IconIconIconIcon


Rabu, 17 April 2013

Persoalan Seputar Hibah Langsung

Pengelolaan hibah memang memiliki karakteristik yang unik. Sifat hibah yang seperti ‘hadiah’ ini memang sering membuat pihak penerima hibah terlena. Penerima hibah sering berfikir, “inikan hadiah, pengelolaannya ya terserah yang menerima.. wong yang ngasih aja enggak nuntut macem-macem”. Pemikiran inilah yang membuat penerima hibah sering kali lalai dalam pengelolaannya. Padahal, Pemerintah telah menetapkan aturan tersendiri mengenai hal tersebut.
Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2010 memberi catatan terhadap pengelolaan hibah (grant) pada beberapa Kementerian/Lembaga(K/L). Hasil pemeriksaan menyebutkan terdapat penerimaan hibah minimal sebesar Rp 868,43 milliar pada 18 K/L yang belum dilaporkan kepada Bendahara Umum Negara (BUN) dan dikelola di luar mekanisme APBN. Hasil evaluasi atas pengelolaan hibah yang dilakukan BPKP pada tahun 2009 menginformasikan kondisi yang sama.
Hibah merupakan penerimaan Pemerintah Pusat dalam bentuk uang, barang, jasa, dan atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah tanpa perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam atau luar negeri. Atas penerimaan hibah tersebut, K/L dapat memanfaatkan secara langsung untuk mendukung tugas dan fungsi K/L, atau diserahkan kepada masyarakat, atau diteruskan kepada Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD. Terdapat dua jenis hibah yaitu Hibah terencana dan Hibah Langsung. Hasil pemeriksaan BPK-RI dan evaluasi BPKP menunjukkan masih banyak pengelola hibah yang belum mengelola hibah sesuai aturan yang berlaku. Pada saat ini masih dijumpai pihak pemberi hibah,khususnya hibah yang tidak direncanakan atau hibah langsung, melakukan komunikasi dan negosiasi secara langsung dengan K/L penerima tanpa melalui Bappenas dan Kementerian Keuangan. Misalnya, pada saat terjadinya bencana tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, banyak pemberi bantuan melakukan komunikasi langsung dengan instansi yang dituju.
Contoh lain, sebuah yayasan di Saudi Arabia memberikan bantuan berupa bahan pustaka kepada perpustakaan sebuah instansi pemerintah. Pada kedua kondisi tersebut, pihak Bappenas dan Kementerian Keuangan tidak dilibatkan sama sekali. Dengan demikian hibah tersebut tidak teradministrasikan sebagaimana mestinya. Akibatnya, nilai neraca Pemerintah menjadi ‘understate ’. 
Kondisi inilah yang menjadi salah satu catatan BPK RI hingga memperoleh opini ‘Wajar Dengan Pengecualian’ pada LKPP tahun 2010. Menyikapi kondisi tersebut, Menteri Keuangan telah meminta BPKP untuk melakukan upaya yang diharapkan menjadi solusi melalui peningkatan peran APIP. Sejalan dengan permintaan tersebut, BPKP menyusun Pedoman Akuntabilitas Pengelolaan Hibah yang diharapkan dapat menambah pemahaman seluruh APIP K/L tentang permasalahan di seputar pengelolaan hibah. Selanjutnya hal tersebut diharapkan berdampak pada peningkatan kualitas penyajian laporan keuangan kementerian/lembaga yang lebih baik dan wajar.
Pada pedoman disebutkan setidaknya ada tiga kegiatan pokok yang harus segera dilakukan oleh APIP,yaitu:
1) Memastikan bahwa K/L memiliki Standar Operating Procedure (SOP) yang mengatur pengelolaan hibah.
2) Melakukan inventarisasi awal hibah yang ada pada Kementarian/Lembaga masing-masing, baik hibah direncanakan maupun hibah langsung.
3) Reviu Laporan Keuangan secara periodik.
 (WARTA PENGAWASAN VOL. XVIII/NO. 4/DESEMBER 2011)


Postingan Populer

Arsip Blog