Aktivitas
yang dilakukan oleh pejabat perbendaharaan pada Kementerian Negara/
Lembaga/Satuan kerja, khususnya terkait pelaksanaan pembayaran atas
beban APBN/ APBD sangatlah komplek, karena disamping perlu pemahaman
yang utuh dan benar terkait dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, pejabat perbendaharan juga harus benar-benar memahami arti
penting peran dan kedudukannya masing-masing. Salah satu pejabat
perbendaharaan yang perannya strategis adalah Penguji dan Penandatangan
Surat Perintah Membayar (PPSPM).
PPSPM adalah orang terakhir di satker
yang mengendalikan dan mengawasi keluarnya uang negara atas beban
anggaran belanja negara pada K/L/Satker. PPSPM sangat dituntut memiliki
komitmen, kompetensi, dan sikap yang tegas untuk bisa memutuskan apakah
tagihan yang diajukan kepada negara dapat disetujui untuk diterbitkan
SPM atau tidak. Contoh kasus yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah
apakah diperbolehkan pembayaran biaya pemeliharaan pekerjaan konstruksi
yang tagihkan tanpa Berita Acara Serah Terima (BAST) kedua (Final Hand Over/FHO) namun dilengkapi dengan jaminan pemeliharaan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, dilakukan sekaligus pada saat tagihan prestasi pekerjaan mencapai 100 persen yang dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima (BAST) pertama (Provisional Hand Over), sementara masa pemeliharaan belum dilalui dan pembayarannya masih dimungkinkan dilakukan pada tahun anggaran berjalan karena periode pemeliharaan akan selesai pada tahun anggaran berkenaan.
I. PENDAHULUAN
Tulisan dimulai dari munculnya sebuah pertanyaan pada saat berlangsungnya kegiatan workshop
Pembekalan Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) Tahun
2014 yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan,
berlokasi di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia di
Bintaro Tangerang. Workshop tersebut berlangsung selama dua hari
mulai tanggal 13 sampai dengan 14 November 2014 yang pesertanya
sebagian besar adalah para PPSPM pada unit kerja di lingkungan Badan
Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan. Pada kesempatan
yang sangat berharga tersebut penulis ikut serta sebagai salah seorang
peserta agar dapat memperoleh pelbagai informasi seputar peran PPSPM,
tantangan, dan masalah yang dihadapi di lapangan.
Salah
satu pertanyaan yang cukup menggugah untuk dilakukan analisis dan
ulasan secara mendalam dari sudut perundang-undang dan sekaligus
merupakan substansi dari tulisan ini, intinya adalah pertanyaan tentang
“Apakah diperkenankan pembayaran biaya pemeliharaan untuk kontrak jasa
konstruksi yang besarnya 5 (lima) persen dari nilai kontrak (BAST
kedua/FHO) yang dilakukan bersamaan dengan pengajuan pembayaran tagihan disaat prestasi pekerjaan phisik mencapai 100 persen (BAST pertama/ PHO) dengan melampirkan jaminan pemeliharan sesuai ketentuan yang berlaku, sementara masa pemeliharaan dari pekerjaan konstruksi yang dikontrakkan tersebut berakhir dalam tahun anggaran berjalan
(masa pemeliharaan berakhir sebelum batas akhir penyampaian SPM-LS ke
KPPN)”. Atas pertanyaan tersebut memunculkan pendapat yang berbeda, ada
yang menyatakan boleh, tidak ada masalah, karena ada jaminan
pemeliharaannya. Sementara itu ada juga yang berpendapat tidak boleh
karena baru ada serah terima pertama (Provisional Hand Over/ PHO) dan belum terjadi serah terima kedua (Final Hand Over/FHO), kecuali
masa pemeliharaannya berakhir pada tanggal 31 Desember tahun anggaran
berjalan (melampaui batas akhir pengajuan SPM-LS ke KPPN). Ulasan ini
tentu akan sangat berguna bagi para PPSPM pada K/L/Satker untuk
menyatakan sikap, apakah akan menyetujui SPP yang diajukan oleh Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) dalam kontek tersebut untuk selanjutnya
diterbitkan SPM-LS, atau menolak menerbitkannya. Berikut ini penulis
akan mencoba untuk memberikan ulasan, namun sebelumnya akan dikemukakan
dahulu penjelasan singkat tentang PPSPM dan perannya.
