Auditor, dalam menjalankan tugasya, sering dihadapkan pada
persoalan materialitas dan salah-saji, terutama salah-saji yang
dibiarkan begitu saja oleh penyusun laporan keuangan, yang dari perspektif auditor eksternal dikenal dengan istilah “salah saji tak terkoreksi” (uncorrected misstatement).
Materilitas dan salah-saji tak terkoreksi memiliki hubungan yang sangat
erat. Apa hubungan antara materialitas dan salah-saji, bagimana sikap
auditor terhadap materialitas dan salah-saji tak terkoreksi? Itulah
topik yang dibahas dalam tulisan ini.
Kita mulai dengan melihat, terlebih dahulu, mengapa timbul salah-saji
yang tak terkoreksi, apa hubungannya dengan persoalan materialitas,
setelah itu baru kemudian masuk ke sikap auditor terhadap salah-saji tak
terkoreksi.
Mengapa Timbul Salah-Saji Yang Tak Terkoreksi?
Salah-saji, idealnya, dikoreksi—oleh akuntan penyusun laporan
keuangan—begitu ditemukan. Tetapi pada kondisi tertentu, salah-saji
seringkali dibiarkan begitu saja karena alasan tertentu. Salah satu
alasan yang paling lumrah digunakan adalah pertimbangan
“materialitas”—salah-saji yang tak terkoreksi dianggap “tidak material”.
Dari sisi penyusun laporan keuangan (entah akuntan internal atau
konsultan), pertimbangan ‘material/tidak material’ seringkali
dipengaruhi oleh faktor lain, terutama batas akhir penyampaian laporan
keuangan (relevansi), disamping keinginan untuk meminimalkan biaya yang
timbul dari proses penyusunan laporan.
Mereka yang kebetulan bekerja untuk sebuah perusahaan, saya yakin bisa membayangkan situasi berikut ini:
Setelah ngos-ngosan mengejar batas akhir penyampaian laporan
keuangan, tanggl 2 Januari 2013, akhirnya berhasil merampungkan lapora
keuangan. Setelah diteliti sekilas, laporan keuangan dikirimkan ke semua
jajaran manajemen perusahaan.
Sekembalinya ke meja, penyusun laporan meneiliti kembali item-item
yang tersaji dalam laporan keuangan—yang printoutnya sudah
dibagi-bagikan ke pihak manajemen, lalu menemukan beberapa kesalahan. Si
penyusun laporan berpikir, “Ah.. biarin deh, sudah terlanjur dilaporkan, lagi pula nggak material ini juga”.
Bisa dibilang, konsep “materialitas” mengandung unsur subyektifitas yang tinggi.
Dalam seknario yang lebih parah, sudah banyak terjadi di luar sana,
pertimbangan materialitas banyak digunakan sebagai alasan untuk
membenarkan pembiaran salah-saji, sejak di awal, bahkan untuk kesalahan
yang disengaja. Adalah kenyatakaan bahwa pertimbangan materialitas kerap
disalahgunakan—tentunya oleh manajemen yang tidak disadari oleh
akuntan.
Persoalan ini penting bagi auditor, tetapi lebih penting lagi bagi
akuntan penyusun laporan keuangan. Idealnya, seorang akuntan yang menyusun laporan keuangan
seharusnya tidak mengorbankan akurasi dan keandalan untuk alasan
relevansi (ketepatwaktuan). Para akuntan peyusun laporan keuangan, oleh
standar, diharapkan mampu menggunakan pertimbangan materialitas secara
profesional—tanpa mengurangikeandalan dan ketepatwaktuan laporan.
Tahu harus bersikap apa ketika menumakan salah-saji adalah satu hal
penting bagi seorang auditor. Memahami konsep materialitas—yang idealnya
lebih mumpuni dibandingkan akuntan penyusun laporan keuangan—adalah hal
yang pokok; bagaimana bisa menentukan sikap profesional, ketika menemukan salah-saji, jika tidak tahu batasan materialitas?
Definisi dan Batasan Materialitas
Secara umum, batasan materialitas tidak berupa angka tertentu yang
diberlakukan bagi semua perusahaan (misal Rp 500,000 atau 1,000,000 atau
5,000,000), melainkan berdasarkan persentase tertentu. Sehingga, bisa
dikatakan bahwa, tingkat materialitas pada suatu perusahaan berbeda
dengan perusahaan lain.
