ini juga diperparah dengan belum adanya standar biaya (SB) dan standar pelayanan minimal (SPM). PP No. 21/2004 mensyaratkan perlunya standar biaya dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja, baik standar biaya umum yang harus disusun oleh Menteri Keuangan maupun standar biaya khusus per program dan kegiatan yang harus disusun oleh masing-masing kementerian/lembaga. Standar biaya umum yang ada sekarang masih berorientasi kepada input, misalnya uang lauk pauk per orang per hari, honor panitia pengadaan per orang/bulan, pengadaan inventaris kantor per orang/tahun. Sebagian besar kementerian/lembaga masih mengalami kesulitan dalam menyusun harga standar biaya khusus per kegiatan dan program, karena tidak didukung oleh data base, sistem akuntansi dan pencatatan yang baik. Ketiadaan standar biaya mengakibatkan penyusunan anggaran per program dan kegiatan menjadi beragam sehingga sulit diukur efisiensinya. Terkait dengan standar pelayanan minimal, saat ini baru tujuh departemen yang memilikinya, yaitu Departemen Pendidikan Nasional, Kesehatan, Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan, Perhubungan, Koperasi/UKM, dan Pemberdayaan Perempuan. Padahal standar pelayanan minimal seharusnya menjadi acuan awal dalam menentukan kinerja yang harus dihasilkan.

Yang lebih menyedihkan lagi, kinerja belum dijadikan dasar alokasi dan acuan pembahasan anggaran di pemerintah maupun DPR. Pola pembahasan masih menggunakan pola lama, dengan penentuan alokasi lebih banyak didasarkan pada alokasi tahun sebelumnya. Belum banyak anggota DPR yang concern dengan anggaran kinerja dan mempertanyakan masalah kinerja pada saat membahas anggaran. Hal ini sebagian karena keterbatasan kemampuan anggota DPR dan sebagian karena adanya ketimpangan informasi (asymmetry information). Ketimpangan informasi selain terjadi karena data perencanaan kinerja (Renja) dan pelaporan kinerja (LAKIP) tidak sampai ke tangan DPR, juga karena format RKA-KL yang dibahas dengan DPR tidak mampu berbicara mengenai kinerja yang akan dihasilkan. Dari perencanaan kinerja yang tidak jelas, kemudian ditambah penyusunan RKA-KL dan pembahasan anggaran yang belum mengacu kepada kinerja, dapat dibayangkan apa yang tertuang dalam dokumen anggaran nasional (APBN) dan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). Struktur APBN tahun 2005 dan 2006 tidak berbeda dengan struktur sebelumnya yang disusun berdasarkan penganggaran line item, yaitu dirinci berdasarkan pendapatan, pengeluaran, dan pembiayaan anggaran. Pengeluaran dirinci atas dasar klasifikasi organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Sama sekali tidak tercantum informasi mengenai indikator dan target kinerja per program.
PENGALAMAN NEGARA LAIN
Reformasi menuju penganggaran yang berorientasi kepada hasil sudah menjadi tren perkembangan di banyak negara sejalan dengan perkembangan budaya pemerintahan yang muncul pada dua puluh tahun terakhir, yaitu budaya manajemen publik baru (the new public management) atau mewirausahakan pemerintah (reinventing government) yang berorientasi kepada hasil, pelayanan publik, dan akuntabilitas.

Penerapan penganggaran kinerja dimulai dari Australia dan New Zealand pada akhir tahun 1980-an, diikuti oleh Canada, Denmark, Finlandia, Perancis, Belanda, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat pada awal sampai pertengahan tahun 1990-an. Selanjutnya pada akhir tahun 1990-an sampai dengan awal tahun 2000-an diterapkan di Austria, Jerman, dan Switzerland. Cara yang digunakan dalam penganggaran kinerja di antara negara-negara tersebut ternyata berbeda-beda. Amerika Serikat dan beberapa negara mengembangkan perencanaan stratejik dan perencanaan kinerja yang berisi target-target kinerja. Negara lain seperti Canada dan Inggris menggunakan kontrak kinerja (performance contract) antara menteri dengan instansi di bawahnya. Dalam upaya mengaitkan kinerja dengan anggaran, Australia mengintegrasikan data kinerja dalam dokumen utama anggarannya. Perancis menyajikan informasi pemetaan kinerja dan keterkaitan outcome dengan output sebagai lampiran dokumen utama anggaran. Sementara Canada, Inggris, dan Amerika menggunakan dokumen kinerja yang terpisah dengan dokumen anggaran. Meskipun sebagian besar negara-negara tersebut telah memasukkan informasi non keuangan dalam dokumen anggarannya, kenyataannya hanya sedikit yang benar-benar melaksanakan anggaran kinerja dalam arti mengaitkan pengeluaran dengan hasil, melaporkan kinerja atas target-target tersebut dan menggunakan informasi kinerja untuk pengambilan keputusan alokasi anggaran pada masa mendatang, seperti Australia dan New Zealand. Beberapa negara masih menghadapi kendala dalam mengintegrasikan kinerja dalam dokumen anggaran, seperti Canada, Inggris, dan Amerika. Perubahan menuju penganggaran kinerja memang merupakan proses yang kompleks karena berkaitan dengan perubahan yang fundamental baik dalam sistem, manajemen maupun perilaku manusianya. Selain itu, penganggaran kinerja membutuhkan dukungan sistem manajemen kinerja, sistem akuntansi pemerintahan, dan perhitungan biaya.