II. PERAN PEJABAT PENANDATANGAN SPM (PPSPM)
Dalam praktik ternyata banyak permasalahan yang dihadapi oleh PPSPM
terkait dengan perannya yang strategis, baik secara internal maupun
eksternal. Secara internal PPSPM langsung berhadapan dengan PPK sebagai
pihak yang mengajukan Surat Permintaan Pembayaran tagihan (SPP) atas
perikatan yang membebani anggaran belanja negara. Pada saat yang sama
PPSPM secara ekternal berhadapan dengan Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara (KPPN) setempat selaku Kuasa Bendahara Umum Negara (Kuasa BUN)
yang menuntut pertanggungjawaban baik secara formal maupun substantif
atas kebenaran tindakannya mengeluarkan Surat Perintah Membayar (SPM)
sehingga uang dari Rekening Kas Negara keluar, untuk selanjutnya
dibayarkan kepada pihak yang tertera pada Surat Perintah Membayar (SPM)
yang diterbitkannya.
Peran
PPSPM yang strategisi, jika diibaratkan sebagai bangunan portal yang
melintasi jalan, maka ia akan berfungsi mengendalikan dan mengawasi
siapa saja pengguna jalan yang akan melintas dan barang bawaannya. Agar
yang melintasi portal tersebut benar-benar sesuai aturan yang berlaku
dan tidak menimbulkan kerugian bagi pemilik portal, maka portal tersebut
harus kuat dan berfungsi dengan baik. Portal akan mampu berfungsi
mengendalikan dan mengawasi pelintas portal jika bangunan portal
tersebut berdiri sangat kuat, terbuat dari bahan-bahan yang berkualitas,
dan tidak mudah dirobohkan dengan cara apapun. Disamping itu portal
harus dapat dengan mudah membuka atau menutup dengan baik dan lancar
sesuai sistem yang berlaku, sehingga disatu pihak tidak menghambat
pelintas portal berikut barang bawaan yang memenuhi syarat, dan dilain
pihak mampu mencegah pelintas portal dan barang bawaannya yang tidak
memenuhi syarat untuk melintas. Begitulah peran yang seharusnya
dijalankan oleh seorang PPSPM, dia adalah sosok yang kuat dan
berkualitas, memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai, sehingga
mampu dan sanggup mengendalikan dan mengawasi setiap SPP yang diajukan
oleh PPK untuk diproses menjadi SPM, yang selanjutnya disampaikan
kepada KPPN selaku Kuasa BUN di daerah untuk diterbitkan Surat Perintah
Pencairan Dana (SP2D) yang membebani Rekening Kas Negara. Perlu diingat
bahwa PPSPM adalah portal terakhir di K/L/Satker yang mengendalikan dan
mengawasi pengeluaran belanja negara pada K/L/Satker bersangkutan agar
tidak menyimpang dari aturan perundang-undangan yang berlaku. Jika PPSPM
tidak kuat dan tangguh dan tidak berfungsi dengan baik, maka bocorlah
pengeluaran negara.
Sesuai
ketentuan pada pasal 1 ayat 13 PMK No. 190/PMK.05/2012, PPSPM adalah
pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian
atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. Tugas
dan wewenang PPSPM, sesuai ketentuan yang tertuang pada pasal 17 ayat 1
PMK No.190/PMK.05/2012 adalah :
- menguji kebenaran SPP besera dokumen pendukung;
- menolak dan mengembalikan SPP jika tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;
- membebankan tagihan pada mata anggaran yang telah disediakan;
- menerbitkan SPM;
- menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen hak tagih;
- melaporkan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran kepada KPA; dan
- melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran.
Secara umum proses pencairannya SPP/SPM menjadi SP2D dan bagaimana peran PPSPM dapat dilihat pada gambar 1 dan 2 berikut ini.