Materilitas berdasarkan persentasepun, sampai saat ini, masih sering
menjadi bahan perdebatan—baik di kalangan praktisi maupun akademisi.
Materialitas, oleh FASB, didefinisikan sebagai:
“besarnya suatu kelalaian atau salah saji, dalam laporan
keuangan, yang membuat pengguna laporan terpengaruh oleh informasi yang
dihilangkan, atau membuat keputusan berbeda jika informasi yang benar
diketahui.”
Meskipun para pakar dan regulator telah berusaha membuat definisi
materialitas yang bisa disepakati secara global, tetap saja belum
menghasilkan batasan yang pasti mengenai konsep materialitas; unsur
subyektifitas yang melekat pada konsep ini masih tetap tinggi. Sehingga
masih sulit untuk memisahkan transaksi bersifat tidak material dengan
yang material.
Celakanya lagi sering disalahgunakan untuk kepentingan tertentu,
termasuk kepentingan untuk memperoleh keuntungan
pribadi/perusahaan—dengan menjadikan pertimbangan materialitas sebagai
tameng untuk tidak melakukan koreksi pada item yang salah-saji.
Materialitas, sebagai sebuah kriteria, mengandung aspek kuantitatif
sekaligus kualitatif, dan suatu transaksi bisa dianggap tidak material
jika kedua aspek ini sudah dipertimbangkan dan memang benar-benar tidak
material atau tidak relevan.
Meskipun penilaian materialitas, aslinya, memang berdasarkan uji
kuantitatif (dengan persentase), keadaan yang melingkupi suatu transaksi
atau item dalam laporan keuangan bisa mempengaruhi penentuan apakah
transaksi/item tersebut dinilai material atau tidak material. Misalnya:
Suatu transaksi, jika dicatat, dapat mengubah kondisi “laba” menjadi
“rugi” atau mengubah rasio terhadap utang dari tidak-patuh mejadi patuh
(atau sebalinya), dianggap MATERIAL—meskipun secara kuantitatif
tergolong tidak material.
Faktor berikutnya yang mempengaruhi material/tidak material adalah “aktivitas rutin atau khusus”.
Suatu transaksi mungkin dianggap tidak material ketika itu menyangkut
operasional rutin sehari-hari, tetapi manjadi material ketika jenis
transaksi yang sama timbul dari aktivitas khusus untuk maksud tertentu.
Misalnya: transaksi yang mengakibatkan manajemen bisa mencapai target
(atau bonus) mungkin dianggap material meskipun secara kuantitatif tidak
material.
Faktor lainnya adalah “tingkat persisi estimasi” yang digunakan. Misalnya:
Estimasi “utang” biasanya bisa diestimasi dengan lebih persis
dibandingkan potensi rugi atas kewajiban penarikan suatu aset, sehingga
suatu salah-saji yang ketika berhubungan dengan utang dianggap material
mungkin tidak material ketika berkaitan dengan kewajiban penarikan aset.
Beberapa contoh transaksi dimana menggunakan faktor kuantitatif saja
adalah tidak cukup—sehingga perlu disertai dengan pertimbangan
faktor-faktor kualitatif, antara lain:
- Membeli atau menjual aset yang harganya lebih atau kurang dari nilai buku aset.
- Proses litigasi terhadap keinginan manajemen perusahaan untuk mengubah harga dalam kontrak yang telah disepakati atau kasus yang berhubungan dengan tuntutan antitrust.
- Negosiasi aktif mengenai penyelesaian utang-piutang
Batasan Materialitas Menutur SEC-nya AS
Badan pengawas pasar modal AS—Securities and Exchange Commission
(SEC)—memberi panduan mengenai batasan materialitas, bagi perusahaan
publik di AS sana, sbb:
- 1% dari total aset untuk piutang ke manajemen dan pemegang saham
- 5% dari total aset untuk item neraca yang menggunakan disklosur terpisah; dan
- 10% dari total pendapatan untuk perusahaan pengolah bahan bakar minyak dan gas
Di Indonesia, khususnya bagi perusahaan berstatus publik,
pihak BAPPEPAM telah mengeluarkan peraturan khusus mengenai uji
materialitas yang harus ditempuh oleh perusahaan berstatus publik (Tbk),
khususnya Per IX.E.2.