Negara yang terbilang paling maju dalam penganggaran kinerja adalah Australia, karena telah mengintegrasikan sistem akuntansi dengan sistem penganggarannya dan merestuktrukrisasi keduanya dengan berorientasi kepada outcome. Dalam merencanakan kinerjanya, Australia mengembangkan outcomes-outputs approach di mana pemerintah menetapkan prioritas dan platform kebijakannya, yang selanjutnya menjadi rujukan bagi menteri untuk merumuskan outcome dan bagi unit kerja di bawahnya mengembangkan output untuk mendukung outcome tersebut. Banyak unit kerja yang menggunakan pendekatan balance scorecard dalam merumuskan outcome/output-nya. Agar tercapai keselarasan kebijakan dengan outcome/output yang akan dihasilkan, penyusunan Government Outcome Statement dan Agency Output dilakukan dengan konsultasi secara ekstensif dengan berbagai pihak terkait, seperti stakeholders dan grup pelanggan. Keterkaitan output unit kerja dengan outcome Menteri tergambar dengan jelas dan terpetakan/terstruktur dengan baik dengan indikator yang spesifik dan terukur. Pembahasan anggaran di parlemen dilakukan dengan mempertimbangkan kinerja yang ditargetkan. Apropriasi anggaran didasarkan pada outcome yang dihasilkan. Dalam dokumen anggarannya (Portfolio Budget Statement) tergambar secara jelas alokasi anggaran per outcome dan output. Informasi mengenai kinerja berupa definisi indikator, target, serta cara mengukur kinerja outcome dan output diuraikan secara lengkap dalam dokumen anggaran tersebut. Outcome diukur dengan menggunakan ukuran efektivitas, yaitu dengan melihat seberapa jauh program yang dilakukan dapat mencapai sasaran dalam arti memenuhi harapan/memuaskan kepentingan masyarakat/stakeholders. Sedangkan output diukur dari tiga hal, yaitu kuantitas, kualitas, dan harganya.

