IconIconIconIcon


Jumat, 17 April 2015

DAPATKAH PEMBAYARAN BIAYA PEMELIHARAAN DILAKUKAN SEBELUM MASA PEMELIHARAAN SELESAI?

Aktivitas yang dilakukan oleh pejabat perbendaharaan pada Kementerian Negara/ Lembaga/Satuan kerja, khususnya terkait pelaksanaan pembayaran atas beban APBN/ APBD sangatlah komplek, karena disamping perlu pemahaman yang utuh dan benar terkait dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pejabat perbendaharan juga harus benar-benar memahami arti penting peran dan kedudukannya masing-masing. Salah satu pejabat perbendaharaan yang perannya strategis adalah Penguji dan Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM).
PPSPM adalah orang terakhir di satker yang mengendalikan dan mengawasi keluarnya uang negara atas beban anggaran belanja negara pada K/L/Satker. PPSPM sangat dituntut memiliki komitmen, kompetensi, dan sikap yang tegas untuk bisa memutuskan apakah tagihan yang diajukan kepada negara dapat disetujui untuk diterbitkan SPM atau tidak. Contoh kasus yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah apakah diperbolehkan pembayaran biaya pemeliharaan pekerjaan konstruksi yang tagihkan tanpa Berita Acara Serah Terima (BAST) kedua (Final Hand Over/FHO) namun dilengkapi dengan jaminan pemeliharaan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, dilakukan sekaligus pada saat tagihan prestasi pekerjaan mencapai 100 persen yang dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) pertama (Provisional Hand Over), sementara masa pemeliharaan belum dilalui dan pembayarannya masih dimungkinkan dilakukan pada tahun anggaran berjalan karena periode pemeliharaan akan selesai pada tahun anggaran berkenaan.