Sesuai dengan peraturan tersebut, perusahaan berstatus publik di
Indonesia dihimbau untuk menempuh 2 tahapan uji materialitas, sbb:
Tahap-1. Uji Jenis Transaksi – Perusahaan diminta untuk memperhatikan jenis-jenis transaksi berikut ini:
- Pembelian saham (termasuk dalam rangka pengambilalihan);
- Penjualan saham;
- Penyertaan dalam badan usaha, proyek, dan/atau kegiatan usaha tertentu;
- Pembelian, penjualan, pengalihan, tukar menukar atas segmen usaha atau aset selain saham;
- Sewa menyewa aset;
- Pinjam meminjam dana;
- Menjaminkan aset; dan/atau
- Memberikan jaminan perusahaan.
Apabila persoalan materialitas timbul pada salah satu transaksi di
atas makan perusahaan diminta untuk melakukan uji batasan nilai (threshold) materialitas pada tahap-2 berikut.
Tahap-2. Uji Terhadap Batasan Nilai Material –
Perusahaan diminta membandingkan nilai transaksi secara keseluruhan
(baik terhadap transaksi yang dilakukan hanya satu kali maupun transaksi
yang dilaksanakan dalam suatu rangkaian untuk tujuan atau kegiatan
tertentu) dengan ekuitas Perusahaan. Adapun, nilai ekuitas yang dipakai
sebagai perbandingan adalah nilai ekuitas sebagaimana terdapat pada yang
terkini dari:
- Laporan keuangan tahunan yang diaudit;
- Laporan keuangan tengah tahunan yang disertai laporan Akuntan dalam rangka penelaahan terbatas paling kurang untuk akun ekuitas; atau
- Laporan keuangan interim yang diaudit selain laporan keuangan interim tengah tahunan, dalam hal Perusahaan mempunyai laporan keuangan interim.
Apabila setelah perbandingan tersebut dilakukan ternyata ditemukan
bahwa total nilai transaksi mencapai 20% dari ekuitas perusahaan atau
lebih maka transaksi perusahaan merupakan transaksi material.
Kepentingan Auditor Terhadap Materialitas Dan Salah-saji
Auditor jelas sangat berkepentingan terhadap persoalan materialitas. SA seksi 312, “Risiko dan Materialitas Audit Dalam Pelaksanaan Audit” mengharuskan Auditor menentukan materialitas dalam 2 jenis aktivitas proses audit, yaitu:
- Perencanaan audit dan perancangan prosedur audit; dan
- Evaluasi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan
Dalam perencanaan audit, auditor melakukan pertimbangan awal terhadap materialitas, dalam 2 tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan Laporan Keuangan – Pada tingkat ini, materialitas dihitung sebagai “keseluruhan salah saji minimum”
yang dianggap penting atau material atas salah satu laporan keuangan.
Hal ini disebabkan karena laporan keuangan pada dasarnya adalah saling
terkait satu sama lain dan sama halnya dengan prosedur audit yang dapat
berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan.
2. Tingkatan Saldo Akun – Pada tingkat ini, materialitas merupakan “salah saji terkecil”
yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang material. Audior,
idealnya, perlu mempertimbangkan materialitas pada tingkat laporan
keuangan (lihat di bawah)—bagaimanapun juga salah-saji yang tidak
material secara individu bisa jadi material terhadap laporan keuangan
bila digabungkan dengan saldo akun yang lain.
Pertimbangan materialitas pada saat perencanaan audit mungkin
berbeda dengan pertimbangan materialitas pada saat evaluasi laporan
keuangan karena alasan berikut ini:
- Keadaan yang melingkupi berubah; atau
- Adanya informasi tambahan selama proses audit; atau
- Keduanya
Siapa Yang Bertanggungjawab Atas Materialitas dan Salah-saji?
Publik, terutama pemegang saham perusahaan, sering salah persepsi dalam hal ini,
menganggap auditor (eksternal)-lah yang bertanggungjawab atas
materialitas dan salah-saji. Bisa dipahami, mengingat mereka berasal
dari dari berbagai latarbelakang dan profesi, lagipula merekalah yang
membayar auditor (meskipun kas diambil dari perusahaan).
Sementara akuntan, terutama auditor, tahu persis bahwa:
isi laporan keuangan (apapun itu) adalah tanggungjawab manajemen
perusahaan, termasuk materialitas dan salah-saji. Hal itu bisa dibaca
pada “Management Representation Letter” yang salah satu isinya tegas menyatakan hal itu.