Sebagai ilustrasi, Australian National Audit Office (ANAO) memiliki dua outcome yaitu (1) memperbaiki administrasi publik dan (2) memberikan assurance atas laporan keuangan, pengendalian dan akuntabilitas sektor publik. Outcome tersebut diukur dengan menilai seberapa besar pengakuan parlemen atas nilai kontribusi ANAO, pengakuan entitas sektor publik atas nilai tambah yang diberikan oleh produk dan jasa ANAO serta tingkat kepuasan atas kualitas, ketepatan waktu dan cakupan produk dan jasa ANAO. Capaian kinerja tersebut diukur melalui analisis atas sejumlah pertanyaan (survai) yang dilakukan terhadap parlemen maupun klien auditnya. Sedangkan, untuk mengukur output, misalnya untuk kegiatan jasa audit tidak sekedar diukur dengan berapa jumlah opini audit yang diterbitkan, namun juga diukur kualitas (ketepatan waktu dan kesesuaian dengan standar audit) dan harganya. Setelah tahun anggaran berakhir, dibuat annual report yang selain melaporkan realisasi penggunaan anggaran per outcome dan output, juga melaporkan realisasi capaian kinerja per outcome atau output tersebut. Secara periodik dilakukan reviu atas struktur outcome-output khususnya apabila terjadi perubahan pemerintahan, ada kebijakan baru atau perubahan kondisi ekonomi. Selain itu, juga dilakukan pricing review dengan metode activity based costing, market testing dan benchmarking untuk memastikan bahwa harga produk atau jasa yang dilakukan instansi pemerintah adalah harga yang kompetitif.
PEMBENAHAN YANG HARUS DILAKUKAN
Menerapkan penganggaran berbasis kinerja memang tidak semudah membalik telapak tangan, karena butuh proses dan upaya serius dari berbagai pihak terkait, khususnya kementerian/lembaga dan otoritas anggaran. Sebagai hal yang baru diterapkan di kementerian/lembaga, sangat wajar kalau masih ada kelemahan. Yang paling penting adalah upaya untuk terus berbenah agar penganggaran kinerja tidak melenceng dari filosofi dan tujuannya. Pengalaman negara lain yang sudah berhasil menerapkan anggaran kinerja, misalnya Australia, dapat menjadi contoh pengembangan di Indonesia. Banyak aspek yang perlu dibenahi dalam penganggaran kinerja pada kementerian/lembaga, yaitu mencakup perencanaan kinerja, proses penyusunan dan pembahasan anggaran, format-format dokumen anggaran, sampai dengan pelaporannya. Terkait dengan perencanaan kinerja, Bappenas, Departemen Keuangan dan kementerian/lembaga perlu merestrukturisasi dan memetakan penamaan program dan kegiatan dalam RKP, Renja dan RKA-KL sehingga pendefinisian program lebih mencerminkan outcome pemerintah yang dapat dinikmati masyarakat dan berisi program-program yang menjadi core business masing-masing kementerian/lembaga. Keterkaitan antara output kegiatan dan outcome program harus tergambar dengan jelas. Oleh karena itu, Bappenas bersama-sama dengan kementerian/lembaga perlu menyiapkan tolok ukur kinerja untuk setiap instansi pemerintah yang menjadi ukuran keberhasilan instansi tersebut. Selain itu, Bappenas perlu meningkatkan kemampuan menyeleksi kebijakan, program, dan kegiatan yang diajukan kementerian/lembaga dengan acuan prioritas program-program pemerintah. Dalam mendukung proses penyusunan anggaran, Departemen Keuangan perlu menyusun standar biaya umum yang lebih berorientasi ke output/outcome. Masing-masing instansi juga didorong untuk menyusun Harga Standar Biaya Khusus per kegiatan dan program. Penyusunan standar biaya tersebut dilakukan dengan suatu studi/penelitian selama beberapa tahun atau menggunakan benchmark yang cocok. Sedangkan dalam melakukan pembahasan dan alokasi anggaran, DPR mempergunakan data kinerja sebagai acuan. Untuk itu, data perencanaan kinerja (Renja) dan pelaporan kinerja (LAKIP) semestinya juga disampaikan kepada DPR agar menjadi referensi dalam pembahasan anggaran.

Selanjutnya, format dokumen anggaran (RKA-KL dan APBN) perlu disempurnakan. Departemen Keuangan perlu menyederhanakan formulir RKA-KL agar tidak perlu detil sampai dengan sub kegiatan tetapi cukup sampai dengan program dan kegiatan saja dan difokuskan pada hal-hal strategis yang merupakan layanan instansi pemerintah kepada masyarakatnya. Selain itu, format RKA-KL perlu disempurnakan dengan menambahkan kolom yang berisi informasi tentang hasil program dan output kegiatan secara lebih jelas dan terukur. Apabila RKA-KL telah disempurnakan, maka diharapkan APBN dapat menampilkan informasi tentang indikator dan target kinerja atas program-program pemerintah. Selain itu, format RKA-KL perlu disempurnakan dengan menambahkan kolom yang berisi informasi tentang hasil program dan output kegiatan secara lebih jelas dan terukur. Apabila RKA-KL telah disempurnakan, maka diharapkan APBN dapat menampilkan informasi tentang indikator dan target kinerja atas program-program pemerintah.

Format dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) perlu diatur ulang agar tidak sampai rinci ke pengendalian input (ke mata anggaran pengeluaran), tetapi lebih fokus ke pengendalian atas kinerja yang dihasilkan (output) dan manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat/stakeholders (outcome). Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa penganggaran kinerja tidak boleh berhenti hanya sampai penyusunannya, namun harus diatur mekanisme pelaporannya agar dapat memberikan umpan balik untuk peningkatan kinerja. Untuk itu, Departemen Keuangan bersama-sama dengan Bappenas, LAN, dan Menpan juga perlu mendisain pelaporan realisasi anggaran berbasis kinerja yang mengintegrasikan laporan kinerja dan anggaran, seperti yang dilakukan Australia dengan Annual Report nya.

Penulis adalah Auditor Ahli Muda pada Biro Perencanaan Pengawasan BPKP
(diposting dari http://www.bpkp.go.id/warta/index.php?view=688)


Postingan Populer

Arsip Blog