I.     PENDAHULUAN
                Tulisan dimulai dari munculnya  sebuah pertanyaan pada saat berlangsungnya kegiatan  workshop Pembekalan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) Tahun 2014 yang diselenggarakan  oleh Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan, berlokasi di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia di Bintaro Tangerang. Workshop tersebut berlangsung selama  dua hari mulai tanggal 13 sampai dengan 14 November 2014 yang pesertanya sebagian besar adalah para PPSPM pada unit kerja di lingkungan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan. Pada kesempatan yang sangat berharga tersebut penulis ikut serta sebagai salah seorang peserta agar dapat memperoleh pelbagai informasi seputar peran PPSPM, tantangan, dan masalah yang dihadapi di lapangan.
 Salah satu pertanyaan yang cukup menggugah untuk dilakukan analisis dan ulasan secara mendalam dari sudut perundang-undang dan sekaligus merupakan substansi  dari tulisan ini, intinya adalah pertanyaan tentang “Apakah diperkenankan pembayaran biaya pemeliharaan untuk kontrak jasa konstruksi yang besarnya 5 (lima) persen dari nilai kontrak (BAST kedua/FHO) yang dilakukan bersamaan dengan pengajuan pembayaran tagihan disaat prestasi  pekerjaan phisik mencapai 100 persen (BAST pertama/ PHO) dengan melampirkan jaminan pemeliharan sesuai ketentuan yang berlaku, sementara masa pemeliharaan dari pekerjaan konstruksi yang dikontrakkan tersebut berakhir dalam tahun anggaran berjalan (masa pemeliharaan berakhir sebelum batas akhir penyampaian SPM-LS ke KPPN)”.  Atas pertanyaan tersebut memunculkan pendapat yang berbeda, ada yang menyatakan boleh, tidak ada masalah, karena ada jaminan pemeliharaannya. Sementara itu ada juga yang berpendapat tidak boleh karena baru ada serah terima pertama (Provisional Hand Over/ PHO) dan belum terjadi serah terima kedua (Final Hand Over/FHO), kecuali masa pemeliharaannya berakhir pada tanggal 31 Desember tahun anggaran berjalan (melampaui batas akhir pengajuan SPM-LS ke KPPN). Ulasan ini tentu akan sangat berguna bagi para PPSPM pada K/L/Satker untuk menyatakan sikap, apakah akan menyetujui SPP yang diajukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam kontek tersebut untuk selanjutnya diterbitkan SPM-LS, atau menolak menerbitkannya. Berikut ini penulis akan mencoba untuk memberikan ulasan, namun sebelumnya akan dikemukakan dahulu penjelasan singkat tentang PPSPM dan perannya.
II.    PERAN PEJABAT PENANDATANGAN SPM (PPSPM)
                Dalam praktik ternyata banyak permasalahan yang dihadapi oleh PPSPM terkait dengan perannya yang strategis, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal PPSPM langsung berhadapan dengan PPK sebagai pihak yang mengajukan Surat Permintaan Pembayaran tagihan (SPP) atas perikatan yang membebani anggaran belanja negara. Pada saat yang sama PPSPM secara ekternal berhadapan dengan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) setempat selaku Kuasa Bendahara Umum Negara (Kuasa BUN) yang menuntut pertanggungjawaban baik secara formal maupun substantif atas kebenaran tindakannya mengeluarkan Surat Perintah Membayar (SPM) sehingga uang dari Rekening Kas Negara keluar, untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak yang tertera pada Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkannya.
 Peran PPSPM yang strategisi, jika diibaratkan sebagai bangunan portal  yang  melintasi jalan, maka ia akan berfungsi  mengendalikan dan mengawasi siapa saja pengguna jalan yang akan melintas dan barang bawaannya. Agar yang melintasi portal tersebut benar-benar sesuai aturan yang berlaku dan tidak menimbulkan kerugian bagi pemilik portal, maka portal tersebut harus kuat dan berfungsi dengan baik. Portal akan mampu berfungsi mengendalikan dan mengawasi pelintas portal jika bangunan portal tersebut berdiri sangat kuat, terbuat dari bahan-bahan yang berkualitas, dan tidak mudah dirobohkan dengan cara apapun.  Disamping itu portal harus dapat dengan mudah membuka atau menutup dengan baik dan lancar sesuai sistem yang berlaku, sehingga disatu pihak tidak menghambat pelintas portal berikut barang bawaan yang memenuhi syarat, dan dilain pihak mampu mencegah pelintas portal dan barang bawaannya yang tidak memenuhi syarat untuk melintas. Begitulah peran yang seharusnya dijalankan oleh seorang PPSPM, dia adalah sosok yang kuat dan berkualitas, memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai, sehingga mampu dan sanggup mengendalikan dan mengawasi  setiap SPP yang diajukan oleh PPK untuk diproses menjadi SPM, yang  selanjutnya disampaikan kepada KPPN selaku Kuasa BUN di daerah untuk diterbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang membebani Rekening Kas Negara.  Perlu diingat bahwa PPSPM adalah portal terakhir di K/L/Satker yang mengendalikan dan mengawasi pengeluaran belanja negara pada K/L/Satker bersangkutan agar tidak menyimpang dari aturan perundang-undangan yang berlaku. Jika PPSPM tidak kuat dan tangguh dan tidak berfungsi dengan baik, maka bocorlah pengeluaran negara.
Sesuai ketentuan pada pasal 1 ayat 13  PMK No. 190/PMK.05/2012, PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. Tugas dan wewenang PPSPM, sesuai ketentuan yang tertuang pada pasal 17 ayat 1 PMK No.190/PMK.05/2012 adalah :
  1. menguji kebenaran SPP besera dokumen pendukung;
  2. menolak dan mengembalikan SPP jika tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;
  3. membebankan tagihan pada mata anggaran yang telah disediakan;
  4. menerbitkan SPM;
  5. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen hak tagih;
  6. melaporkan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran kepada KPA; dan
  7. melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran.
Secara umum proses pencairannya SPP/SPM menjadi SP2D dan bagaimana peran PPSPM dapat dilihat pada  gambar 1 dan 2 berikut ini.
Gambar I. Proses Pencairan SPM LS
LS


















