Pengelolaan hibah memang memiliki karakteristik
yang unik. Sifat hibah yang seperti ‘hadiah’ ini memang sering membuat pihak
penerima hibah terlena. Penerima hibah sering berfikir, “inikan hadiah,
pengelolaannya ya terserah yang menerima.. wong yang ngasih aja enggak nuntut
macem-macem”. Pemikiran inilah yang membuat penerima hibah sering kali lalai
dalam pengelolaannya. Padahal, Pemerintah telah menetapkan aturan tersendiri
mengenai hal tersebut.
Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
tahun 2010 memberi catatan terhadap pengelolaan hibah (grant) pada beberapa Kementerian/Lembaga(K/L).
Hasil pemeriksaan menyebutkan terdapat penerimaan hibah minimal sebesar Rp
868,43 milliar pada 18 K/L yang belum dilaporkan kepada Bendahara Umum Negara
(BUN) dan dikelola di luar mekanisme APBN. Hasil evaluasi atas pengelolaan
hibah yang dilakukan BPKP pada tahun 2009 menginformasikan kondisi yang sama.
Hibah merupakan penerimaan
Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang, jasa, dan atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi
hibah tanpa perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam atau luar negeri.
Atas penerimaan hibah tersebut, K/L dapat memanfaatkan secara langsung untuk
mendukung tugas dan fungsi K/L, atau diserahkan kepada masyarakat, atau
diteruskan kepada Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD. Terdapat dua jenis hibah
yaitu Hibah terencana dan Hibah Langsung. Hasil pemeriksaan BPK-RI dan evaluasi
BPKP menunjukkan masih banyak pengelola hibah yang belum mengelola hibah sesuai
aturan yang berlaku. Pada saat ini masih dijumpai pihak pemberi hibah,khususnya
hibah yang tidak direncanakan atau hibah langsung, melakukan komunikasi dan
negosiasi secara langsung dengan K/L penerima tanpa melalui Bappenas dan
Kementerian Keuangan. Misalnya, pada saat terjadinya bencana tsunami di Aceh
dan Sumatera Utara, banyak pemberi bantuan melakukan komunikasi langsung dengan
instansi yang dituju.
Contoh lain, sebuah yayasan di Saudi
Arabia memberikan bantuan berupa bahan pustaka kepada perpustakaan sebuah instansi
pemerintah. Pada kedua kondisi tersebut, pihak Bappenas dan Kementerian
Keuangan tidak dilibatkan sama sekali. Dengan demikian hibah tersebut tidak
teradministrasikan sebagaimana mestinya. Akibatnya, nilai neraca Pemerintah
menjadi ‘understate ’.
Kondisi inilah yang
menjadi salah satu catatan BPK RI hingga memperoleh opini ‘Wajar Dengan Pengecualian’ pada
LKPP tahun 2010. Menyikapi kondisi tersebut, Menteri Keuangan telah meminta
BPKP untuk melakukan upaya yang diharapkan menjadi solusi melalui peningkatan
peran APIP. Sejalan dengan permintaan tersebut, BPKP menyusun Pedoman
Akuntabilitas Pengelolaan Hibah yang diharapkan dapat menambah pemahaman seluruh
APIP K/L tentang permasalahan di seputar pengelolaan hibah. Selanjutnya hal
tersebut diharapkan berdampak pada peningkatan kualitas penyajian laporan
keuangan kementerian/lembaga yang lebih baik dan wajar.
Pada pedoman disebutkan setidaknya
ada tiga kegiatan pokok yang harus segera dilakukan oleh APIP,yaitu:
1) Memastikan bahwa K/L memiliki Standar
Operating Procedure (SOP) yang mengatur pengelolaan hibah.
2) Melakukan inventarisasi awal
hibah yang ada pada Kementarian/Lembaga masing-masing, baik hibah direncanakan
maupun hibah langsung.
3) Reviu Laporan Keuangan secara
periodik.
(WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011)