Gambar I. Proses Pencairan SPM LS
Gambar 2 Peran PPSPM dalam Penerbitan SPM
III. MASA PEMELIHARAAN PEKERJAAN KONSTRUKSI
Sesuatu yang berbeda terkait belanja atas beban APBN antara belanja
pengadaan barang dan jasa lainnya dengan pengadaan jasa konstruksi
adalah pada tahap/termin serah terima pekerjaan. Berbeda dengan
pengadaan barang dan jasa lainnya, untuk pengadaan jasa konstruksi maka
serah terima pekerjaan dilakukan 2 (dua) kali, yaitu :
1. Serah terima pertama (Provisional Hand Over/PHO),
yaitu serah terima pada saat prestasi pekerjaan mencapai 100 persen.
Sesuai dengan BAP maka saat prestasi pekerjaan mencapai 100 persen yang
dibuktikan dengan BAST Pertama, kepada penyedia jasa konstruksi
dibayarkan sebesar 95 persen dari nilai kontrak dikurangi pajak-pajak
dan pelunasan uang muka jika kepada penyedia yang bersangkutan sesuai
kontrak pernah dibayarkan uang muka.
2. Serah terima kedua (Final Hand Over/FHO),
yaitu serah terima pada saat telah dilakukan masa pemeliharaan yang
dibuktikan dengan BAST kedua. Dalam hal ini sesuai dengan BAP, kepada
penyedia jasa konstruksi dibayarkan sebesar 5 (lima) persen dari nilai
kontrak setelah dikurangi kewajiban perpajakan.
Terkait
dengan lamanya pemeliharaan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku
(Perpres Nomor 54 Tahun 2010 pada pasal 95 ayat 5), masa pemeliharaan
berlangung selama minimal 3 (tiga) bulan untuk hasil pekerjaan semi
permanen, dan minimal selama 6 (enam) bulan untuk hasil pekerjaan
permanen. Adanya masa pemerlihaan ini dimaksudkan untuk berjaga-jaga
jika selama masa tersebut bangunan yang telah selesai 100 persen
mengalami kerusakant, maka pemberitahuan tentunya disampaikan kepada
pihak rekanan. Dan rekanan dalam hal ini tentunya diharapkan akan cepat
merespon untuk segera melakukan perbaikan sesuai perjanjian/ kontrak,
karena kalau tidak bersedia memperbaiki kerusakan yang terjadi akan
berdampak pada tidak dibayarkan sisa tagihan sebesar 5 (lima) persen
dari nilai kontrak yang belum dibayarkan.
IV. PEMBAYARAN BIAYA PEMELIHARAAN
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku ada dua cara dalam melakukan
pembayaran biaya pemeliharaan kepada penyedia jasa konstruksi.
- Pertama, biaya pemeliharaan dibayarkan setelah masa pemeliharaan berakhir, yang dibuktikan dengan telah ditandatangani BAST kedua antara pihak-pihak yang melakukan perikatan dalam bentuk perjajinan/kontrak. Namun cara ini hanya bisa dilakukan jika masa pemeliharaan berakhir pada tahun anggaran berjalan, selambatnya sebelum batas akhir waktu penyampaian SPM-LS ke KPPN, sesuai ketentuan yang mengatur langkah-langkah akhir tahun anggaran.
- Kedua, biaya pemeliharaan dibayarkan sekaligus pada saat prestasi pekerjaaan mencapai 100 persen. Pada cara yang kedua ini disamping diterbitkan SPM-LS untuk pembayaran tagihan dalam jumlah keseluruhan sebesar 95 persen dari nilai kontrak, juga diterbitkan SPM-LS sejumlah 5 persen dari nilai kontrak untuk biaya pemeliharaan dan harus disertakan dengan jaminan pemeliharaan dari bank pemerintah. Cara kedua ini bisa digunakan apabila masa pemeliharaan pekerjaan konstruksi tersebut melampaui batas akhir penyampaian SPM-LS ke KPPN sebagaimana diatur dalam langkah-langkah akhir tahun anggaran, atau masa pemeliharaan pekerjaan konstruksi berakhir pada tanggal 31 Desember tahun berjalan.