Gambar 2 Peran PPSPM dalam Penerbitan SPM
SPM



















III.     MASA PEMELIHARAAN PEKERJAAN KONSTRUKSI
                Sesuatu yang berbeda terkait belanja atas beban APBN antara belanja pengadaan barang dan jasa lainnya dengan pengadaan jasa konstruksi adalah pada tahap/termin serah terima pekerjaan. Berbeda dengan pengadaan barang dan jasa lainnya, untuk pengadaan jasa konstruksi maka serah terima pekerjaan dilakukan 2 (dua) kali, yaitu :

1.   Serah terima pertama (Provisional Hand Over/PHO), yaitu serah terima pada saat prestasi pekerjaan mencapai 100 persen. Sesuai dengan BAP maka saat prestasi pekerjaan mencapai 100 persen yang dibuktikan dengan BAST Pertama, kepada penyedia jasa konstruksi dibayarkan sebesar 95 persen dari nilai kontrak dikurangi pajak-pajak dan pelunasan uang muka jika kepada penyedia yang bersangkutan sesuai kontrak pernah dibayarkan uang muka.

2.    Serah terima kedua (Final Hand Over/FHO), yaitu serah terima pada saat telah dilakukan masa pemeliharaan yang dibuktikan dengan BAST kedua. Dalam hal ini sesuai dengan BAP, kepada penyedia jasa konstruksi dibayarkan sebesar 5 (lima) persen dari nilai kontrak setelah dikurangi kewajiban perpajakan.

Terkait dengan lamanya pemeliharaan,  sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Perpres Nomor 54 Tahun 2010 pada pasal  95 ayat 5), masa pemeliharaan berlangung selama minimal 3 (tiga) bulan untuk hasil pekerjaan semi permanen, dan minimal selama 6 (enam) bulan untuk hasil pekerjaan permanen. Adanya masa pemerlihaan ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga jika selama masa tersebut bangunan yang telah selesai 100 persen mengalami kerusakant, maka pemberitahuan tentunya disampaikan kepada pihak rekanan.  Dan rekanan dalam hal ini tentunya diharapkan akan cepat merespon untuk segera melakukan perbaikan sesuai perjanjian/ kontrak, karena kalau tidak bersedia memperbaiki kerusakan yang terjadi akan berdampak pada tidak dibayarkan sisa tagihan sebesar 5 (lima) persen dari nilai kontrak yang belum dibayarkan.

IV.  PEMBAYARAN BIAYA PEMELIHARAAN

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku ada dua cara dalam melakukan pembayaran biaya pemeliharaan kepada penyedia jasa konstruksi.
  1. Pertama, biaya pemeliharaan dibayarkan setelah masa pemeliharaan berakhir, yang dibuktikan dengan telah ditandatangani BAST kedua antara pihak-pihak yang melakukan perikatan dalam bentuk perjajinan/kontrak.  Namun cara ini hanya bisa dilakukan jika masa pemeliharaan berakhir pada tahun anggaran berjalan, selambatnya sebelum batas akhir waktu penyampaian SPM-LS ke KPPN, sesuai ketentuan yang mengatur langkah-langkah akhir tahun anggaran.
  2. Kedua, biaya pemeliharaan dibayarkan sekaligus pada saat prestasi pekerjaaan mencapai 100   persen.  Pada cara yang kedua ini disamping diterbitkan SPM-LS untuk pembayaran tagihan dalam jumlah keseluruhan sebesar 95 persen dari nilai kontrak, juga diterbitkan SPM-LS sejumlah 5 persen dari nilai kontrak untuk biaya pemeliharaan dan harus disertakan dengan jaminan pemeliharaan dari bank pemerintah. Cara kedua ini bisa digunakan apabila masa pemeliharaan pekerjaan konstruksi tersebut melampaui batas akhir penyampaian SPM-LS ke KPPN sebagaimana diatur dalam langkah-langkah akhir tahun anggaran, atau masa pemeliharaan pekerjaan konstruksi berakhir pada tanggal 31 Desember tahun berjalan.
  