Bahwa auditor berkepentingan untuk menggalang bukti yang cukup, BENAR,
tetapi itu semata-mata hanya untuk memberi “keyakinan yang masuk-akal”
(reasonable assurance) bagi pengguna laporan keuangan bahwa, asersi
(=laporan keuangan) manajemen perusahaan tidak mengandung salah-saji
yang bersifat material.
Singkat katanya: auditor hanya bertugas untuk menemukan, bukan bertanggungjawab atas apa yang ditemukannya.
Sementara isi laporan keuangan—termasuk soal material/tak material
dan salah-saji yang mungkin terkandung di dalamnya—tetap menjadi
tanggungjawabnya manajemen perusahaan—yang secara teknis mendelegasikan
tugas itu kepada akuntan penyusun lapora keuangan (internal atau
eksernal).
Idealnya, menurut saya, akuntan penyusun laporan
keuangan mesti sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan dan menilai
materialitas suatu transaksi. Sebagai sikap default:
kecuali nilainya sangat sangat kecil (mungkin tidak sampai Rp 100),
semua transaksi anggap material. Sedangkan akuntan eksternal, dalam
menjalankan proses audit, sebaiknya bekerja maksimal (dengan menggunakan
segenap kemampuannya) untuk menangkap hal-hal yang bisa menimbulkan
salah-saji bersifat material (Note: sebentar lagi saya akan bahas mengenai sikap auditor terhadap salah-saji yang tak terkoreksi).
Saya percaya bahwa tak ada satupun akuntan penyusun laporan
keuangan (baik eksternal maupun internal) yang dengan sengaja
menyalahgunakan kelemahan akuntansi—termasuk subyektifitas ukuran materialitas—untuk alasan apapun. Saya perlu sampaikan ini dengan jelas.
Dari sekian banyak kasus yang pernah terjadi, fraud lebih banyak
diinisiasi di level atas lalu diikuti oleh level-level di bawahnya,
terutama dengan cara memanipulasi bukti transaksi (membuat bukti
transaksi palsu, mengubah angka, atau menghilangkan bukti transaksi).
Sedangkan akuntan, hanya menginput data berdasarkan berdasarkan bukti
transaksi yang ada.
Itu sebabnya mengapa saya (penulis pribadi) tak pernah bosan
menghimbau rekan-rekan akuntan internal dan eksternal (konsultan) yang
menyusun laporan keuangan, baik secara langsung maupun lewat
tulisan-tulisan saya di JAK ini, agar sangat berhati-hati. Khusus
akuntan internal, agar selalu melakukan verifikasi yang cukup atas
validitas bukti transaksi/informasi keuangan lainnya, sebelum
dicatat—dengan harapan bisa mendeteksi sekaligus mencegah kemungkinan
fraud, hingga ke titik yang paling rendah.
Dengan demikian, maka persoalan materialitas—yang menjadi
‘biang-kerok’nya salah-saji tak tekoreksi—telah kita bahas. Selanjutnya
kita masuk ke persoalan “salah-saji’.
Type-type Salah-saji Dari Sudut Pandang Auditor (Eksternal)
Akuntan penyusun laporan keuangan, jelaslah harus memiliki sistim
atau prosedur pengendalian khusus untuk mengurangi risiko adanya
kesalahan informasi yang disengaja namun tak terdeteksi jika tanpa
prosedur—yang bisa mengakibatkan salah-saji, sebagai alat penyaring
awal.
Sementara itu, auditor eksternal—yang pastinya sudah dilengkapi
dengan berbagai prosedur dan teknik—diharapkan agar menajalankan proses
pemeriksaan sedemikian rupa, sehingga jika salah-saji lolos dari
penyaringan akuntan internal bisa terdeksi di proses audit, sehingga
laporan keuangan teraudit (audited financial statement) benar-benar bisa
memberikan keyakinan yang cukup mengenai deteksi salah-saji material,
termasuk salah-saji yang bersumber dari kesalahan semata (erroneous).
Dalam proses pemeriksaan, seorang auditor mengklasifikasikan
salah-saji menjadi 2 kelompok atau kategori: (1) salah-saji telah
diketahui; dan (2) kemungkinan salah-saji.