Sehubungan
dengan pertanyaan yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi
fokus ulasan pada tulisan ini adalah apakah dimungkinkan jika penyedia
jasa konstruksi menagih seluruh haknya sekaligus pada saat prestasi
pekerjaan mencapai 100 persen, yang terdiri dari 95 persen dari nilai
kontrak dilampiri dengan BAST pertama (PHO), dan 5 persen dari nilai
kontrak sebagai biaya pemeliharaan dilampiri jaminan pemeliharaan dari
bank pemerintah namun tanpa BAST kedua (FHO), sedangkan masa
pemeliharaan pekerjaan tersebut akan selesai pada tahun anggaran
berjalan. Jika realitasnya pengajuan tagihan sekaligus tersebut diajukan
oleh pihak penyedia jasa konstruksi, dan kemudian diproses lebih lanjut
oleh PPK sehingga diajukan dua buah SPP-LS, yaitu SPP-LS berdasarkan
BAST pertama (PHO) dan SPP-LS biaya pemeliharaan dilampiri jaminan
pemeliharaan dari bank pemerintah, apakah PPSPM dapat menyetujui
seluruhnya sehingga terbit dua SPM-LS? Atau PPSPM hanya menyetujui
SPP-LS berdasarkan BAST pertama (PHO) saja, dan menolak SPP-LS biaya
pemeliharaan karena masih dimungkinkan dibayar pada tahun anggaran
berjalan? Kondisi inilah yang akan penulis ulas lebih lanjut.
Mengawali
ulasan ini, penulis akan memulai dari satu kalimat yang penulis dengar
saat mengikuti seminar pada hari Jumat tanggal 5 Desember 2014 dengan
tema “Revitalisasi Filosofi Ruang Lingkup Keuangan Negara dan
Implementasinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
48/PUU-XI/2013”. Salah satu narasumber pada seminar itu yakni Bapak
Drs.Siswo Sujanto, DEA. Beliau adalah salah seorang anggota tim penyusun
3 paket Undang-Undang Bidang Keuangan Negara. Dalam seminar tersebut
beliau menggunakan kalimat dalam bahasa jawa yang kalau diterjemahkan
secara langsung dalam bahasa Indonesia maknanya jadi berbeda. Kalimat
tersebut adalah “Mlebune metu ngendi”. Kalau kalimat tersebut
diterjemahkan langsung dalam bahasa Indonesia maka bisa berarti
“Masuknya keluar mana”. Namun sebenarnya yang dimaksud dari kalimat
“Mlebune metu ngendi” adalah “Masuknya lewat mana”. Mungkin saja pembaca
akan bertanya-tanya apa hubungannya antara tulisan ini dengan tema
seminar di atas. Memang secara spesifik tidak nampak hubungan yang
nyata, namun kalau dilihat secara umum, jika kita bicara tentang
keuangan negara maka kita juga akan bicara tentang APBN, karena wujud
dari pengelolaan keuangan negara adalah APBN. Salah satu sisi dari APBN
adalah belanja negara. Dari sinilah penulis akan mencoba memberikan
ulasan.
Secara rasional, membayar sekaligus atas tagihan pekerjaan konstruksi
berupa pembayaran sebesar 95 persen dari nilai kontrak pada saat
prestasi pekerjaan mencapai 100 persen yang dilampiri dengan BAST
pertama (PHO), dan biaya pemeliharaan 5 persen dilampiri dengan jaminan
pemeliharaan dari bank pemerintah namun tanpa BAST kedua (FHO)
boleh-boleh saja, tidak ada yang salah. Pembayaran tagihan berdasarkan
BAST pertama (PHO) memang sudah menjadi haknya penyedia pekerjaan
konstruksi bersangkutan atas prestasi pekerjaan yang telah dilaksanakan.