Sehubungan dengan pertanyaan yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi fokus ulasan pada tulisan ini adalah apakah dimungkinkan jika penyedia jasa konstruksi menagih seluruh haknya sekaligus pada saat prestasi pekerjaan mencapai 100 persen, yang terdiri dari 95 persen dari nilai kontrak dilampiri dengan BAST pertama (PHO), dan 5 persen dari nilai kontrak sebagai biaya pemeliharaan dilampiri jaminan pemeliharaan dari bank pemerintah namun tanpa BAST kedua (FHO), sedangkan masa pemeliharaan pekerjaan tersebut akan selesai pada tahun anggaran berjalan. Jika realitasnya pengajuan tagihan sekaligus tersebut diajukan oleh pihak penyedia jasa konstruksi, dan kemudian diproses lebih lanjut oleh PPK sehingga diajukan dua buah SPP-LS, yaitu SPP-LS berdasarkan BAST pertama (PHO) dan SPP-LS biaya pemeliharaan dilampiri jaminan pemeliharaan dari bank pemerintah, apakah PPSPM dapat menyetujui seluruhnya sehingga terbit dua SPM-LS? Atau PPSPM hanya menyetujui SPP-LS berdasarkan BAST pertama (PHO) saja, dan menolak SPP-LS biaya pemeliharaan karena masih dimungkinkan dibayar pada tahun anggaran berjalan? Kondisi inilah yang akan penulis ulas lebih lanjut.

              Mengawali ulasan ini, penulis akan memulai dari satu kalimat yang penulis dengar saat mengikuti seminar pada hari Jumat tanggal 5 Desember 2014 dengan tema “Revitalisasi Filosofi Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implementasinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013”.  Salah satu narasumber pada seminar itu yakni Bapak Drs.Siswo Sujanto, DEA. Beliau adalah salah seorang anggota tim penyusun 3 paket Undang-Undang Bidang Keuangan Negara. Dalam seminar tersebut beliau menggunakan kalimat dalam bahasa jawa yang kalau diterjemahkan secara langsung dalam bahasa Indonesia maknanya jadi berbeda. Kalimat tersebut adalah “Mlebune metu ngendi”. Kalau kalimat tersebut diterjemahkan langsung dalam bahasa Indonesia maka bisa berarti “Masuknya keluar mana”.  Namun sebenarnya yang dimaksud dari kalimat “Mlebune metu ngendi” adalah “Masuknya lewat mana”. Mungkin saja pembaca akan bertanya-tanya apa hubungannya antara tulisan ini dengan tema seminar di atas. Memang secara spesifik tidak nampak hubungan yang nyata, namun kalau dilihat secara umum, jika kita bicara tentang keuangan negara maka kita juga akan bicara tentang APBN, karena wujud dari pengelolaan keuangan negara adalah APBN. Salah satu sisi dari APBN adalah belanja negara. Dari sinilah penulis akan mencoba memberikan ulasan.

              Secara rasional, membayar sekaligus atas tagihan pekerjaan konstruksi berupa pembayaran sebesar 95 persen dari nilai kontrak pada saat prestasi pekerjaan mencapai 100 persen yang dilampiri dengan BAST pertama (PHO), dan biaya pemeliharaan 5 persen dilampiri dengan jaminan pemeliharaan dari bank pemerintah namun tanpa BAST kedua (FHO) boleh-boleh saja, tidak ada yang salah. Pembayaran tagihan berdasarkan BAST pertama (PHO) memang sudah menjadi haknya penyedia pekerjaan konstruksi bersangkutan atas prestasi pekerjaan yang telah dilaksanakan. Sementara pembayaran 5 persen biaya pemeliharaan juga ada jaminannya, sehingga tidak perlu khawatir pihak penyedia akan ingkar janji. Kan ada jaminannya yang setiap saat bisa dicairkan jika penyedia tidak menjalankan kewajiban melakukan pemeliharaan selama waktu tertentu atas pekerjaan yang secara fisik telah diselesaikannya. Artinya tidak ada masalah mau dibayar sekaligus ataukah tidak. Namun kalau dilihat dari sisi peraturan undang-undang yang khusus mengatur tentang keuangan negara dan perbendaharaan negara, sesuai dengan kutipan kalimat “Mlebune metu ngendi”, jawabannya bisa berbeda.

              Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pada pasal 21 disebutkan :

Bertolak dari ayat (1) pasal di atas, jelas bahwa setiap pejabat perbendaharaan (PA/KPA/ PPK/PPSPM/Bendahara Pengeluaran) harus memahami secara benar maksud dari pasal diatas, dan menghubungkankan dengan aturan-aturan khusus terkait  yang dilatarbelakangi oleh kondisi tertentu. Sebagai contoh diperbolehkannnya pembayaran uang muka kerja yang besarnya 30 persen dari nilai kontrak/SPK untuk pengusaha kecil/golongan ekonomi lemah, atau 20 persen dari nilai kontrak/SPK untuk pengusaha non kecil, dengan persyaratan harus menyampakan jaminan uang muka yang diterbitkan oleh bank pemerintah atau asuransi yang punya program surety bond, walaupun barang dan/atau jasa belum diterima. Pembayaran uang muka ini diperbolehkan karena memang ada aturan khusus yang mengaturnya.

              Selanjutnya bagaimana halnya dengan pembayaran biaya pemeliharaan sebesar 5 persen dari nilai kontrak yang dimintakan oleh pihak penyedia pekerjaan konstruksi, padahal masa pemeliharaan pekerjaan belum selesai dijalani, dan berakhirnya masa pemeliharaan masih dalam tahun anggaran berjalan. Artinya sangat dimungkinkan untuk dibayarkan biaya pemeliharaan kepada yang berhak pada saat haknya timbul, tanpa melewati batas akhir tahun anggaran dan batas akhir penyampaian SPM-LS ke KPPN.  Untuk kasus ini penulis berpendapat bahwa tagihan biaya pemeliharaan yang diajukan sebelum saatnya dengan alasan apapun oleh pihak penagih tidak dapat disetujui, walaupun pihak yang mengajukan tagihan melengkapinya dengan jaminan pemeliharaan dari lembaga yang berwenang menerbitkan. Adapun beberapa alasan yang melatarbelakangi adalah :
  1. mengacu pada ketentuan yang tertera pada pasal 21 ayat (1) UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, bahwa “Pembayaran atas beban APBN/ APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/jasa diterima”;
  2. negara akan dirugikan dari sisi waktu karena harus menyediakan sejumlah uang untuk membayar tagihan yang belum saatnya harus dibayarkan, apalagi pihak yang mengajukan tagihan sejenis cukup banyak;
  3. Adanya potensi menggangu likuiditas Kas Negara jika terjadi ketidaklancaran pencairan jaminan pemeliharaan saat terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penyedia pekerjaan konstruksi.
      Sebagai penutup dari tulisan ini, kiranya kepada semua pejabat perbendaharaan negara khususnya kepada PPSPM yang mempunyai peran strategis, yaitu sebagai portal terakhir keluarnya uang belanja negara pada K/L/Satker, perlu sekali memahami perundang-undangan yang mengatur tentang keuangan negara/perbendaharaan negara, baik dari sisi kontennya maupun sisi filosofinya dari terbitnya aturan terkait. Dengan pemahaman yang benar dan utuh diharapkan tidak memunculkan interprestasi yang berbeda-beda terhadap aturan tertentu. Seperti kutipan pasal 21 ayat (1) UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sangat jelas dicantumkan aturan bahwa “Pembayaran atas beban APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/jasa diterima”. Artinya pejabat perbendaharaan negara tidak boleh mengajukan/memproses tagihan kepada negara yang membebani anggaran belanja negara, atau menyetujui/mengeluarkan uang dalam batas kewenangannya jika barang dan/jasa belum diterima. Kecuali dalam kondisi tertentu dan ada aturan yang mengaturnya yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dan sejalan dengan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contohnya :  pembayaran uang muka, pembayaran biaya pemeliharaan/ retensi pada akhir tahun anggaran, dan sebagainya.

              Akhirnya, semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi pembaca, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan.

REFERENSI

  1. UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
  2. UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
  3. PP No.45 Tahun 2013  tentang Tata cara Pelaksanaan APBN
  4. Peraturan Menkeu No. 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  5. Materi Seminar, Revitalisasi Filosofi Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implementasinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013
Oleh Sumaryo, Widyaiswara Pusdiklat AP


Postingan Populer

Arsip Blog