‘Salah-saji Telah Diketahui’ bisa timbul dari:
- Pemilihan atau implementasi prinsip akuntansi yang salah
- Kesalahan dalam pengumpulan, pemrosesan, pengelompokan, penginterpretasian, atau kelalaian dalam mengidentifikasi informasi/data yang relevan
- Niat (dengan sengaja) untuk membuat pengguna laporan keuangan salah dalam mengambil keputusan
- Niat (dengan sengaja) untuk menutupi pencurian tertentu
‘Kemungkinan Salah-saji’ bisa timbul dari:
- Adanya perbedaan, dalam hal penilian, antara manajemen dan auditor mengenai estimasi-estimasi akuntansi dimana angka yang tersaji dalam laporan keuangan melampaui rentang estimasi yang dapat diterima menurut auditor.
- Angka yang telah diproyeksikan ( istilah statistiknya “extrapolated”) oleh auditor berdasarkkan hasil-hasil dari prosedur ‘sampling’—baik statistikal atau non-statistikal—pada suatu populasi (data).
Auditor selanjutnya mengevaluasi item-item salah saji untuk kemudian
dikelompokan ke masing-masing kelompok diatas. Seperti sudah disampaikan
di atas, sesuai dengan standar audit, auditor bertanggungjawab untuk
menemukan (dan mengelola) salah-saji, baik yang diketahui maupun yang
masih berupa kemungkinan salah-saji, kecuali yang menurut auditor
tergolong “sepele” atau “tidak penting”.
Dalam menilai “sepele” atau “tidak penting”, mengenai salah-saji,
auditor mempertimbangkan apakah salah-saji yang ditemukan—baik secara
individual maupun setelah digabung—tergolong material atau tidak
material.
Bagaimana Auditor Menyikapi Salah-Saji?
Untuk “salah-saji telah diketahui”, auditor
diwajibkan—oleh tuntutan profesinya—untuk meminta manajemen perusahaan
(auditee) untuk melakukan koreksi terhadap masing-masing item
salah-saji. Dalam banyak kasus, perusahaan (auditee) biasanya keberatan
untuk memenuhi permintaan tersebut. Jika itu yang terjadi biasanya
auditor perlu menjelaskan alasannya—secara terperinci. Jika masih tetap
tidak mau, auditor biasanya menyertakan “sangkalan” (disclaimer) dalam
opininya.
Sedangkan untuk “kemungkinan salah-saji”, diperlakukan sebagai berikut:
1. Jika berasal dari ekstrapolasi (proyeksi terhadap
populasi dari uji secara sampling), maka auditor meminta manajemen
untuk meneliti keseluruhan populasi dari mana sample diambil. Populasi
ini bisa jadi berupa kelompok transaksi, saldo akun, atau informasi
tambahan yang tercatum dalam disklosur laporan keuangan. Tujuan dari
permintaan ini agar pihak menajemen perusahaan (auditee) menemukan semua
salah-saji yang ada di dalam populasi, tanpa terkecuali—sehingga bisa
melakukan koreksi yang diperlukan.
Misalnya:
Dari sample yang ditarik dari data inventory, auditor menemukan
kesalahan di beberapa transaksi. Dalam kasus seperti ini auditor akan
meminta pihak manajemen untuk melakukan pemeriksaan sendiri,
transaksi-per-transaksi, guna menemukan kesalahan-kesalahan lainnya,
untuk dikoreksi.
2. Jika berasal dari perbedaan estimasi—antara
auditor dengan estimasi perusahaan—maka auditor meminta pihak manajemen
untuk meninjau kembali metode dan asumsi yang digunakan untuk melakukan
estimasi, termasuk perhitungannya.
Misalnya:
Nilai cadangan kerugian piutang tak tertagih. Bila estimasi
perusahaan terlalu tinggi atau rendah dibandingkan dengan estimasi
auditor, maka auditor meminta perusahaan untuk meninjau kembali metode
pencadangan, asumsi beserta perhitungan yang dijadikan dasar dalam
menentukan besarnya cadangan kerugian piutang.
Auditor diharapkan dapat berkomunikasi dengan pihak manajemen
perusahaan setelah salah-saji ditemukan, yang manapun typenya. Makin
cepat komunikasi dilakukan makin bagus, karena sangat mungkin manajemen
membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk memenuhi permintaan auditor.
Selanjutnya auditor meminta pihak manajemen melakukan koreksi atau
meminta bukti transaksi/data/informasi tambahan. Perusahaan di sisi
lainnya, diharapkan mampu (terutama sekali “mau”) menggunakan
pertimbangan kualitatif dalam menilai suatu salah-saji—disamping
kuantitatif.