Sementara pembayaran 5 persen biaya pemeliharaan juga ada jaminannya,
sehingga tidak perlu khawatir pihak penyedia akan ingkar janji. Kan ada
jaminannya yang setiap saat bisa dicairkan jika penyedia tidak
menjalankan kewajiban melakukan pemeliharaan selama waktu tertentu atas
pekerjaan yang secara fisik telah diselesaikannya. Artinya tidak ada
masalah mau dibayar sekaligus ataukah tidak. Namun kalau dilihat dari
sisi peraturan undang-undang yang khusus mengatur tentang keuangan
negara dan perbendaharaan negara, sesuai dengan kutipan kalimat “Mlebune
metu ngendi”, jawabannya bisa berbeda.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pada pasal 21 disebutkan :
Bertolak
dari ayat (1) pasal di atas, jelas bahwa setiap pejabat perbendaharaan
(PA/KPA/ PPK/PPSPM/Bendahara Pengeluaran) harus memahami secara benar
maksud dari pasal diatas, dan menghubungkankan dengan aturan-aturan
khusus terkait yang dilatarbelakangi oleh kondisi tertentu. Sebagai
contoh diperbolehkannnya pembayaran uang muka kerja yang besarnya 30
persen dari nilai kontrak/SPK untuk pengusaha kecil/golongan ekonomi
lemah, atau 20 persen dari nilai kontrak/SPK untuk pengusaha non kecil,
dengan persyaratan harus menyampakan jaminan uang muka yang diterbitkan
oleh bank pemerintah atau asuransi yang punya program surety bond, walaupun barang dan/atau jasa belum diterima. Pembayaran uang muka ini diperbolehkan karena memang ada aturan khusus yang mengaturnya.
Selanjutnya bagaimana halnya dengan pembayaran biaya pemeliharaan
sebesar 5 persen dari nilai kontrak yang dimintakan oleh pihak penyedia
pekerjaan konstruksi, padahal masa pemeliharaan pekerjaan belum selesai
dijalani, dan berakhirnya masa pemeliharaan masih dalam tahun anggaran
berjalan. Artinya sangat dimungkinkan untuk dibayarkan biaya
pemeliharaan kepada yang berhak pada saat haknya timbul, tanpa melewati
batas akhir tahun anggaran dan batas akhir penyampaian SPM-LS ke KPPN.
Untuk kasus ini penulis berpendapat bahwa tagihan biaya pemeliharaan
yang diajukan sebelum saatnya dengan alasan apapun oleh pihak penagih
tidak dapat disetujui, walaupun pihak yang mengajukan tagihan
melengkapinya dengan jaminan pemeliharaan dari lembaga yang berwenang
menerbitkan. Adapun beberapa alasan yang melatarbelakangi adalah :
- mengacu pada ketentuan yang tertera pada pasal 21 ayat (1) UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, bahwa “Pembayaran atas beban APBN/ APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/jasa diterima”;
- negara akan dirugikan dari sisi waktu karena harus menyediakan sejumlah uang untuk membayar tagihan yang belum saatnya harus dibayarkan, apalagi pihak yang mengajukan tagihan sejenis cukup banyak;
- Adanya potensi menggangu likuiditas Kas Negara jika terjadi ketidaklancaran pencairan jaminan pemeliharaan saat terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penyedia pekerjaan konstruksi.
Sebagai penutup dari tulisan ini, kiranya kepada semua pejabat
perbendaharaan negara khususnya kepada PPSPM yang mempunyai peran
strategis, yaitu sebagai portal terakhir keluarnya uang belanja negara
pada K/L/Satker, perlu sekali memahami perundang-undangan yang mengatur
tentang keuangan negara/perbendaharaan negara, baik dari sisi kontennya
maupun sisi filosofinya dari terbitnya aturan terkait. Dengan pemahaman
yang benar dan utuh diharapkan tidak memunculkan interprestasi yang
berbeda-beda terhadap aturan tertentu. Seperti kutipan pasal 21 ayat (1)
UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sangat jelas
dicantumkan aturan bahwa “Pembayaran atas beban APBN/APBD tidak boleh
dilakukan sebelum barang dan/jasa diterima”. Artinya pejabat
perbendaharaan negara tidak boleh mengajukan/memproses tagihan kepada
negara yang membebani anggaran belanja negara, atau
menyetujui/mengeluarkan uang dalam batas kewenangannya jika barang dan/jasa belum diterima.
Kecuali dalam kondisi tertentu dan ada aturan yang mengaturnya yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dan sejalan dengan
perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contohnya : pembayaran uang
muka, pembayaran biaya pemeliharaan/ retensi pada akhir tahun anggaran,
dan sebagainya.
Akhirnya, semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi pembaca, kritik dan
saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan.
REFERENSI
- UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
- UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
- PP No.45 Tahun 2013 tentang Tata cara Pelaksanaan APBN
- Peraturan Menkeu No. 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
- Materi Seminar, Revitalisasi Filosofi Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Implementasinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013
Oleh Sumaryo, Widyaiswara Pusdiklat AP